Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kekerasan di Waktu Kecil, Belajar Memahami Kejiwaan Anak-anak

19 Oktober 2020   07:56 Diperbarui: 19 Oktober 2020   14:34 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari healthdetik.com

Saya tertarik dengan sebuah ulasan yang kurang lebih membahas tentang kekerasan di waktu kecil (child abuse) dan kejiwaan seseorang. Dan saya membandingkan dengan apa yang pernah saya alami serta anak-anak alami di sekitar kita. 

Kekerasan tidak hanya tentang fisik, karena kekerasan batin pun merupakan bagian dari tindakan kekerasan yang layak dihindari. Seperti kata-kata makian yang cenderung merendahkan kondisi dan kemampuan anak.

Sebagai anak dari sosok yang memiliki status pekerjaan di KTP sebagai wiraswasta, yakni sosok yang menggeluti pekerjaan secara mandiri dengan menekuni pekerjaan pertukangan plus menjadi petani yang tidak memiliki lahan yang luas, maka menjadi pekerja dengan pekerjaan yang tidak menentu adalah pilihan paling sulit. 

Bagaimana setiap hari harus berhubungan dengan kerasnya batu, semen dan pasir dan debu-debu jalanan demi mendapatkan lembaran rupiah. Sedangkan untuk sawah sendiri, karena luasnya tak lebih dari 3/4 hektar, rasa-rasanya luas tanah itu tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup. 

Bagaimana tidak, dengan anak-anak yang banyak tentu melahirkan persoalan yang berhubungan dengan urusan konsumsi, pendidikan dan seabrek kebutuhan yang terus ada, sedangkan kala itu harga-harga jual hasil petani amatlah murah.

Dalam kondisi yang cukup kekurangan itulah, sang ayah harus berusaha mencari penghasilan di luar menggarap sawah dan  kebun yang tidak seberapa agar panci di rumah tidak terguling dan tentu saja pendidikan anak-anaknya harus tetap jalan.

Apalagi di usai anak-anak dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu itu, maka tidak ada cara lain untuk merantau demi meraih sesuap nasi. Bagi sang ayah, tidak apa-apa merantau asal keluarga tidak sampai kelaparan. Maka ibu pun mengiyakan ketika harus berpisah jarak demi mengisi kebutuhan dengan kebutuhan primer tersebut.

Namun, karena seringnya merantau dan meninggalkan anak-anaknya, maka mau tidak mau perhatian pada istri dan anak banyak berkurang. Kalau zaman sekarang meskipun berpisah jarak, semua bisa saling berkomunikasi dan mengetahui kabar. 

Sedangkan dulu, jangankan bisa menelepon dan ngobrol via video call, untuk berkirim surat saja masih sulit karena memang aksesnya yang belum seperti sekarang. Bagaimana berkirim surat jika proyek yang dikerjakan adalah membuat jembatan atau bendungan yang jauh dari perkampungan. Tentu sulitkan?

Yap, tentu semua akan merasakan bagaimana kondisi kala itu-era 80' an- yang semuanya masih sangat terbatas, apalagi bagi kalangan sederhana seperti keluarga kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun