Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Puisi dari Penggiat Sastra

22 April 2016   06:45 Diperbarui: 24 April 2016   01:03 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bimbingan teknis seni sastra bagi pelajar SLB di Hotel Nusantara, Bandar Lampung 21-23/4/2016 (doc. pribadi)"][/caption]Malam ini (21/4/16) adalah malam pertama ketika kami mendapatkan bimbingan teknisi tentang sastra oleh para penggiat sastra. Kegiatan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung ditujukan pada para siswa SLB Provinsi Lampung untuk Tuna Netra dan Pembimbing yang tujuannya mempersiapkan mereka dalam perlombaan FLS2N yang sebentar lagi dihelat.  Meskipun acara ini untuk menyongsong perhelatan akbar lomba Festifal Lomba Seni Siswa Nasional, sejatinya tidak semata-mata hanya sekedar aktivitas yang instant, karena semestinya acara-acara yang demikian dilaksanakan secara berkesinambungan.

Dengan dididik dan difasilitasi oleh para instruktur yang berasal dari penggiat sastra di provinsi yang sama memberikan kesan yang mendalam, betapa sastra (puisi) itu adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia yang bernilai tinggi. Inilah kesan pertama saya setelah mendapatkan pencerahan (ah lebay) dari seorang senior, instruktur yang memberikan materi tentang sastra (puisi) Bang Ari Pahala Hutabarat.

Kesan saya awalnya biasa-biasa saja. Ah saya sudah biasa bikin puisi di kompasiana, dan puisinya sering hightligt. Tapi setelah beberapa saat aku menyimak dengan seksama, ternyata oh ternyata, sulit juga bikin puisi. Puisi adalah bagian sastra yang ternyata tidak boleh dianggap sebelah mata.

Puisi itu sesuatu banget loh, sampai-sampai saya melotot dan menyimak dengan serius apa sebenarnya yang membuat puisi itu penuh makna? Dan ternyata sampai saat ini, baru beberapa persen saja pengetahuanku tentang puisi. Maklum saja, gak mungkin belajar puisi hanya tiga jam, karena dia membutuhkan waktu yang lama agar puisi yang dihasilkan bisa lebih sempurna.

Saya (kami) menyebutnya instruktur itu dengan panggilan Bang dan bukan Mas karena beliau berasal dari kombinasi kromosom dari suku Batak dan Lampung, makanya beliau menyebut dirinya sebagai Balong. Atau kombinasi dua nama suku itu. Meskipun menurut saya bang Ari berasal dari suku yang sama-sama keras, ternyata ketika masuk ke ruang sastra (puisi) semua peserta bisa tertawa dan larut dalam buaian informasi yang disampaikan. Meski serius beliau memberikan materi itu dgn banyak guyonan jadi gak membuat jenuh.

Dengan penampilan yang sederhana, ternyata apa yang disampaikan semakin memberikan informasi bahwa puisi itu indah dan sarat makna, jadi jangan sampai keindahan itu dibuat dengan seenaknya.  Bahkan beliau pun memberikan contoh sosok sastrawan puisi seperti Chairul Anwar, WS Rendra, Taufik Ismail dan para penggiat sastra yang lain tidak sekejap saja membuat puisi yang berbobot, karena membutuhkan proses yang tidak sedikit demi menghasilkan puisi yang "keren", kata bang Ari.

Sosok instruktur yang dalam menyampaikan begitu enak dan penuh dengan candaan, benar-benar membuat para peserta turut serta masuk ke dalam ruang imajinasi tiada batas. Dan beruntungnya peserta semua tertarik untuk mempelajarinya. Jadi meskipun waktu sampai larut malam, tidak mengurangi antusiasme kami dalam belajar. Ya belajar menemukan puisi yang "sejati" atau benar-benar puisi dan bukan abal-abal.

Setelah semua peserta diminta membuat puisi, saya jadi malu, betapa puisiku itu belum layak disebut puisi, meskipun ukurannya bukan benar atau salah, karena puisi itu adalah seni, yang ukurannya adalah indah atau tidak indah. Karena puisi adalah bentuk ungkapan fikiran dan perasaan yang disampaikan pelantunnya maka semestinya memiliki bentuk yang padat, penuh bahasa majasi, penuh imajinasi (menurut mbak Fitriani adalah citraan), dan memaksimalkan bunyi. Meskipun demikian puisi tidak dinilai dari benar dan tidak benar, atau baik dan buruk, tapi nilai keindahan yang terpancar dari sana.

Menjiwakan imajinasi visualistik (penglihatan), audistik (pendengaran), kinestetik (gerakan) dan perabaan (taktil) merupakan manivestasi dalam sebuah puisi. Seperti yang disampaikan Bang Ari dalam kesempatan itu.

Beberapa saat setelah kami memahami apa hakekat puisi yang awalnya kami memahami puisi hanyalah sekedar tulisan dengan beberapa bait, ternyata setelah dipahami puisi sebagai bagian dari sastra merupakan hasil karya benar-benar indah dan menakjubkan (amazing) serta mendunia. Hasil karya para sastrawan itu dinobatkan sebagai karya fenomenal. Makanya sastra juga mendapatkan penghargaan Nobel. Nobel sastra yang setingkat dengan Nobel dalam bidang Perdamaian dan Fisika. Luar biasa sekali ketinggian nilai sastra sebagai hasil karya manusia yang tidak boleh dianggap sebelah mata. 

Mengapa kita selalu ketinggalan dalam menelurkan karya-karya sastra?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun