Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lem Aibon, Penyelemat Anak Miskin Tetap Sekolah

30 Oktober 2019   19:40 Diperbarui: 4 November 2019   09:41 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: obamimpi.blogspot.com

Senin yang tak bersemangat pagi itu. Sejak bangun tidur, kemudian mandi, dan bergegas pergi solat subuh di masjid. Rasa-rasanya pagi itu adalah masa di mana tidak ada harapan untuk memulai hari. 

Setelah menunggu, di hari minggu penuh, berharap ada keajaiban datang. Namun ketika hari senin semakin cerah, hati dan pikiran tetap sebutek air rendaman cucian baju.

"Yuk, Sarapan," ajak Emak.

Waktu tinggal 15 menit lagi dari jadual kebiasaan berangkat sekolah, pukul 6 pagi. Namun saya yang sudah berseragam putih abu-abu tetap saja merasa berat untuk sekolah. Saya menengok ke arah pojok ruang tamu, sepasang sepatu buntut teronggok. 

Ingin rasanya saya menangis. Sol bawah sepatu lepas sejak sabtu pagi, saat berjalan menuju kelas. Kondisi sepatu sebelah kiri kondisinya memprihatinkan. Jika berjalan, maka akan me-nganga, seperti mulut besar yang kelaparan.

"Mak, saya masuk angin. Pusing dan mual," kata saya beralasan.

"Makanya, sarapan. Biar perutnya hangat," kata Emak. Tempe goreng kering yang diberi bumbu garam dan bawang putih sudah tersedia di atas meja. Sepiring nasi putih masih mengebulkan asap juga sudah tersedia.

"Saya tidak sekolah, ya, Mak. Takutnya di Sekolah malah sakit." Emak tidak menjawab dengan mulutnya, hanya mengangguk, lalu berjalan menuju kamar mandi. Tangannya kini bekerja mencuci baju yang sudah direndam di dalam bak.

Suasana dipecahkan dengan kedatangan Abah yang masuk dari pintu depan. Di tangannya membawa kaleng kecil berwarna kuning. Lem Aibon. Abah mengambil sepatu buntut yang dibeli setahun lalu dari Pasar Baru. 

Saya menghentikan makan ketika aroma Lem Aibon benar-benar kerasa menyeruak masuk ke dalam pernafasan. Saya melihat, Abah membubuhi cairan kental lem dengan jari telunjuknya. Mengolesi lem ke dalam sol sepatu, persis seperti sedang mengoleskan mentega ke lapisan roti.

Mata saya sudah sembab. Menangis hanya akan memberatkan hati saja. Lem Aibon pagi itu membuat saya tidak ada alasan lagi pergi ke sekolah. Dari pada menanti sepatu baru, masi mending uangnya untuk membeli beras. Rusaknya sepatu butut masi bisa diselematkan hanya dengan Lem Aibon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun