"Buk, kamu kok nggak cemburu kalau aku pulang malam?" tanya pak Gong ke bu Gong.
"Males, Pak.. Cemburu itu melelahkan! Biar yang muda-muda saja kayak Dilan dan Milea, " sahut bu Gong.
Pak Gong hanya tersenyum. "Buk, tapi kalau aku tergoda gimana? Ada banyak bapak-bapak yang punya sugar baby alias gula-gula loh. Kamu rela aku punya gula-gula?" tanya pak Gong lagi.
Bu Gong terkejut tapi dengan tenang dijawab pertanyaan pak Gong. "Ya, monggo saja kalau sampeyan mau kena diabetes. Semakin tua itu harus ngurangi gula, bukan malah pakai gula-gula! Gula-gula hidup lagi, itu menyerang syaraf, hati, limpa, dan otak!"
"Hah? Mosok sih, buk? Tapi temanku sudah lima tahun baik-baik saja. Istrinya malah nggak tahu dia punya gula-gula. Apa mungkin ini gula batu jadi lebih sehat dibanding gula pasir? " sahut pak Gong.
"Mau gula pasir, gula kelapa, gula batu ya tetap gula! Semua mengundang semut! Tapi terserah bapak... Aku males berurusan begitu, Pak!" bu Gong mulai sewot.
"Ngundang semut gimana, Bu? Kalau gula pasir iya. Tapi kalau gula batu itu beda dengan gula pasir murahan. Apalagi gula kelapa organik, wah kualitas tinggi! Gulanya orang pinter dan kaya. Bukan yang merongrong minta duit mulu!" kata pak Gong semakin serius.
"Ohhh... rupanya kamu sudah meneliti tentang per-gula-gulaan ya, Pak? Baik kalau begitu, saya cuma mau bilang satu hal saja, Pak!" kata bu Gong dengan nada naik satu oktaf. Bu Gong mulai emosi. Tak disangka pak Gong sudah banyak memikirkan tentang gula-gula ini. Bisa jadi pak Gong mulai ancang-ancang.
"Wealah... jangan marah, Bu! Aku kan cuma mau diskusi saja sama kamu?" rayu pak Gong.
"Pak... aku cuma mau bilang. Mau gula pasir, gula batu, ga kelapa, gula aren, atau gula apapun... kalau kamu diabetes, aku nggak mau ngurus! " kata bu Gong yang disambut ketawa cekikikan sama pak Gong. Bu Gong semakin sewot.
"Nakut-nakutin amat, Bu? " ledek pak Gong.
