Siang itu, langit di Kelurahan Suralaya, Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon, tampak abu-abu bukan karena mendung, melainkan debu yang beterbangan dari aktifitas proyek raksasa: PLTU Suralaya.
Di depan pagar proyek, sekelompok pemuda berdiri diam. Di tangan mereka, terbentang kain putih dengan tulisan besar: "Kami menuntut keadilan untuk bekerja di Unit 9-10. Masyarakat Suralaya."
Kain itu bukan sekadar spanduk, melainkan jeritan yang tertahan selama bertahun-tahun.
"Kami lahir dan besar di sini. Tapi kami cuma dapat debu dan polusi, bukan pekerjaan," ungkapan pemuda lulusan sarjana teknik mesin dari sebuah perguruan tinggi negeri di Banten. Ia sudah melamar beberapa kali ke proyek Unit 9-10, tapi tak pernah ada panggilan.
Di luar pagar proyek yang berdiri pabrik besar dan cerobong asap raksaksa itu, ia kemudian menunjukan berkas-berkas lamaran yang tersimpan di amplop coklat.
Di atasnya, tertulis nama-nama rekan-rekannya yang juga senasib---semua anak muda Kelurahan Suralaya, sebagian besar lulusan perguruan ternama hingga jenjang SMA sederajat.
"Kami bukan tidak mampu bersaing. Tapi pintu itu tertutup bahkan sebelum kami masuk," ujarnya.
Sudah lebih dari lima tahun proyek pembangunan PLTU Suralaya Unit 9-10 berjalan. Dibangun oleh konsorsium PT Indo Raya Tenaga (IRT), megaproyek ini sempat digadang-gadang akan menjadi penggerak ekonomi lokal.
Tapi kenyataannya, warga Suralaya merasa hanya menjadi penonton dan penikmat polusi tanpa kompensasi.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan PLTU ini bukan hal sepele. Setiap hari, warga harus berhadapan dengan suara bising mesin, lalu-lalang kendaraan proyek, dan debu batu bara yang mengendap di atap rumah, bahkan hingga dalam paru-paru mereka.