Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

20 Maret 2017   07:48 Diperbarui: 20 Maret 2017   22:00 15212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia akan punya PLTSa Thermal di 7 kota yaitu: Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Sayangnya, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan, yang mengedepankan pertimbangan kesehatan manusia dan lingkungan serta kehati-hatian dini dalam penentuan teknologi.

Ide untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah ini datang dari Pemerintah Kota Bandung yang dihadapkan pada permasalahan berupa tidak tersedianya lagi ruang di kota Bandung untuk membuang sampah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk itu, salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan memangkas volume sampah yang dihasilkan oleh penduduk Bandung setiap harinya, yang jumlahnya mencapai 2785 m3 per hari. Pemangkasan itu dapat dilakukan dengan cara mengubah sampah tersebut menjadi abu dengan membakarnya.

Ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi. Pertama, melalui proses biologis yang menghasilkan biogas. Kedua, melalui proses thermal yang menghasilkan panas. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan dibangun di 7 kota tersebut, menggunakan proses thermal (pembakaran) sebagai proses konversinya. Inilah yang ditentang oleh para pegiat lingkungan.

Pada dasarnya konsep PLTSa Bandung sendiri setali tiga uang dengan konsep 'waste-to-energy' (WTE) di kota-kota di negara maju dunia. Dalam konsep WTE, energi bukanlah 'outcome' utama yang diharapkan, melainkan pereduksian volume sampah itu sendiri. Hal ini dikemukakan Tim FS (feasibility study) dalam definisinya mengenai PLTSa. Jadi, untuk mereduksi sampah, PLTSa akan menggunakan pemusnah sampah (incinerator) modern yang dilengkapi dengan peralatan kendali pembakaran dan sistem monitor emisi gas buang yang terus-menerus, yang nantinya akan menghasilkan energi listrik. Jadi, PLTSa adalah insinerator pemusnah sampah yang hasil pembakarannya dikonversi menjadi tenaga uap untuk menggerakkan generator pembangkit listrik.

Berdasarkan hasil studi kelayakan di Kota Bandung tersebut, dari sekitar 2785 m3 sampah yang dihasilkan penduduk Bandung setiap harinya, sekitar 25,22% adalah sampah yang masih bisa didaur ulang, sedangkan 74,78% sisanya adalah sampah yang dapat digunakan sebagai sumber energi, karena sebagian besar komposisi sampah di Bandung adalah sampah organik (42% berat, atau 58% volume). Juga diperlihatkan bahwa sebagian besar sampah di kota Bandung, kandungan utamanya adalah 'volatile matter', yang akan menguap ketika volume sampah direduksi dengan cara dibakar. Inilah alasan yang mendasari dibangunnya PLTSa.

Lalu dimana letak kontroversinya?

Teknologi thermal yang digunakan oleh PLTSa tersebut meliputi gasifikasi, insinerator, dan pirolisis yang sebetulnya merupakan teknologi kotor (dirty technology) dan tidak sesuai dengan pendekatan zero waste yang sebenarnya. Teknologi thermal beresiko membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Prinsip kehati-hatian dini seharusnya diterapkan sebelum memutuskan pilihan teknologi baru. Meningkatkan kesehatan masyarakat menjadi mandat UU Pengelolaan Sampah No.18 tahun 2008 dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 tahun 2009. Kajian lingkungan secara menyeluruh wajib dilakukan untuk proyek­ yang berisiko menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Adopsi teknologi kotor ini memang masih diterapkan di berbagai negara, namun sudah mulai ditinggalkan.

Pembangunan PLTSa ini dianggap tak sejalan dengan hasil Konvensi Stockholm, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (Perjanjian Paris COP­21), dan Konvensi Hak­-Hak Anak. Selain sejumlah konvensi tersebut, pembangunan PLTSa juga berpotensi menabrak UU Pengelolaan Sampah, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kesehatan, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU Sumber Daya Air, UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Anak, UU Persaingan Usaha, Peraturan Pemerintah tentang Pengadaan Barang dan Jasa, beserta seluruh peraturan turunannya.

Pengolahan sampah dengan teknologi thermal, terlebih dengan insinerator, gasifikasi, dan pirolisis akan meningkatkan lepasan dan sebaran senyawa dan bahan berbahaya beracun yang terkandung di dalam sampah, seperti klorin dan berbagai logam berat. Dengan penggunaan teknologi ini, lepasan dan sebaran B3/toksik ke udara, air, dan tanah akan meningkat pesat.

Diantara emisi WTE, terdapat kandungan dioksin dan furan, yang bersifat carcinogenic (pemicu kanker) dan sudah disepakati dalam kesepakatan global untuk dicegah dan dikurangi lepasannya. Sebagai negara yang menyetujui Konvensi Stockholm tentang Pencemar Organik yang bersifat persisten, sebagaimana diratifikasi dengan UU No. 19 Tahun 2009, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengurangi dan/atau menghentikan lepasan dioksin dan furan dari produksi yang tidak disengaja. Dioksin biasanya terbentuk dari pembakaran yang tidak sempurna. Efek dioksin bagi manusia bisa fatal. 

Saat ini pengukuran dan monitoring dioksin sangat mahal dan susah dilakukan. Para pakar lingkungan dan publik meragukan tingkat keamanan (safety) dari PLTSa ini. Baku mutu emisi dari fasilitas insinerator baru dikeluarkan oleh Kementerian KLHK pada bulan Juli 2016 dan menyatakan bahwa pemeriksaan dioksin hanya cukup dilakukan setiap 5 tahun sekali. Meskipun baku mutu yang ditetapkan cukup ketat, tetapi arahan untuk pemeriksaan emisi dioksin hanya setiap 5 tahun sekali membuat Indonesia kelihatan tidak serius melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu, pembangunan PLTSa berpotensi mendapatkan gugatan dari warga karena terlanggarnya hak mereka atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 UUD 1945).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun