Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Si Penari Sintren

10 Oktober 2018   14:30 Diperbarui: 12 Oktober 2018   08:09 3921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: nuansasupranatural.blogspot.com

Malam mulai merangkak. Gelap menyelimuti. Rembulan mengintip di balik pohon mangga yang rimbun. Suara jangkrik mengikik menghibur malam.

Sayup-sayup terdengar nyanyian.

Turun turun sintren

Sintrene widadari

Nemu kembang yun ayunan

Nemu kembang yun ayunan

Kembange putri mahendra

Widadari temurunan

Nyanyian itu sebagai pertanda pertunjukan sintren sudah dimulai. Suara sinden lirih mengundang warga untuk mendatanginya. Irama buyung berpadu serasi dengan bumbung, tutukan dan kecrek. Menghadirkan suara musik khas seni sintren.  

Warga kampung Belut, di pesisir pantai utara Jawa Barat:  tua-muda, laki-perempuan berdatangan ke pelataran rumah H. Sulaeman. Mereka ingin menyaksikan pertunjukan sintren. Jarang sekali warga bisa menikmati pertunjukan ini. Pertunjukan yang unik dan berbau mistis.

Hampir setiap musim panen padi tiba, rombongan itu mendatangi kampung itu. Ketika bulan bersinar terang, mereka menggelar pertunjukan tari sintren.

Pertunjukan malam itu segera dimulai.  

Seorang perempuan muda berparas ayu, khas pantura,  membawa buntelan kain terlihat dipegang oleh dua orang laki-laki berpakaian serba hitam. Perempuan muda itu disyaratkan harus masih perawan untuk bisa menjadi penari sintren. Konon sintren itu berarti "dia seorang putri."

Di depan perempuan  muda itu seorang laki-laki dengan kumis dan jenggot yang panjang sedang memegang tempat kemenyan yang terbuat dari tanah liat. Asap kemenyan mengepul menyebar ke segala arah dan baunya memburu setiap lubang hidung. Suasana mistis sangat terasa.

Nyanyian Turun turun sintren Sintrene widadari  terus dialunkan oleh para sinden seakan meminta agar sintren agar cepat beraksi.  Ranggan atau kurungan ayam  sudah siap dengan kain yang menutupinya. Tikar pandan disiapkan untuk membungkus penari sintren yang siap masuk kurungan. Mantra-mantra mengundang roh Dewi Lanjar atau Rr. Rantamsari, Ibunda R. Sulandono yang konon biasa mempertemukan roh anaknya dengan pacarnya, Sulasih, terus dilapalkan oleh ki dalang.  

Gadis itu berdiri. Kain bercorak batik dibungkuskan ke tubuhnya. Kemudian para laki-laki itu mengikatnya dengan tambang dari kaki sampai leher. Laki-laki berjenggot kemudian menebarkan asap kemenyan ke sekitar tubuh dan wajah gadis itu dan mengusapkan tangannya ke mukanya.

Seketika itu juga, si gadis pingsan terjatuh disangga para lekaki dan membaringkannya di tikar pandan yang sudah disiapkan. Kemudian orang yang berjenggot sebagai dalangnya membukus gadis itu dengan tikar pandan dan memasukannya ke ranggan atau kurungan ayam.

Nyanyian terus dilantunkan dengan iringan musik khas sintren.

Selasih Selasih Sulandana

Menyangkuti ragae sukma

Ana sukma saking surga

Widadari temurunan

Gadis-gadis berpenampilan mencolok bergaya kerajaan terus menari mengelilingi ranggan yang di dalamnya ada penari sintrennya. Dayang-dayang itu, untuk beberapa saat mereka terus menari diiringi nyanyian dan musik.

Ketika ranggan itu bergetar, si dalang membuka ranggan itu. Apa yang terjadi? Di luar nalar, gadis yang tadinya diikat dan hanya berpakaian biasa berubah menjadi gadis dengan berpakaian bagus dan sudah berbedak, sudah bergincu dan sudah berkaca mata. Penampilannya seperti bidadari dari kayangan.  

Perlahan, si sintren melenggak lenggokan tubuhnya, menari dengan gemulai. Seperti bukan dirinya, ia seperti kerasukan. Ia terus menari dan menari. Ketika ada penonton yang melempar uang mengena ke tubuhnya, ia langsung jatuh pingsan. Ia siuman kembali setelah ki dalang mengusap wajahnya dan membacakan mantra. Ia pun menari lagi sampai ada yang melempar uang lagi dan seterusnya sampai pertunjukan selesai.              

Ketika pertunjukan usai. Si penari sintren ditutup lagi dengan ranggan. Tembang pun mengalun. Suara sinden seperti memelas. Tembang terus berulang seperti sedang membaca mantra yang penuh magi.  

Kembang kilaras ditandur tengae alas

paman bibi aja maras

dalang SINTREN njaluk waras.

Sintren pun perlahan pulih kembali. Ia sadar kembali. Ia berpakaian seperti semula, sebelum ia berdandan. Pertunjukan pun tuntas. Warga kembali ke rumah masing-masing. Dalang, sintren, para penari, panjak, sinden dan para pendukung lainnya berkemas untuk beristirahat.

***

Nok Erni, demikian ia biasa dipanggil di keluarga dan lingkungannya. Ia berumur 15 tahun. Ia adalah penari sintren itu.  Sejak umur 14 tahun ia diajak Ki Darsam, dalang sintren sekaligus pimpinan kelompok "Sintren Darsam". Ia mengajak Nok Erni bergabung dengan kelompoknya. Waktu itu, Erni masih kelas satu SMP. Sebenarnya Ki Darsam sudah mengajak Erni untuk bergabung dengan kelompok sintrennya sejak ia lulus SD karena kecantikan paras Erni. Namun orang tua Erni tidak mengizinkannya.

"Biarkan Erni sekolah dulu. Nanti kalau sudah lulus SMP, silahkan" Kata ayah Erni waktu itu kepada Ki Darsam.      

Namun ketika Erni naik kelas dua, Ki Darsam terus mendatangi ayah Erni. Bahkan ia tidak segan-segan memberikan uang kepada orang tua itu. Lambat laun, orang tua Erni merasa tidak enak hati menerima uang terus dari Ki Darsam. Akhirnya ia bilang ke Erni agar ikut Ki Darsam menjadi penari sintren.

Erni tentu tidak menerima putusan orang tuanya itu. Tapi orang tuanya mengatakan bahwa mereka sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolahnya. Sebagai gadis kecil, ia pun akhirnya menuruti keputusan orang tuanya menjadi penari sintren.  

Erni hari-harinya diisi dengan pertunjukan sintren ke berbagai daerah. Ia bersama dengan kelompok sintrennya pindah dari satu daerah ke daerah lainnya untuk mementaskan tarian sintren.  

Suatu sore, ayah Erni memanggilnya. "Nok, kamu sekarang sudah besar. Penghasilan dari sintren tidak seberapa. Apa kamu tidak mau menikah?"

Tanya Bapaknya berhati-hati.

"Belum kepingin Pak."

"Kalau ada yang mau, kamu mau Nok?"

Sesaat suasana hening. Hanya ada suara napas memburu yang terdengar.

Erni menarik napas dalam-dalam.

"Saya masih ingin bermain sintren Pak".

Terngiang di telinganya nyanyian sintren.

Turun turun sintren

Sintrene widadari

Nemu kembang yun ayunan

Nemu kembang yun ayunan

Kembange putri mahendra

Widadari temurunan

"Haji Sugi, juragan sawah, memintamu jadi istri ketiganya." Ayahnya melanjutkan.

Erni hanya mematung mendengar ayahnya bicara. Hatinya hancur berkeping-keping.

Ia tidak sanggup mengugkapkan bahwa ia sebenarnya sudah punya lelaki yang menjadi pangeran mimpinya.

"Gimana Nok, kamu mau?" Kata Bapaknya melihat anaknya hanya diam membatu.      

"Apa kamu sudah punya pacar?" selidik Ayahnya.  

"Emm...itu Pak......"

"Siapa Nok?" Bapaknya tidak sabar.

"Kang Indra"

"Siapa dia?"

"Itu Pak, Anaknya Pak Kuwu."

"Kuwu mana?"

"Pak Kuwu Gede" kata Erni.

"Kalau itu Bapak Tahu. Yang masih sekolah SMA itu kan?"

Bapaknya berdiri.

"Sebaiknya kamu bercermin Nok. Bapak ini hanya buruh tani dan kamu hanya seorang......" Bapaknya tidak kuasa meneruskan.

"Bukan Bapak tidak menyetujui hubunganmu."

"Tapi aku mencintainya Pak. Aku yakin Kang Indra juga."  

Erni berusaha meyakinkan Bapaknya.

"Tapi kita harus tahu diri Nok." Intinya Bapak tidak setuju. Atau tepatnya tidak mau kamu nanti akan kecewa dan sakit hati karena ditolak keluarga Indra. Tapi itu tidak terucap di mulutnya.      

***

Firasat Bapaknya tidak salah. Kabar tertariknya Indra kepada Nok Erni, si penari  sintren ayu itu, sampai juga kepada Pak Kuwu Gede, Kuwu tetangga Desa. Jelas Pak Kuwu menentang habis hubungan asmara anaknya dengan si penari sintren itu. Jelas, perbedaan derajat keluarga mereka bagaikan bumi dan langit.

Tidak mungkin...tidak mungkin...jangan sampai ini terjadi. Kata hati Pak Kuwu Gede di suatu malam.Indra ini adalah anak Kuwu Gede dan penerus tahta perkuwuan di desa ini. Mana mungkin beristrikan bekas sintren.  

"Indra, Ayah ingin bicara." Dengan muka dilipat Pak Kuwu memanggil anaknya.

"Ayah dengar kamu berhubungan dengan si sintren centil itu?"

"Maksud Ayah?"

"Ya, ayah dengar dimana-mana masyarakat membicarakan hubungan kamu dengan si Erni."

"Oh itu maksudnya, kami hanya beteman kok Pak."

"Ayah tidak percaya, kamu hanya beteman."

"Benar Ayah."

"Orang-orang bilang kamu kemana-mana berduaan."

Ayahnya langsung menohok.

"Ayah yakin pasti kamu dipeletnya." Pak Kuwu sambil mondar-mandir menaruh tangannya dipinggang.

"Entahlah Ayah. Sebagai seorang terpelajar saya tidak percaya segala hal tentang mistis." Kata Indra mendebat Ayahnya.

"Jika pun saya menyukainya karena memang itu datang dari lubuk hati yang paling dalam. Bukan karena hal-hal lain."  

"Tidak! Tidak bisa kamu jatuh cinta kepada si penari itu. Apa matamu sudah buta?" Pak Kuwu mengeluarkan emosinya.  

Indra hanya duduk tertunduk menekuk punduk seperti maling yang tertangkap penduduk.

"kalau kamu menyukai cewek, carilah yang sederajat." Sembur Ayahnya.

"Mau ditaruh di mana muka Ayahmu ini?" Muka Ayahnya merah padam bagai bara.

"Jika kamu mau, hari ini juga akan Ayah bawakan dua atau tiga cewek yang cantik jauh melebih si penari sintren itu. Tidak hanya itu, mereka juga gadis-gadis yang makan bangku sekolah. Tidak seperti si centil itu." Sungut Ayahnya.  

"Apakah mereka bisa menari indah seperti Erni?" Indra beranikan diri bertanya sembari mengangkat mukanya. Menatap ayahnya. Dua mata beradu sekelebat. Indra tertunduk lagi, tak berani menatap mata ayahnya yang dipenuhi api amarah seakan menjilat-jilat.      

"Memang harus pintar menari?" sungut ayahnya.

"Saya sangat mencintainya, Ayah."

"Tidak! Pokoknya Tidak! Titik!" Braaaak....suara meja di ruangan itu berbunyi keras. Pak Kuwu lepas kendali. Meja di depannya dipukulnya sekuat tenaga.

Indra terperanjat kaget. Dia tak menyangka ayahnya akan semarah itu. Ia hanya diam, mematung.

***

Sementara di rumah orang tuanya, Erni sedang menangis di kamarnya.  Ia teringat almarhumah Ibunya yang setahun lalu meninggal dunia. Biasanya kalau ia sedang ada masalah berat, ia selalu mendekati miminya itu  dan tiduran di pangkuannya sambil berkeluh kesah. Saat seperti itu, miminya menyiraminya dengan kata-katanya yang menyejukan. Ia dengan sendirinya akan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Tapi kini, ketika Ibunya telah pergi untuk selama-lamanya, ia hanya bisa menangis sendiri di kamarnya.

"Ya...Allah berilah hambamu ini petunjuk. Jika Kang Indra memang jodohku permudahlah jalanku untuk bersatu. Tapi jika bukan, mohon berilah petunjuk jalan keluar yang baik."

Tak terasa air mata Erni mengalir membentuk parit-parit kecil di pipinya yang subur.

Di ruang tengah rumah, Bapak Erni termenung membeku menyangga dagu.

Ia bingung bukan kepalang. Ia tidak menyangka, Pak Kuwu Gede yang dalam pikirannya akan menolak cinta anaknya ternyata ia menyampaikan keinginannya untuk menjadikan Erni sebagai Istri keduanya. 

Ternyata diam-diam Pak Kuwu Gede juga tercuri hatinya oleh si penari sintren  yang dia bilang centil itu.  

Di dalam kamar Erni terus menangis. Ia tak menyangka kejadiannya akan serumit ini. Tengiang di telinganya nyanyian sintren.  

Kembang kilaras ditandur tengae alas

paman bibi aja maras

dalang SINTREN njaluk waras.

Ia seakan sedang menari  sintren yang dikendalikan oleh kekuatan luar. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan segalanya kepada-Nya. 

Ia bisa saja lari bersama Kang Indra, lelaki impiannya itu. Tapi itu tidak dilakukannya. Meski demikian, ia bertekad  akan tetap perjuangkan cintanya.

Jakarta, 10 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun