Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat untuk Alena

30 Januari 2021   10:54 Diperbarui: 30 Januari 2021   11:23 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu dalam sunyi kutemukan remah mimpimu. Kutanyakan berulangkali kepastian tentang hal itu. Tentang kegigihan menggantungkan tiap-tiap citamu. Sandaran hidup masa depan yang terus menggila dan bergerilya dalam benak pikiranmu. Pun sebelumnya aku tak pernah mau tahu dan sekarang kenapa aku mendadak rugi karena ingin menahu?

Apa benar kegilaanmu telah menular akut pada sungkanku? Sampai hati, hingga aku melupa perihal janji dan sumpah serapah yang sempat keluar dari mulut sompralku. "Aku budakmu! Aku serdadu kumbang yang akan meluluhlantakkan mimpi-mimpi mu! Aku telanjur menggamit obsesi untuk melampiaskan semua sendumu. Menimpahmu dengan segala sengkarut yang kusebut dendam karena sikap acuh, tak pedulimu".

Titik terang satu. Kulumat kembali ludahku. Menjijikkan memang. Tapi mau diapa? Toh aku juga manusia biasa yang hatinya bisa terbolak-balik begitu saja. Tanpa dikira. Tanpa dinanya. Tapi aku menyadari semua, meskipun telat sudah waktunya. Remang itu pelan-pelan menjadi titik cahaya. Terang yang menuntunku kembali pada beningnya mata. Mengganti jengah isian dada. Menjernihkan kusut beban kepala.

Titik terang dua. Diteduh malam berpayungkan rasi bintang itu udara memeluk kujur tubuhku hingga menggigil menembus ubun kepala. Wajahku menengadah, jiwaku masyuk meraba-raba kembali jejak payah. Di tanduk ingatan itu kita kembali bertemu. Aku kembali bertamu di bilik suara. Di ruang itu kita saling memintal saut, bertransaksi rasa hingga habisnya kata. Sementara ibu-bapakmu menitipkan kuping di daun pintu yang terbuka sengaja. Untungnya lantang suaraku tak mengusik mereka karena kebetulan aku berhati-hati meronce bisikan dada. Aku sibuk mengayam bahasa.

Tuturmu masih mulus menjejak di klise dalam kepala. "Aku hendak menjadi anak adopsi Siti Khadijah, Siti Aisyah, R. A. Kartini, Fatimah Fernisi, Gerwani, Bu Susi dan perempuan hebat lainnya. Tapi, aku tak pernah punya kuasa. Tak pernah diberi ruang untuk menghela pembelaan rasa meski seujung kuku adanya. Tradisi menjaga nasabiah telanjur kuat menggurita di sana. Lantas aku tak mampu berterus terang perihal kesediaan perjodohanku dengan lelaki pilihan Abah."

"Teriris rasanya. Telah banyak usia aku habiskan waktu di penjara suci yang dihendaki Abah dan Mamak. Aku sibukan hidupku untuk mencukupi keinginan dan cita-cita keduanya. Hingga kuabai dengan kehendak hati dan kesadaran diriku untuk hidup merdeka. Tanpa mengekang diri dengan setumpuk alasan karena pahala, iming-iming surga dan baktiku pada mereka yang kupuja. Dan kini, saat hatiku menggetar melihat sesosok yang membuatku damai karenanya, aku tak pernah mengungkapkannya. Aku tak pernah diizinkan untuk mengutarakan rasa yang kupunya. Walaupun itu harus kueja dengan terbata-bata. Bagiku menyerahkan jiwa-ragaku untuk kepentingan orang tua adalah tahta." Alena menghela nafas panjang diiringi sesenggukan.

"Sejak kapan aku tak punya hak atas hidupku Bil? Sejak kapan aku tak punya hak kemana aku harus memuarakan rasaku Bil? Sampai kapan harus mengekang rasaku Bil? Sampai kapan aku harus membohongi diri sendiri Bil? Sampai kapan aku harus berpura-pura sepaham dengan kehendak orang tuaku Bil? Sampai kapan aku harus menjadikan jiwa-ragaku ladang subur untuk dijajah sementara nurani kecilku mengazamkan diri untuk membuat keputusan secara mandiri, merdeka. Mungkin iya, dari dulu hingga kini aku selalu menunduk dan diam seribu bahasa jika orang tuaku sedang mendawuh. Tapi dalam diamku, batin dan nalarku sedang berkecamuk. Mau diapa sekarang Bil?", Cetus Alena.

"Bukankah aku munafik Bil? Bukankah Nabi Adam dan Siti Hawa dipertemukan kembali di dunia karena perkara cinta? Bahkan Allah menghukum mereka karena tipu daya yang berselimut dalam kabut asmara. Jika Allah menjadikan cinta untuk membuat umatnya bahagia lantas kenapa kini aku tak dapat meraihnya? Apa pahamku akan cinta keliru? Apa iya cinta versi rasaku hanyalah ego yang tak layak kuperjuangkan? Aku sudah berputus asa Bil."

Bilqis menimpali, "tidak Len, kamu berhak atas kebebasanmu. Kamu berhak menentukan kebahagiaan masa depanmu. Kamu punya kuasa memilih akan kemana melabuhkan cintamu. Yang masih mengganjal sekarang ini adalah kesungkananmu mengutarakan segala rasamu pada Abah dan Mamak. Jika selama ini kamu diam dan selalu tunduk, taat kepada beliau, aku pikir itu tidak salah Len. Bukankah kewajiban seorang anak adalah berbakti kepada orang tua? Mendidik anak-anaknya dengan gemblengan keras memang dibutuhkan oleh kita, agar kelak menjalani hidup tidak merana. Bukankah demikian benarnya?".

"Adapun soal jodoh-menjodohkan aku pikir itu i'tikad baik dari orang tuamu. Karena bagaimanapun tak ada orang tua yang menghendaki kesengsaraan hidup bagi anak-anaknya. Pasti terselip alasan kenapa mereka memilih dia. Hendak menjodoh dirimu dengan dirinya. Ada standaritas yang mereka pertimbangkan matang-matang. Bukan sekadar desas-desus yang digoreng sesaat demi kepentingan komersil. Sekarang, tenangkan dulu dirimu. Dengarkanlah aku baik-baik Len."

"Memang seharusnya perjodohan itu tidak mendadak. Menodongmu begitu saja. Alangkah baiknya jika keduanya memberi ruang diskusi terbuka untukmu menyeruakan rasa yang sesungguhnya. Setuju atau tidak. Untuk memberikan alasan dan berbagai pertimbangan gamblangnya, hingga mengikis ragumu. Dan itu setidaknya akan membuat dirimu lega serta ikhlas atas semua itu. Tapi apa daya sekarang cerita sudah di ujung tanduk. Tiga bulan sudah kamu dikhitbah lelaki bukan pilihanmu. Dan kini kamu baru mengadu kepadaku. Padahal tiga hari lagi engkau hendak menghelat akad. Ah gila. Gila kamu Len."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun