Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Pernikahan Kedua, Anak Suami Pertama Punya Siapa?

6 Juli 2021   06:53 Diperbarui: 26 Februari 2022   04:57 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga yang bahagia akan menumbuhkan anak-anak yang juga bahagia (Gambar : dream.co.id)

Tulisan ini sebenarnya ingin saya buat menjadi sebuah tulisan serius ala-ala penulis bab Nikah dalam ilmu Fiqh. Tapi karena sedikitnya pengetahuan yang saya pahami terkait hubungan lahir batin antara pria dan wanita ini, maka keinginan itu saya abaikan. 

Persoalan pernikahan itu banyak banget, seperti: hubungan nasab antara ibu, ayah dan anak, juga berkaitan dengan seabrek persoalan yang berkaitan dengan bagaimana mengelola ahli waris dan hak waris setelah sang anak kehilangan ikatan pernikahan orang tuanya. Jika mau dibahas di sini tentu harus disertai keilmuan yang mencukupi.

Di sini saya hanya ingin menggambarkan betapa fenomena kisah seorang anak yang mengalami kehilangan keluarganya yang utuh menjadi sosok hidup yang labil. Memilih untuk tidak terjadi perpisahan, baik karena perceraian atau wafatnya salah satu dari kedua orang tua mereka, namun keadaan jauh dari apa yang diinginkannya. 

Hakekatnya sang anak ingin keluarganya tetap utuh, tapi karena satu dan lain hal, mereka harus terpisah yang meninggalkan luka dan duka bagi anak-anaknya. Baik luka lahir maupun luka batin yang acapkali dirasakan anak-anak mereka.

Pertanyaannya, bagaimanakah perasaan anak-anak setelah kehilangan orang tuanya? Apa dampak negatif ketika rasa kehilangan itu justru tidak mendapatkan obat yang mujarab bagi kesedihan yang mendera sang anak?

Tak sulit menjawab pertanyaan tentang keadaan perasaan anak-anak ketika orang tua tidak lagi di sisinya. Baik karena perceraian atau kematian, keduanya pastilah dirasakan kesedihan yang mendalam. Butuh waktu yang panjang untuk menerima takdir dan keadaan yang mana ia harus kehilangan sosok yang dicintainya. 

Mungkin butuh bertahun-tahun untuk melupakan segenap rasa kehilangan tersebut. Bahkan saya kira butuh seumur hidup untuk bisa melupakan kebahagiaan yang ternyata harus diganti dengan kesedihan. 

Dan tak sedikit karena terlalu sakit mengalami kehilangan tersebut, sang anak tiba-tiba menjadi apatis, putus asa dan seolah-olah kehilangan segala-galanya. Lebih ekstrim lagi anak-anak tersebut kehilangan diri sendiri dan segera ingin mengakhiri hidupnya. Ia larut dalam rasa kehilangan yang amat dalam. Bahkan seolah-olah dunia ini seperti telah berakhir. Ada pula yang harus kehilangan kesadaran (stress) lantaran tidak bisa menerima situasi yang terjadi.

Masih beruntung jika setelah kehilangan bagian dari keluarganya itu bisa terobati dengan orang tua yang baru. Jika sebaliknya, maka keadaannya akan semakin parah. Sang anak akan meluapkan kekecewaannya dengan menutup diri, tidak mau lagi berkomunikasi, enggan menyantap makanan apapun, dan ada yang sampai "maaf" menderita gangguan jiwa.

Sungguh kehilangan anggota keluarga, khususnya orang tua, adalah rasa sakit yang pasti semua anak-anak alami. Meskipun ada di antara mereka yang tegar dan beberapa lama kemudian ia bisa melupakan kesedihan. Namun tak sedikit yang selama kehidupannya sama sekali tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. Mereka selalu bertanya "mengapa orang tuaku pergi?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun