Mohon tunggu...
Manda Gloria
Manda Gloria Mohon Tunggu... Petani - "Setiap kebaikan perlu diabadikan"

"Menulislah! Untuk perubahan."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cukupkah Beramal Hanya dengan Berbekal Niat?

15 Januari 2020   18:27 Diperbarui: 15 Januari 2020   18:34 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.facebook.com/Alacakaranlik.sayfasii/

Dari Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah." (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadis)

Niat menjadi elemen penting dalam perbuatan. Niat menjadi tolok ukur suatu amalan. Diterima atau tidaknya sebuah amalan bergantung pada niatnya. Serta banyaknya pahala yang diterima juga bergantung padanya.

Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharapkan wajah-Nya."

Dalam hadis lain Rasulullah saw. bersabda:
"Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)

Hadist ini memperjelas bahwa sebuah amalan tidak cukup hanya dengan niat saja, tetapi juga diikuti dengan cara yang benar. Harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw. yaitu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunah. Keduanya harus berjalan beriringan agar tercipta amal baik yang diterima (ihsanul amal). Apabila hanya terpenuhi salah satunya saja, maka amal tersebut akan tertolak.

Meskipun demikian, masih ada banyak orang yang terjebak pada keikhlasan saja. Tanpa memperdulikan cara yang digunakan. Apakah halal atau haram, baik atau buruk, terpuji atau tercela dalam pandangan syariat. Oleh karenanya, mempelajari Islam sangat diperlukan untuk mengantarkan pada kesempurnaan amal perbuatan.

Misalnya dalam ranah individu, tak jarang kita temui seseorang melakukan aktivitas ibadah shalat. Namun, syarat dan rukunnya masih belum terpenuhi karena minimnya ilmu yang dimiliki. Begitu pula ketika menutup aurat. Niatnya sudah benar, tetapi pakaian yang digunakan masih membetuk tubuh, kerudung hanya digunakan sebagai aksesoris bahkan masih banyak yang terjebak pada tabbaruj. Aktivitas menutup aurat yang dilakukan belum memenuhi syarat yang diperintahkan oleh syariat dalam al-Ahzab ayat 59 dan an-Nur ayat 31. Dan masih ada banyak lagi lainnya. 

Dalam ranah sosial, guna mewujudkan toleransi, sebuah lembaga Islam memperbolehkan pengucapan selamat Natal. Asalkan niatnya tidak dengan keimanan. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda:
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk ke dalam golongan mereka." (HR. Abu Dawud)

Bagaimana mungkin seorang muslim didorong untuk beramal tanpa sebuah keimanan. Sedangkan iman menjadi pondasi akidah umat Islam. Memisahkan keimanan dari segala amal perbuatan sama saja meniadakan peran agama dalam kehidupan (sekuler). Islam jelas melarang aktivitas semacam itu. Karena Islam mendorong setiap aktivitas disertai keimanan dengan menghadirkan Allah Swt. dalam setiap perbuatan.

Dalam ranah bernegara, setiap orang mengharapkan perubahan. Dengan ikut serta dalam politik demokrasi, mereka berharap bisa mewujudkannya. Padahal Rasulullah saw. tidak pernah memberikan contoh hal yang serupa. Bahkan Rasulullah saw. menolak secara tegas tawaran kafir Quraisy untuk mengambil kekuasaan melalui sistem kufur. Rasulullah saw. tetap teguh memegang Islam. Demokrasi bukan lahir dari rahim Islam. Mengambilnya sama saja menyia-nyiakan amal perbuatan. Serta mendatangkan murka dari Allah Swt. Sang Pencipta alam semesta. Sehingga tak heran jika hari ini terdapat banyak kerusakan karena tidak menerapkan syariat-Nya.

Adapun diantara tanda-tanda keikhlasan dalam diri seseorang ada tiga, yaitu: mau menerima nasehat walaupun dari orang yang tidak setara dengannya (memiliki kedudukan lebih rendah), tidak merasa sempit ketika kebenaran justru nampak dari orang lain, dan yang pasti tidak mudah berfatwa serta memutuskan sebuah hukum.

Kata ikhlas yang sering terucap, tak jarang masih jauh dari definisinya. Ikhlas seharusnya hanya mengharap ridha kepada Allah Swt. semata. Sehingga mendorong seseorang untuk melalukan aktivitas sesuai dengan yang diperintahkan tanpa memperdulikan resiko apapun, meskipun seluruh dunia mencaci dan membenci. Serta tidak mudah gentar ketika orang-orang menunjukkan keburukannya tatkala kita hendak mendekatkan diri kepada Allah Swt..

Ikhlas sendiri masih sering ternodai oleh riya. Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena manusi adalah riya' dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah apabila Allah Swt. menyelamatkanmu dari keduanya." 

Sudah selayaknya kaum Muslimin melakukan introspeksi diri. Apakah setiap amal yang diperbuat telah sesuai dengan standar syariah? Sudahkah setiap amal yang diperbuat ikhlas mengharap rida Allah semata? Sehingga kualitas amal kaum muslimin akan meningkat dari hari ke hari. Sudah selayaknya kaum muslimin menyelaraskan amal perbuatannya dengan niat yang lurus hanya mengharap rida-Nya serta sesuai dengan standar syariah Islam. Bukan hanya dalam ranah individu, masyarakat, tetapi juga dalam ranah bernegara. Wallahu 'alam bishshawab.

Oleh: Kunthi Mandasari*

*Penulis adalah pemerhati generasi dan aktif dalam komunitas menulis Akademi Menulis Kreatif (AMK)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun