Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Idul Adha

31 Juli 2020   18:55 Diperbarui: 31 Juli 2020   18:53 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kupapak sang fajar dengan niat tulus tercongkol di sanubari
Sejumput tekad kudapati sedang asyik menggubris dingin menyelimuti
Rasanya, sekujur awak membeku di ubun hari
Tapi itu bukan alasan berat teruntuk beranjak pergi

Entahlah, entah telah seberapa lanyah aku merendahkan keramik-keramik yang tak luput dari segi
Mungkin tak terhitung jemari
Dan sekarang, terus aku susuri
Rasa-rasanya aku telah merenggut pesona dirinya nan berseri-seri
Beningnya telah berganti kusam kini

Tak dapat terpungkiri,
Gemricik muntahan air di keran bersimpang siur dengan gema toak nada elegi
Kupikir itu epilog, nyatanya deretan panjang afeksi
Ingatanku mengatakan, "estafet bahasa itu tidak lain jamuan Ilahi!"

Di kamar mandi,
Masih saja ruang hening saling suka dalam berbagi
Meski samar namun hadirnya tetap menusuk di ulu hati
Menghujam kuat mendekap diri
Terus mengalun mendikte bulu Roma berdiri

Selang sesaat kubasuh minyak di wajah  berkali-kali
Hingga sadarpun menggerayangi
Jendela daun telinga masih jelas terketuk-ketuk samudera puji
Hanya panggilan salat fajar itu yang menyelangi

Sejenak termenung di atas sajadah pun tak dapat terhindari
Kilas balik persimpangan ingatan itu mengantarkanku pada meja yang lengang tanpa isi
Baik itu secangkir kopi maupun roti
Atau bahkan seonggok toples Khong Guan tersandung remah-remah rengginang rasa terasi

Apa harus aku mengadu biung di rumah?
Ah, keyakinanku tak pernah mendefinisikan diriku sebagai yang lemah
Meski nyatanya anak manusia itu hanya mampu menambah susah
Menata kebutuhan ini-itu menjadi alamat mubah

Aku terperanjat, terlilit tali pusar bernama sepi
Dan terhiyak kalau-kalau Ied Mubarak ini bukanlah Fitri
Mana mungkin angpau itu akan diberi
Toh, baju baru itu telah terampas pandemi

Kutengok dalam-dalam tetangga menggiring anak berturut isteri
Menyelendangkan sajadah di bahu kiri
Melenggang kaki sembari menebar parfum kasturi
Sementara setengah wajahnya terbalut masker kain Asahi

Tepat di selasar Masjid agung itu orang-orang sedang kepayang menikmati
Sekonyong-konyong keakuan sirna dalam imajinasi
Kutafsiri dengan lancang dalam tabir intuisi
Mereka bertawaf di selingkung Ka'bah mengilingi

Segunung sayang tak mampu membeli musafahah beriring cipika-cipiki
Yang nampak jelas seusai khotbah melaron diri

Tulungagung, 31 Juli 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun