Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Tajassus dan Body Shaming

17 Juni 2021   06:52 Diperbarui: 17 Juni 2021   07:22 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini melanjutkan alur persoalan sebelumnya (bagian 4) dari artikel yang berjudul; Syukur di Balik Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya yang diunggah di blog: dewaralhafiz.blogspot.com

(Bagian 5)

Lanjutan: Stigma dan stereotip yang berpangkal tajassus

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya; apakah kasus yang demikian benar-benar ada? Atau memang masih sempatkah terlintas dalam benak kita untuk mengajukan pertanyaan yang demikian tatkala sedang bersilaturahim? Jawabannya; tentu ada dan selalu memiliki kesempatan, meski kita sendiri mungkin jarang memperhatikan, mengoreksi dan menggubrisnya. 

Bahkan sebagian dari kita bersikap permisif terhadap hadirnya berondong pertanyaan tajassus itu sembari membuang tawa yang sedikit menggelitik. Satu ekspresi yang terkatung-katung di antara dua persimpangan; antara hendak memalingkan muka untuk menafikan kenyataan dan menertawakan keadaan diri yang dipandang sebagai satu keprihatinan. Dan ini adalah salah satu hal yang cukup membingungkan.

Mengapa membingungkan? Sebab dalam kasus ini seakan-akan kita melulu ditempatkan pada posisi yang serba salah. Ada asumsi, bahwa orang lain lebih memahami dan mengerti tentang bagaimana keadaan yang sedang terjadi di dalam diri kita pribadi dibandingkan dengan pemahaman versi diri kita sendiri. 

Alhasil karena itu pula, keadaan yang menurut kita baik-baik saja, justru yang ada dalam pandangan mereka adalah sebaliknya. Setiap pribadi kita senantiasa menyimpan luka, derita dan keprihatinan hidup yang langgeng dalam genggaman asa. Tirai-tirai rahasia itu pandai berselimut dalam lagak pilon yang berpura-pura. 

Sebagai gambaran konkretnya, ambil saja beberapa butir pertanyaan yang secara umum kerap ditujukan kepada sebagian di antara kita. Contohnya sebagai berikut: 

"Wah, sudah lama ya kita tidak ketemu? Sekarang semakin gemuk saja nih. Kok semakin kurus saja si? Kapan nih mau lebaran bawa gandengan? Kapan nih mau punya momongan? Kapan nih mau nambah momongan lagi? Masa iya si... sudah nikah tapi kok masih nebeng mertua? Kapan mau punya rumah sendiri? Masih naik motor saja, mobilnya kemana tuh? Wah, bajunya bagus nih, habis ngutang di mana si? Dan pertanyaan sarkastis lain yang tidak mungkin saya sebut satu persatu.

Dalam pandangan yang negatif, keberlakuan berondong pertanyaan tajassus dalam proses silaturrahim pasca lebaran Idulfitri pada dasarnya dapat diklasifikasikan sesuai dengan objek yang menjadi fokus dari pertanyaan tersebut. Adapun klasifikasi pertanyaan dan pernyataan tersebut di antaranya; body shaming, hasut, dengki, namimah, tamak dan sarkastis.

Pernyataan dan pertanyaan body shaming

Misalnya saja, pertanyaan yang bernada body shaming; Semakin gemuk saja nih. Kok semakin kurus saja sih? dan pernyataan lain sebagainya.  

Pertanyaan dan pernyataan body shaming ini akan banyak kita temui dan dengar dalam konteks proses silaturrahim pasca lebaran Idulfitri. Bahkan saking seringnya dilontarkan, pertanyaan dan pernyataan body shaming dipandang bukan masalah yang bermakna. Artinya di sana bully-membully bentuk fisik dari seseorang menjadi satu tradisi yang dihalalkan. 

Sementara itu, penghalalan bully-membully di antara sesama bertentangan dengan nilai-nilai perikemanusiaan. Selain sama sekali tidak memperhatikan bagaimana gejolak batin yang dirasakan oleh subjek yang dipojokkan, bisa saja hal itu pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi korban yang bersangkutan. Misalnya, merasa terlecehkan, teralienasi dari lingkungan, menimbulkan rasa minder yang tinggi, iri hati hingga menjadikan sang korban enggan bersyukur atas semua anugerah yang telah diberikan Tuhan. 

Keengganan bersyukur atas semua anugerah yang ada di dalam dirinya itu seakan-akan kausalitas yang pasti dari tradisi bully-membully yang telah mendarahdaging dalam segala aktivitas di setiap lapisan masyarakat kita. Pola itu dapat dilihat mulai dari masa-masa sekolah yang kerap mengganti nama sebagian besar teman dengan panggilan yang nyeleneh dan aneh, memanggil dengan kekurangan yang melekat dalam diri, menjadikan karakter dan sikap yang negatif menjadi bahan pembicaraan hingga menjadikan nama kedua orangtua sebagai banyolan yang kita anggap cukup menggelitik. 

Mirisnya, lambat-laun tradisi bullying pun kian menjadi-jadi, menerobos sekat-sekat ketabuan norma dan etika yang berlaku dalam segala aspek kehidupan sosial masyarakat. Tidak terkecuali menyelinap masuk ke dalam ritus keagamaan yang telah lama kita genggam sebagai habitus spiritualitas orang-orang yang notabene beragama. 

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun