Tulisan ini adalah lanjutan dari postingan Rencana Ikut Bazar yang Kandas. Saya sarankan, pembaca budiman baca postingan sebelumnya untuk mendapatkan alur gagasan yang koherensi.Â
***
Sudah menjadi rahasia umum, hemat saya, komunitas literasi berbasis online ataupun media sosial tertentu dapat dipastikan anggotanya jarang bersua.Â
Persuaan dan interaksi via online mungkin kerapkali terjadi akan tetapi pertemuaan secara fisik sangat jarang ditemui. Terlebih anggota grup tersebar di berbagai kota, provinsi ataupun antarpulau.
Entah sejak kapan fakta ini dirumuskan, yang jelas fakta tersebut menegaskan bahwa menggeluti suatu hobi, kecintaan dan pengembangan diri melalui komunitas memang membutuhkan pengorbanan.Â
Bentang jarak bukan hal yang harus dipermasalahkan. Jika perlu jarak jauh dilipat. Perjalanan gelap diterobos nekad. Intinya bagi orang yang bersungguh-sungguh dan memiliki tekad kuat, jauh dekat tentu bukanlah penghalang untuk terus berporses menimba ilmu.
Mungkin kita masih ingat bagaimana cendikiawan-intelektual--dari dunia Islam ataupun Barat--terdahulu berani melalang buana demi menengguk tetesan dari samudera ilmu yang ada di belahan dunia. Di mana pun mata air pengetahuan menyeruak di sanalah kita harus melepas dahaga keingintahuan. Sejauh itu pula pengorbanan upaya terbebas dari kebodohan harus dilakukan.
Melalui perjalanan intelektual panjang tersebut maka tak pelak jika seorang tokoh tertentu banyak menyandang gelar keilmuan. Serba bisa dalam banyak bidang ilmu.Â
Satu keteladanan yang timbul dari penghayatan atas hadits: carilah ilmu hingga ke negeri China dan carilah ilmu mulai lahir hingga ke liang lahat. Perihal distingsi jarak dan perbedaan modus demografi akan diulas lebih lanjut di bagian selajutnya.
Interaksi anggota komunitas via media sosial dengan pertemuan fisik langsung tentu memiliki banyak perbedaan. Perbedaan mencolok itu, hemat saya, tertuang dalam kesan, pesan dan pelajaran yang didapatkan.Â