Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apa Sih FOMO?

17 September 2020   14:31 Diperbarui: 17 September 2020   14:39 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dua pekan yang lalu istilah FOMO menjadi salah satu trending topik di Twitter. Satu istilah asing yang benar-benar menjadi tamu baru bagi kedua telinga saya. 

Rasa penasaran yang kian membuncah di dada pun lantas mendorong jemari saya untuk mengklik beberapa cuitan terkait FOMO. Sayangnya, di waktu itu pula saya tidak menemukan kemafhuman yang ajeg. 

Entahlah. Entah kebebalan akal pikir saya yang telanjur akut sehingga tidak mampu menangkap maksud yang disuguhkan atau memang deret panjang cuitan itu yang sekadar main hastag semata-mata. 

Sependek simpulan saya, hampir dapat dipastikan, hamparan cuitan itu hanya menampilkan sisi reduksi makna yang amburadul. Sebatas penyebutan istilah yang ditegaskan dengan tanda pagar. 

Memang sih harus diakui secara blak-blakan, bahwa ulasan trending topik di kanal Twitter itu tidak mesti berbobot. Informasi yang ditampilkan oleh beberapa akun netizennya lebih cenderung main senggol dan hastag tanpa memberi ulasan yang objektif. Kanal yang sangat pas untuk curhat, nyinyir dan ghibah. Eh, malah promosi. Ma'af.

Keterbatasan karakter kata yang sengaja dibentuk dalam cuitan juga banyak memengaruhi muara orientasi. Atas alasan itu pula mungkin mengapa Twitter lebih digemari oleh kalangan milenial ini.

Apabila dikomparasikan dengan kanal media sosial yang lain, Twitter dapat dikatakan lebih up to date dalam menampilkan kegandrungan realitas sosial yang ada. Lah, bagaimana tidak coba? Wong, cuitannya muncul persekian detik.

Cuitan yang singkat setidaknya mampu mewakili ribuan sesungutan yang sumbar dan merasa gatal. Lantas bagaimana bisa manusia pewaris tradisi oral itu mampu membendung ocehannya lagi. Jadi maklum saja kalau dalam kurun waktu setengah jam trending topik dengan mudah dapat berganti.

Belum lagi ditambah dengan kebijakan Twitter yang memberi keleluasaan dalam bercuit gambar dan video yang tidak pernah tersortir dan tersensor sama sekali. Alhasil, semua hal negatif dengan mudah mampu menjadi trending topik dan disaksikan oleh seluruh netizen. 

Waduh, alih-alih hendak mengorek informasi tentang Fomo yang terjadi justru menguliti sisi negatif kanal Twitter ya. Maafkeun. Kembali fokus ke Fomo.

Rasa penasaran yang masih mengganjal itu pun akhirnya sedikit terobati takala saya menemukan postingan di akun Instagram Leaders_id. Salah satu akun yang konsisten memosting pengetahuan singkat terkait istilah asing yang trending kekinian.

Dalam postingan akun tersebut disebutkan, bahwa FOMO adalah singkatan dari kata Fear of Missing Out (takut ketinggalan). Lah, takut ketinggalan apa? Ketinggalan bus, pesawat atau kereta? Weh... Maksudnya bukan itu Wakaji. Terus maksud dari kata ketinggalan di sana apa lho?

Makna ketinggalan dalam pengertian FOMO di sini tidak lain dilekatkan dengan kemutakhiran teknologi. Di mana manusia-manusia di era ini hidup dalam bayang-bayang rasa takut ketinggalan informasi (up to date).

Rasa takut yang tinggi karena tidak mampu upload rutinitas di media sosial. Enggan berpergian jauh keluar karena takut tidak ada sinyal. Sampai takut ketinggalan zaman karena ketidakmampuan memiliki produk gadget terbaharu.

Secara garis besar, rasa takut itu kian menjelma menjadi candu dan ketergantungan akut yang terus diumbar. Terlebih-lebih jika ia telah mendapat titel selebgram, follower dan netizen (dalam makna negatif).

Ada kemungkinan besar tumpukan candu itu lambat-laun mengalahkan kebutuhan primer untuk hidup menjadi hal yang disepelekan. Lebih baik membeli kuota daripada membeli sebungkus nasi untuk mencukupi kebutuhan. Lebih gengsi tidak menenteng smartphone daripada menggasak uang yang bukan haknya. Lebih utama mengunggah foto makanan di medsos daripada membantu tetangganya yang kelaparan.

Era disrupsi yang tidak sungkan berkali-kali mereduksi dan mendistorsi realitas kehidupan sosial manusia. Bahkan kelatahan itu ditafsirkan sebagai kebutuhan hidup baru yang sama sekali tak dapat ditolak, terkecuali mereka yang memutuskan diri untuk menjalani pengasingan nyata di gua pertapaan sejati, Zuhud.

Pertanyaan selanjutnya, lantas siapa golongan yang rentang mengalami FOMO? Tentu ini melebihi garis teritorial tatanan kelas Borjuis dan Proletar ala Karl Marx, juga melampui Class Civilization yang dikumandangkan Samuel Huntington. Bahkan yang nampak itu lebih cenderung pada wajah persengkokolan prediksi teori Karl Marx, Samuel Huntington dan August Comte.

Menurut asisten profesor Texas A & M Health Science Center College of Medicine, Darlene McLaughlin, gangguan FOMO paling banyak terjadi pada generasi milenial (generasi Y), yaitu usia 1980-an hingga 1990-an. 

Hasil penelitiannya di Amerika menunjukkan bahwa terdapat 24% remaja yang menghabiskan waktunya di depan smartphone dalam kurun waktu 8-10 jam setiap hari. Sementara apabila penelitian itu dilakukan di Indonesia, mungkin hasilnya akan lebih mencengangkan. 

Dari sana kita bisa menarik simpulan, bahwa FOMO adalah syndrome yang tengah melanda generasi milenial, kecanduan gadget. Satu generasi yang memprioritaskan menggumuli Kemutakhiran teknologi sebagai kesibukan utamanya karena dihantui rasa takut dan genngsi yang akut. 

Pertanyaannya, apakah kamu termasuk golongan yang suka menggauli smartphone secara intens? Atau bahkan berlahan jiwamu tidak lain adalah smartphone? Jika iya, mulai sekarang berubahlah. Introspeksi diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Gunakan smartphone sesuai dengan kebutuhan dan porsinya. 

Bukankah isrof dan tabdzir sangat tidak dianjurkan dalam agama Islam? Apa-apa saja yang berlebihan selalu mengandung kemadaratan.

Tulungagung, 17 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun