Kedua soal standar kebersihan dan kemampuan. Jujur, pertama kali saya takjub saat mereka cepat sekali mengerjakan sesuatu. Eh, ternyata tidak bersih! Pokoknya parah. Jadi, harus diajarin dari nol.
Tentang ini, saya merasa kaget ternyata menikah itu mengurus beginian to? Lebih enak kerja dong! Itu kesan awal saya tentang "dunia ibu-ibu" yang harus mengurus ART.
Akan tetapi di sisi lain saya butuh jasa ART. Duh, bisa kena thypus kalau ngepel, setrika, dan beres-beres semua.Â
Ditambah lagi, saya ini memang tidak bisa apa-apa untuk urusan pekerjaan rumah tangga (ini yang saya sesali, tapi sekarang sudah bisa dong). Dari kecil, saya tidak terampil memasak, menyapu, dan segala urusan rumah tangga.
"Sudah nggak usah perfect... merem saja... capek kalau kita pakai standar tinggi, " begitu saran sesama ibu-ibu. Oke, baiklah. Untuk urusan standar hasil pekerjaan cukup begitu.
Ketiga soal aneka rupa drama. Awalnya saya samakan dengan diri saya bahwa mengambil tanpa permisi adalah mencuri.Â
Eh, rupanya bagi ART saya ini tidak. Entah. Tiap hari ada saja bahan makanan berkurang. Suatu kali saya memergoki ART mencuri mangga. Bukannya minta maaf, malah marah.
Di depan suami saya, dengan sombong ART tersebut mengatakan saya sanggup membeli mangga. Duh. Serem! Saya sedikit trauma. Kok galakan dia?
Setelah itu banyak hal terjadi, ada yang pacaran dengan sopir, ada yang mencuri uang, ada yang korupsi waktu, ada yang joget-joget sambil cuci baju, dan seterusnya.Â
Tapi ada yang baik kok, Marry namanya. Dia sopan, mau belajar (termasuk masak), menurut, dan peduli sama saya.
Sewaktu saya hamil, Marry mengerti sekali. Saat itu saya mau muntah tiap kali membuka kulkas. Marry mau datang lebih cepat dan membantu mengambil apa yang saya butuhkan.