Mohon tunggu...
Salamun Ali Mafaz
Salamun Ali Mafaz Mohon Tunggu... -

Penulis, pencinta kuliner nusantara, penikmat film dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seksualitas Dalam Agama

23 April 2013   16:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:44 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seksualitas Dalam Agama

Oleh : Salamun Ali Mafaz

“Porno itu letaknya ada dalam persepsi seseorang. Kalau orang kepalanyangeres, dia akan curiga bahwa Alquran itu kitab suci porno, karena ada ayat tentang menyusui (al-Baqarah: 233) dan ada roman-romanan antara Zulaikha dengan Yusuf (Yusuf: 24).”

KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur)

Persekongkolan Agama, dan Seksual

Wahyu seksualitas agama, sudah terkandung dalam beberapa ayat misalnya ayat yang diklaim diperbolehkannya poligami, (fankihu maa thaba lakum minan nisa masna wa tsulasa wa ruba’) atau ayat yang berkenaan dengan aturan berhubungan (nisaa ukum hartsun lakum). ayat tentang menyusui (al-Baqarah: 233) dan ada roman-romanan antara Zulaikha dengan Yusuf (Yusuf: 24).Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang berhubungan dengan dunia remang-remang dan dunia kelamin ini.

Dalam beberapa hadits juga banyak yang mengupas tentang masalah seksualitas, bahkan dalam tradisi pesantren ada kitab yang mengupas khusus masalah dunia kelamin ini, ambil contoh misalnya kitab Uqud lujayyin yang mengatur relasi suami-istri, atau kitab qurrotun ‘uyyun yang mengupas lebih mendalam lagi dunia seksual.Di dalam kitab `Ubab dan lainnya bahwasanya sunnat dahulu daripada jima` itu memakai bau-bauan kedua laki [dan] istrinya dan bergurau-gurau dahulu dan bermain-main dengan kelakuan yang menyenangkan hati istrinya, dan membangkitkan syahwat. Disebutkan di dalam kitab Syaikh Zarruq bahwa `ulama mengatakan : jima` dengan tiada mengerjakan sesuatu yang mendatangkan birahi perempuan itu akan mengakibatkan pada anaknya cacat, kurang pintar dan penyakit. Dan apabila keluar mani suaminya lebih dahulu, seyogyanya hendaklah menunggu sampai puas istrinya. Intinya di dalam pesantren sekalipun, dunia seksualitas masih mendapatkan porsi yang khusus untuk dijadikan bahan pegangan kehidupan berumah tangga.

Kenapa dunia seksualitas selalu dianggap najis bahkan diklaim sebagai lingkaran setan, nyatanya tidak demikian,  masalah seksualitas agama sudah mengatur lebih mendalam tentang hal demikian, namun mungkin perbedaannya lebih dikemas secara bermoral, beda dengan wacana lain yang seakan ditampilkan agak senonoh dan tidak bermoral.

Masalah hasrat seksual manusia, tentunya kita kembalikan kepada masing-masing individu, seperti apa pengalaman dan insting mereka. Misalnya, seseorang yang hidup di Eropa tidak bisa disamakan dengan seseorang yang hidup di Timur Tengah. Atau contoh lainnya misalkan, seseorang yang hidup di Pulau Bali, Papua, tidak bisa disamakan dengan seseorang yang hidup di Pulau Jawa. Dengan demikian, cara pandang dalam menyikapi masalah seksual tidak bisa disamakan, dan tentunya masalah hukum saya rasa perlu adanya pertimbangan khusus. Dalam kaidah ushul fiqih terdapat kaidah al hukmu yadurru ma’alillah wujudan wa ‘adaman dan kaidah al’adah muhakkamah.

Sejatinya, wahyu seksualitas agama memang sudah ada, namun bedanya sebelum wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad. Kancah seksualitas dilakukan secara binal dan penuh dengan eksploitasi terhadap perempuan. Kita tahu sendiri bagaimana hasrat seksual bangsa Arab pada waktu itu, Al-Quran sendiri menyebutnya sebagai assyadul kufr wan nifaq, baru setelah wahyu turun kepada Nabi, masalah seksual ini agak diberi rambu-rambu khusus termasuk aturan dalam berpoligami. Akan tetapi mau tidak mau sebenarnya masalah poligami hanyalah menjurus kepada masalah seksual dan pemenuhan hasrat belaka.

Dalam prespektif religius, agama-agama memiliki dasar pengetahuan mengenai wilayah ini, berkat pewahyuan yang mereka terima; karena itu agama merasa mampu mengatasi kebimbangan terhadap wilayah remang ini dan menetapkan perilaku normatif untuk mengantisipasinya. Agama yang berkembang menjadi lembaga resmi dalam menjalankan fungsi sosial, karena posisi pengetahuannya, dan merasa berhak mengendalikan, baik dengan norma-norma maupun upacara-upacara. Namun manusia modern sebagai subjek yang berhasrat (the desiring subjek) rupanya mempunyai keberanian bertualang untuk memasuki wilayah remang dengan resikonya sendiri, daripada mentaati rambu-rambu yang dicanangkan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun