Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat, yang Berbeda Jalan Pengabdian

19 Agustus 2020   09:15 Diperbarui: 19 Agustus 2020   23:48 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Fajar.co.id

"Makasih, Mas? Aku buru-buru mau ke tempat pamanku. Katanya beliau sakit. Maman menolak ajakan Amir karena memang ada kepentingan.

"Mas, sabar dulu. Saya pingin ngobrol sebentar dengan mas Maman. Dah lama kita gak ketemu, 'kan? Amir kembali meminta Maman untuk mampir sekedar ngobrol sesuatu.

"Waduh, gimana ya?... Ya sudah, sebentar saja ya? Nampak Maman agak ragu mengiyakan ajakan Amir, tapi karena mereka berteman yang cukup lama, akhirnya Maman pun mengiyakan meskipun sedikit berat.

"Gini lho Mas, aku penasaran sama sampeyan (anda) kenapa sih masih tidak mau ngajar ngaji lagi?" Tanya seseorang yang lewat di depan rumahnya. Raut wajah Amir menunjukkan bahwa pikirannya penuh tanda tanya, siapa sosok yang tiba-tiba bertanya itu. Seseorang itu berlalu begitu saja sambil mengayuh perlahan sepedanya.

"Maaf, Mas, saya tidak bisa menceritakan di sini. Ada kepentingan yang beda anara saya dan njenengan (anda). Kata Maman.

"Ya sudah, saya nggak nanya lagi, wong itu urusan sampeyan. Oh ya, kitakan mau acara tujuh belasan, kira-kira Mas bisa nggak ikutan jadi panitia HUT RI ke-75 kita?" Tanya Amir serius.

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa. Bukan apa-apa, besok saya harus pergi ke Surabaya. Di sana ada acara penting. Jadi kayaknya aku nggak bisa." Maman menjelaskan.

Sesaat kemudian, segelas kopi panas sudah tersedia di meja di depan mereka. Adik yang dari tadi memegang gitar tua itu berinisiatif membuatkan kopi. Memang dia rajin dan tidak suka disuruh-suruh punya inisiatif melayani tamu. Ya meskipun hanya sekedar minuman kopi.

"Silakan Mas, diminum!" Kata sang adik mempersilakan sang tamu menikmati kopi panasnya.

"Iya dik, matur nuwon ya!  Masih panas kok. Nanti kalau sudah hangat pasti saya minum." Kata Maman sambil tersenyum.

"Saya minta maaf, kalau kemarin-kemarin ribut sama sampeyan. Karena secara prinsip pandangan sampeyan itu keliru. Maaf bukan keliru, tapi kurang tepat lho menurutku. Kita kan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, kenapa Mas Maman memilih ide khilafah? Amir kembali melanjutkan obrolannya. Sambil mulutnya meminum sedikit demi sedikit kopi yang ada di depannya. Asap yang mengepul dari kopi panas itu sudah mulai tidak terlihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun