Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Beratnya Jadi Santri

26 Oktober 2020   19:38 Diperbarui: 26 Oktober 2020   19:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beratnya Jadi Santri

Ternyata jadi santri nggak gampang ya? Gak sekedar bisa dibilang keren karena pengetahuan agamanya. Tapi memang ujian dalam menuntut ilmu yang akan dialami semua  anak yang ingin jadi santri.

Sama seperti apa yang dialami anak sulungku, dari awal ingin menjadi santri karena melihat betapa penampilan mereka teduh dan akhlaknya baik-baik. Meski ada juga yang kurang baik. Tapi masih sebatas wajar yang namanya dunia pendidikan tidak selamanya berjalan mulus.

Saat ini statusnya masih menjadi santri di salah satu pesantren di wayah ini. Namun usahanya untuk menjadi santri memang tak semulus apa kata orang dan tak semudah apa yang dikatakan yang menggampangkan.

Semenjak pertama melangkahkan kaki di pintu gerbang pesantren, ternyata putriku sudah sakit-sakitan, mengeluh fisik yang memang lemah. Maka tak heran, sebulan sekali masuk ke balai pengobatan. Beberapa hari harus mau diinfus dan ditangani secara medis agar penyakitnya kabur.

Sayangnya usaha kami untuk mengobatinya masih belum membuahkan hasil, dan lagi-lagi ia mudah sekali sakit. Ketika kutanya katanya karena terlalu banyak tugas hafalan. Meskipun ia barusan pulih dari sakitnya.

Kadang saya menganggapnya kurang adil kenapa tekanan di pesantren begitu berat, bahkan seperti menguras energi. Meskipun di luar sana banyak anak-anak yang sukses menjadi santri bertahun-tahun lamanya sampai khatam matan alfiyah dan menimba lagi ilmu yang baru. Karena hakekatnya ilmu di pesantren atau ilmu agama tidak akan pernah habis meskipun seumur hidup kita menggalinya.

Mungkin saja, sang putri memang ditakdirkan bukan menjadi santri, karena tak mampu melampaui. Bisa jadi dia memiliki kemampuan di bidang lain. Sama seperti ayahnya yang gak selesai mondok gara-malas menghafal nadhom dan kitab-kitabnya yang penuh dengan huruf gundul.

Paling tidak, sampai saat ini kami masih berusaha menguatkan hatinya agar pendidikan di pesantren selesai. Padahal pertama menjadi santri predikatnya selalu tinggi. Tapi memang mungkin fisik yang tidak mendukung. Makanya kami pasrah apabila memang sang anak sudah tak mampu lagi belajar di pesantren.

Harapan kami, biarlah gagal jadi santri asal akhlaknya tetap santri. Mungkin masih banyak anak-anak yang tidak mampu menempuh pendidikan di pesantren karena sebab dan lain hal.

Selain itu tidak semua santri bisa berpredikat Kiyai atau bu Nyai karena tidak sampai menyelesaikan kitab-kitab yang diwajibkan. Dan seadainya sudah lulus pesantren pun banyak yang enggan melanjutkan perjuangan dakwah dalam pesantren dan memilih jadi wirausaha dan usaha lain yang di luar pengasuhan santri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun