Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres 1 kali Putaran, Dampak Positif dan Negatif

4 Juli 2014   13:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:32 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan saya ini sekedar coretan kecil, sekaligus sebagai tanggapan atas tulisan pak Khoeri Abdul Muid, bahwa Presiden "Jawa" untuk Republik Indonesia "Jawa". Tulisan inipun bukan selayaknya gugatan dari sekelompok orang yang menyatakan dirinya sebagai forum pengacara konstitusi yang telah melakukan gugatan uji materil atas undang-undang No. 42/2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Yakni pasal 159 ayat (1) tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden mengenai sebaran kemenangan Pilpres.

Karena sekedar pembanding atas perjalanan demokrasi bangsa kita yang sepertinya terlalu berbelit-belit dan terkesan memboroskan uang negara. Semoga saja saya tidak menyinggung persoalan potensi kebocoran anggaran, karena keluar jauh dari konteks pemahaman saya.

Namun ketika saya membaca tulisan pak Khoeri seakan-akan saya dipaksa menilai bahwa selama ini undang-undang pemilu kita selalu saja seperti "bahan mentah" yang selayaknya belum layak konsumsi. Meskipun bukan bermaksud merendahkan institusi yang membuat undang-undang ini. Namun, sebagai sebuah undang-undang yang notabene hasil buah pikir dan penalaran, asumsi atau bahkan mungkin"kepentingan" semestinya Undang-undang tetap saja bukan harga mati, sesuatu produk institusi yang tidak boleh dikoreksi dan diperbaiki. Tentu saja menurut saya, akan sangat mungkin sebuah produk undang-undang diperbaiki lagi atau dibuat undang-undang baru sebagai pengganti dari undang-undang yang dianggap "kurang tepat atau kurang layak".

Dengan kata lain, semua produk undang-undang itu adalah buatan manusia yang besar kemungkinan dianulir atau diamandemen jika didalamnya tidak sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kondisi kontemporer yang menuntut aturan baru yang lebih sesuai. Sebagaimana telah diamandemennya UUD 1945 karena kebutuhan kekinian. Apakah kiranya merubah atau mengamandemen itu sebuah kekeliruan? Sepertinya tidak juga, karena bagaimanapun Undang-undang apapun bukan produk keramat yang tak dapat diperbaiki jika terdapat kesalahan atau membutuhkan koreksi atas apa yang terjadi. Seperti halnya digugatnya UU no 42 tahun 2008 tersebut.

Begitupun pemerintah menganggap keputusan Yudicial Review oleh MK tersebut merupakan keputusan final dan harus diikuti oleh semua orang. Karena MK memiliki kewenangan dalam memutuskan direvewnya sebuah undang-undang atas kebutuhan dan kepentingan tertentu.

Terlepas telah diputuskannya undang-undang yang menyatakan bahwa peraih suara terbanyak memang layak menjadi presiden meski tanpa melakukan pemilihan putaran kedua tentu ada beberapa alasan yang tentu saja sudah dipertimbangkan masak-masak.

1. Pemilu satu putaran mengurangi cost untuk Pemilu

Sebagaimana keputusan tersebut mempertimbangkan azas ekonomi di mana ketika sebuah proses demokrasi maka selayaknya pemerintah menghitung ulang penggunaan anggaran negara tersebut. Sebagaimana dipahami bahwa biaya pelaksanaan pemilu terlalu mahal jika dikaitkan kondisi kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Adalah sebuah kebaikan jika pemilu tersebut diselenggarakan lebih efektif dan efisien. Pemilihan umum sejatinya sebuah proses berdemokrasi, namun adalah keniscayaan tidak mengorbankan segala-galanya demi sebuah demokrasi.

Betapa uang negara yang semestinya digunakan untuk hajat yang lebih spesifik ternyata harus dikorbankan demi sebuah Pemilu, toh kadangkala pemilu pun kurang menyelesaikan persoalan ekonomi bangsa Indonesia. Semakin lama kita mengadakan pemilu justru keuangan negara semakin terkikis. Padahal ada pos-pos lain yang lebih membutuhkan uang tersebut. Bahkan justru semakin memperberat beban negara disebabkan keuangan negara yang dihabiskan untuk proses demokrasi.

Kebutuhan logistik yang cukup memeras biaya, serta ongkos untuk membayar panitia pemilihan umum dari pusat sampai daerah yang jumlahnya tidak sedikit.

Namun demikian, dampak negatifnya adalah akan sangat sulit diberlakukan pada pemilu yang akan datang jika wakil rakyat (capres-cawapres) lebih dari dua pasang calon. Meskipun paling tidak yudicial review atas undang-undang tersebut menjawab keinginan rakyat agar hajat demokrasi lebih efektif dan efisien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun