Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Ketamakan dan Memurnikan Kembali Silaturahmi sebagai Ladang Kebaikan

22 Juni 2021   15:10 Diperbarui: 22 Juni 2021   15:24 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi pribadi

Muhammad Ishom dalam artikel "Larangan Menghormati Orang Kaya karena Kekayaannya" yang dimuat di laman NU online (28/12/2017) menegaskan tiga dari sekian banyak alasan mengapa Islam melarang melakukan penghormatan kepada seseorang karena kekayaannya. Alasan pertama, karena kedudukan manusia lebih mulia daripada segala bentuk harta benda. Hal ini merujuk pada firman Allah SWT dalam surat Al-Isra' ayat 70; 

Artinya: "Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rejeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang sempurna".

Kandungan ayat tersebut menegaskan kepada kita semua bahwa manusia adalah makhluk yang terbaik dan paling mulia yang telah diciptakan Allah SWT. Sehingga tatkala kita menghormati seseorang karena kekayaannya semata-mata maka kesalahan kita adalah menempatkan nilai kemanusiaan dan seluruh potensi spiritualitas yang ada di dalam diri manusia persis di bawah harta benda dunia. Lantas tidak heran jika Rasulullah SAW menyebutkan orang yang merasa rendah karena menghormati seseorang disebabkan kekayaannya telah hilang dua pertiga agamanya. 

Kedua, kepemilikan harta benda bukanlah kekayaan yang sesungguhnya. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah disebutkan Rasulullah SAW pernah bersabda; 

 Artinya: "Bukanlah yang dinamakan kaya itu karena banyak harta, tetapi yang dinamakan kaya sebenarnya adalah kayanya jiwa". 

Segala harta benda yang berada dalam genggaman kita hanya titipan dari Yang Maha Kuasa. Itu artinya, segala harta benda yang dititipkan Allah SWT kepada manusia bisa sirna kapan saja. Lebih tepatnya, di hadapan Allah SWT seluruh harta benda itu tidak ada artinya, kehadiran atas seluruh harta benda itu akan bermakna dan diperhitungkan tatkala manusia menjadikannya media dan sarana sebagai penopang kebutuhan spiritualitas yang berupa amal kebaikan. 

Ketiga, menghormati seseorang berdasarkan kepemilikan harta benda menciderai status dan memicu konflik sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Logikanya, jika khalayak ramai terus-menerus menghormati orang lain berdasarkan kadaritas harta sementara kepemilikan harta benda itu tidak merata maka sangat dimungkinkan orang-orang fakir dan miskin tidak akan dihargai dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Jikalau itu terjadi, maka secara tidak sadar kita menghalalkan memandang, bersikap dan memperlakukan orang lain secara zalim dan hina. 

Ironisnya, cara kita menilai dan menghormati seseorang dari penampilan yang tampak itu telah lama menjadi penghuni tetap dalam ruang khusus yang terletak di dalam kepala kita. Bahkan ruang khusus itu melulu kita huni tatkala berjumpa dengan orang-orang baru dalam kehidupan sehari-hari secara nyata. Padahal, pepatah mengatakan; don't judge something by cover! 

Tidak hanya itu, dalam konteks ini saya juga melihat ada kekeliruan dan kesalahpahaman khalayak dalam memahami hadis Nabi Muhammad Saw tentang disunahkannya mengenakan pakaian terbaik di hari raya. Di mana disunahkannya mengenakan pakaian terbaik di hari raya itu tidak lain sebagai bentuk penghargaan kepada diri kita atas perjuangan menunaikan ibadah puasa sebulan penuh hingga hari kemenangan itu tiba. Artinya, pakaian yang kita kenakan itu merepresentasikan sa'adah dan 'iffah yang meliputi jiwa dan raga, bukan semata-mata untuk kepentingan riya' dan meraup pujian dari khalayak ramai yang ada di hadapan kita.

Dalam konteks kemungkinan keberlakuan pandangan negatif dalam memahami dan menilai tradisi silaturrahim sebagai salah satu media yang akan menyisakan konflik sosial itulah justru saya melihat munculnya larangan mudik tak lain adalah wujud kepedulian dan kehati-hatian. Satu upaya untuk menahan timbulnya masalah baru yang berkelanjutan sekaligus memurnikan  kebaikan yang terkandung dalam tradisi silaturrahim yang dilestarikan. 

Sampai di sini, akhirnya saya pun harus berterusterang dan menegaskan bahwa hadirnya tulisan sederhana ini tidak lain adalah satu upaya pengoreksian terhadap batu kerikil yang mungkin saja masih berserakan dalam tradisi kebaikan yang telah lama kita agungkan. Bagaimana pun jangan sampai kita mengotori cermin yang telah dilap secara getol dan bertahap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun