Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Syukur di Balik Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya

15 Juni 2021   06:28 Diperbarui: 15 Juni 2021   06:58 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagian 3: Lanjutan dari pembahasan sebelumnya.

***

Keluar koridor dari tujuan mulia

Kedua, tanpa sadar kita melampui batas. Makna melampaui batas di sini maksudnya bukan berarti kita berhura-hura, berfoya-foya ataupun mengonsumsi makanan secara berlebihan-meskipun mungkin itu termasuk salah satu poin di dalamnya-melainkan tanpa sadar kita keluar koridor dari tujuan mulia dilakukannya silaturrahim pasca lebaran itu sendiri. 

Seperti halnya yang telah disinggung di atas, pada dasarnya tujuan daripada pelaksanaan silaturrahim pasca lebaran adalah sebagai ajang untuk menghalalkan segala urusan yang telah terjadi di antara sesama manusia, dengan tujuan saling memaafkan sehingga mendapatkan rida Allah SWT dan makhluk-Nya. Bahkan bisa saja, kesalahan dan dosa terbesar yang telah dilakukan seseorang menunggu datangnya momentum ini untuk mendapatkan rida dari sang empunya. 

Karena niatan yang tulus itu pula dengan sengaja kita mengatur jadwal untuk silaturrahim keliling hingga tujuh hari lamanya. Bahkan bisa lebih, di luar dugaan sebelumnya. Namun semua itu bersifat kondisional, berbanding lurus dengan jumlah ikatan kekeluargaan yang kita punya. 

Proses itu awalnya berjalan sesuai rencana, namun tatkala kita telah sampai di tempat tujuan terkadang membias. Mulanya kita saling menyapa, bertukar kabar dan memaafkan hingga menyantap hidangan menu yang disodorkan. Semuanya masih berjalan dalam rangkaian yang normal. Masih berpijak pada kode etik dalam bertamu, dan ini adalah gambar batas kewajaran. 

Lantas di mana letak kebiasaan itu terjadi? Mohon bersabar. Pembiasan itu dimulai semenjak kedatangan kita di salah satu kediaman itu mulai dikelompokkan; mana sudut rumah yang menjadi tempat duduk para perempuan dan mana bagian para lelaki. Seakan-akan ada zona teritorial paten yang telah diakui meskipun tidak pernah dibakukan. 

Persepsi awal, pengelompokan yang berdampak pada pembagian zona teritorial antara lelaki dan perempuan itu dimaksudkan untuk menghindari persentuhan di antara yang bukan mahramnya. Selain itu, mengobrol berdasarkan jenis kelamin juga dipandang lebih ideal dan mengasyikkan. Sebab objek pembicaraan antara lelaki dan perempuan dianggap berbeda genre, sehingga akan kacau balau jika dicampuradukan. 

Padahal pembagian zona teritorial itu sangat dimungkinkan untuk terjerumus pada keasyikan pembicaraan yang bersifat ngarol-ngidul, dan bisa saja sampai pada muara gibah. Mempergunjingkan segala masalah orang lain yang dipandangnya sebagai sesuatu celah yang lemah dan wah. Ironisnya, kita menganggap hal ini adalah sesuatu yang lumrah dan bukan masalah. 

Bahkan, tak segan kita dianggap tidak normal jika tidak mau berperan aktif sebagai bagian dari proses panjang gibah. Awalnya masing-masing kita hanya saling mencurahkan keluh kesah tentang kehidupan sehari-hari, namun lambat-laun pembahasan itu terus merambah melewati pagar-pagar milik tetangga samping rumah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun