Mohon tunggu...
Maman Suratman
Maman Suratman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta. Website: mamansuratmanahmad.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Membela Filosofi Libertarian

25 Januari 2015   09:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:25 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14221288331449414410

LPM Arena, 20 Januari 2015

[caption id="attachment_393096" align="aligncenter" width="150" caption="http://www.rogerebert.com/reviews/the-conspirator-2011"][/caption]

Apa hendak dikata ketika seseorang yang kita cintai dituduh sebagai dalang sebuah pembunuhan berencana – hukumannya, jika bukan mati, penjara seumur hidup? Kita bisa saja meluapkan emosi kepada siapa dan apapun yang ada di sekeliling kita. Ini sebentuk reaksi terhadapnya. Tetapi, emosi yang kita luapkan itu, sungguh tidak akan pernah cukup, dan jauh lebih tidak akan berarti apa-apa, bagi kita ataupun untuk dia yang kita cintai. Berserah? Bisa jadi itu yang paling mungkin bisa kita perbuat.

Semua orang tentu tidak akan ada yang menghendaki pengalaman yang demikian. Semua bahkan akan bertarung nyawa demi menjaga seseorang yang dicintainya. Tetapi bagaimana ketika kondisi itu berlaku pada yang sebaliknya? Jelas ini akan berbeda. Tidak cukup hanya dengan senyuman, histeris kegirangan pun seketika akan meluap. Lagi-lagi, semua itupun tidak akan cukup.

The Conspirator, sebuah film yang mengisahkan tragedi pembunuhan Abraham Lincoln di tahun 1865, menunjukkan bagaimana besarnya kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Meski nyawa sebagai taruhannya, Mary Surratt (Robin Wirght) nekat diakhiri hidupnya demi menyelamatkan sang anak, John Surratt (Johnny Simmons), yang diputuskan bersalah oleh negara karena terlibat dalam konspirasi pembunuhan sang presiden. Mary rela menanggung kesalahan sang anak atas dasar kasih sayang yang berlebih. Sebuah fakta yang kerap kita jumpai di kehidupan sehari-hari kita.

Terlepas dari rasa sayang seorang ibu terhadap anaknya, film ini sejatinya hendak menunjukkan bagaimana filosofi libertarian wajib untuk kita bela. Dalam keadaan dan kondisi apapun, hak-hak konstitusional seorang sipil selamanya tidak boleh kita abaikan, apalagi oleh penentu kebijakan dalam sebuah negara. Setiap warga negara, siapa dan dari manapun ia berasal, harus diperlakukan setara, terutama di mata hukum. Bahwa hukum mengikat setiap individu masyarakat tanpa tebang pilih.

Adalah Frederick Aiken (James McaVoy), seorang pengacara muda dan ternama Amerika, berhasil meneguhkan filosofi tersebut. Ia berhasil meyakinkan dirinya secara pribadi bahwa sentimen individu atau kelompok tidak boleh melandasi pengambilan keputusan bagi keseluruhan warga negara. Dan bahkan, perasaan kemanusiaan pun harus diredam jika yang ingin diungkap adalah sebuah kebenaran. Baginya sendiri, kebenaran harus tetap diungkap, apapun konsekuensinya.

Sebagai seorang pengabdi hukum, Aiken yang saat itu ditugaskan untuk membela Mary Surratt sebagai tersangka pembunuhan, harus memilih antara menjadi patriot negara atau pejuang kemanusiaan. Jika memilih yang pertama, berarti ia harus menanggalkan idealismenya sebagai seorang yang dituntut untuk senantiasa bersikap objektif. Jika memilih yang kedua, berarti harus menerima pengasingan publik—patut diingat bahwa sentimen Utara-Selatan begitu dominan pasca tragedi pembunuhan sang presiden.

Melalui berbagai pertimbangan dan fakta di lapangan, Aiken lebih memilih untuk berbicara atas nama kebenaran. Ia memilih menjadi “penghianat bangsa” demi tegaknya kebenaran hakiki. Ia memilih untuk mengabaikan perasaan seorang ibu yang sangat besar rasa sayangnya terhadap anaknya.

Sebagai seorang liberal, keputusannya tentu sudah sangat tepat. Seorang liberal senantiasa menyadari bahwa pilihan selalu menyisahkan sesuatu yang tak tergantikan. Mustahil bagi seseorang bisa memiliki dua hal baik dalam sekaligus tanpa memilih salah satu di antaranya.

Sekali lagi, apa yang hendak disampaikan film ini kepada publik dengan menampilkan sosok libertarian seperti Aiken adalah bahwa kapan dan di manapun, seseorang atau kelompok, selamanya tidak boleh meniadakan hak-hak atau kebebasan individu orang lain. Semuanya harus memperlakukan dan diperlakukan setara di segala bidang, hukum, politik, sosial, dan sebagainya. Hanya kebenaran hakikilah yang menjadi hakim di atas segalanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun