Tak Ada yang Sempurna
Jika kehidupan pernikahan adalah sebuah perjalanan, terkadang ada saatnya merasa lelah.Â
Tak jarang orang memperlihatkan "fake harmony" di media sosialnya. Mungkin ingin mencitrakan sebuah kebaikan padahal sebenarnya melelahkan.
Saya mungkin tipe yang cuek. Tak peduli dengan pencitraan. Rumah tangga adalah ranah paling pribadi. Bagaimana mau pencitraan, wong kami tidak saling follow media sosial masing-masing? Hahaha...
Namun lebih dari semua itu, ada kesadaran diri bahwasanya saya tidak menikah dengan malaikat. Pun saya juga bukan malaikat.
Sering dalam pernikahan, konflik datang bertubi-tubi dan tekanan dari segala arah. Jika bisa pergi dan melarikan diri, mungkin saya pun akan melakukannya. Tapi kemudian saya pikir lagi, apa iya itu solusi?
Lalu kemudian introspeksi diri. Bukankah saya pun sering melakukan kesalahan? Bukankah saya juga belum menjadi yang terbaik untuk pasangan saya? Bukankah saya sering membuatnya kecewa dan marah?
Memaafkan itu memulihkan relasi
Entah kapan tepatnya, saya menyadari bahwa saya terlalu banyak menyimpan kesalahan orang lain, termasuk pasangan. Pastinya hal ini membuat saya tidak tenang dan sulit memaafkan.
Suatu hari saya merenungkan arti kasih. Rasul Paulus dalam suratnya untuk jemaat di Korintus dalam 1 Korintus 13:4-5 :Â
"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain."