Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mimpi Lampung yang Damai

4 Desember 2015   05:54 Diperbarui: 4 Desember 2015   08:07 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tabik pun

Lampungku surgaku, disanalah aku hidup, mencari rezeki dan menghabiskan masa tuaku nanti bersama anak dan cucuku dalam kedamaian dan kebahagiaan. Dan tentu di bumi Ruwa Jurai itu, aku menambatkan kehidupan yang baik hingga di akhirat kelak. Lampung adalah kota yang tapis berseri, indah menawan hati. Panoranamanya yang indah mengundang siapapun untuk hadir ke sana berjuang bersama-sama mencari bahagia meski latar belakang berbeda.

Begitulah mimpiku di bumi yang kucintai ini, dan boleh jadi semua warga penghuni daerah ini berpikiran yang sama. Seandainya ada yang tidak memimpikan masa depannya ala mimpiku, tentu ada alasan lain yang jauh dari pemahaman sosok yang bukan paranormal ini.

Lampung yang dulu 

Aku adalah salah satu warga Lampung yang mengenal Lampung yang damai, semua warganya bersatu dan saling bahu membahu membangun daerahnya. Bersepakat untuk saling menolong melestarikan keindahannya dengan semangat tak terhitung lagi. Bahkan semenjak dulu, ketika Lampung masih banyak ditumbuhi rerimbunan ilalang, semak belukar dan hutan belantara. Masyarakat Lampung berusaha membangun daerahnya agar bisa maju menjadi daerah yang bisa setara dengan daerah lain. Tanah kami olah bersama-sama, dan hasilnya pun kita nikmati demi kehidupan yang lebih baik.

Hutan belantara kami lindungi agar nyaman untuk ditinggali para satwa, dan tentu sejuknya udara menjadi hiburan setiap pagi lantaran pepohonan nan subur banyak tumbuh di sini.

Kami bersekolah, belajar ingin meraih mimpi bagaimana bumi Lampung ini bisa maju dan sejahtera, selayaknya ibukota yang selalu lebih maju daripada daerah-lainnya seperti Lampung.

Terus terang, kala itu hatiku damai dan tentram meskipun kadang makan hanya dengan singkong bakar dengan sambal terasi, kami begitu rukun dan damai. Saking rukunnya kami tak tahu lagi, apakah kami warga pribumi atau pendatang, lantaran kami bisa saling berdampingan meski berbeda cara pandang. Kami bisa bertukar pikiran, meski adat budaya kami yang berbeda. Meski agak terseok-seok lantaran perbedaan bahasa yang sedikit menjadi penghalang hingga kami bisa berbaur menjadi satu keluarga yang rukun.

Tapi, bagaimanapun juga, karena sudah menjadi rahasia Ilahi bahwa setiap bangsa dan suku serta manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, tentu saja menjadi bumbu wajib jika terjadi konflik kecil karena perbedaan itu. Maka dari itu, semangat saling menghargai, menghormati dan saling mencintai sebagai bagian NKRI adalah harga mati. Pantang bertempur jika hanya ingin merebutkan harta yang tak seberapa. Ibarat kata pepatah "merebut tulang tanpa daging". Untuk apa bertikai, kalau yang direbutkan tak kan pernah dibawa mati. Sia-sia sajalah sepertinya.  Jadi semua masalah sejatinya bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah serta perdamaian.

Lampung yang kini

Apakah berbeda Lampung dulu dan kini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun