Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Meronce Labelisasi Sosok Ibu

22 Februari 2021   23:15 Diperbarui: 22 Februari 2021   23:44 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lag Maha Mengenal", (Al-Hujurat: 13).

Rasulullah Saw. bersabda: "seorang muslim dengan muslim yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling memperkuat satu sama lain". Analoginya, "manusia itu bagaikan gigi sisir, seseorang memiliki kelebihan atas yang lain hanya dalam amal baiknya."

Sebutkan Ibu itu apakah mencerminkan status atau profesi?

Mungkin kita seringkali mendapati istilah status pekerjaan ibu rumah tangga dalam kolom kartu identitas penduduk (KTP). Secara tidak langsung, hal itu menunjukkan bahwa segenap urusan rumah tangga itu adalah profesi seorang perempuan yang telah menikah. Entah itu telah memiliki seorang anak ataupun belum. Yang pasti, kolom pekerjaan dalam KTP itu telah menjelma cara pandang dan turut menerjemahkan mengurusi rumah tangga itu adalah profesi seorang perempuan. 

Tapi pernahkah terbersit sejenak dalam pikiran kita atau mungkin mendapati kolom pekerjaan itu tertulis; "bapak rumah tangga atau ayah rumah tangga?" Tentunya belum pernah sama sekali. Jika pun ada, mungkin di antara kita semua akan terbahak-bahak melihatnya. Satu kebebalan yang menunjukkan bagaimana payahnya semua orang meruntuhkan kedudukan, nasib dan keironisan lelaki.

Mungkin di satu pihak, kita (sebagai lelaki) selalu berpikir dan terposisikan bahwa marbat seorang lelaki ya bekerja. Harga diri seorang suami ya menafkahi keluarganya. Tapi bagaimana dengan kasus perjuangan perempuan (pula seorang isteri) yang rela bekerja mati-matian merantau ke negeri Jiran ataupun ke negeri orang hanya untuk tekad hendak membahagiakan keluarganya? Termasuk anak dan suaminya. 

Bukankah, banyak kasus sang isteri jadi tenaga kerja wanita (TKW) di tanah orang sementara sang suami mengurus anak dan segenap urusan rumah tangga. Seperti halnya pencitraan alur cerita yang disuguhkan dalam sinetron Dunia Terbalik. Hal yang demikian hampir sama dengan tradisi kehidupan masyarakat Bali yang menempatkan perempuan banyak beraksi di ruang publik sementara lelaki di ruang domestik.

Lah, bagaimana jika kasusnya demikian? Apakah tetap kolom pekerjaan rumah tangga itu masih saja dilekatkan pada sosok ibu karena ia seorang perempuan? Atau memang tidak ada sedikit pun celah untuk merubah kolom pekerjaan sang suami menjadi bapak rumah tangga atau ayah rumah tangga. Ya, mesti saja jawabannya berkelit, "tinggal ganti saja kolom pekerjaan perempuan (isteri) yang bersangkutan menjadi TKW. Bukan merubah kolom pekerjaan sang suami. Dasar sumbu kompor!".

Sadar ataupun tidak, itu berarti cara kerja pengisian kolom KTP berdasarkan pada paradigma konstruksi sosial dan budaya patriarki. Jika tidak demikian, seharusnya diisi apa adanya. Bukankah demikian? Toh, itu bukan tentang siapa yang diuntungkan dan yang dirugikan. Bukan tentang siapa yang salah dan yang benar. 

Bukankah dalam menjalin hubungan kekeluargaan itu berisikan kumpulan kesepakatan dua belah pihak yang menjalankan? Bukan apa kata orang. Bukan malah membenarkan cerocos tetangga yang julidnya bukan kepalang.

Tidak hanya demikian. Di lain pihak, kita juga sering mendengar bagaimana perempuan muda ting-ting (red; lajang) kerap disebut Ibu. Itu berarti pada kenyataannya ada pula perempuan lajang yang telah menyandang status, peran atau profesi sosial sebagai ibu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun