Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Anakku Ingin Sekolah di Pesantren

17 Mei 2018   09:14 Diperbarui: 17 Mei 2018   11:03 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (tribunnews.com)

Saya mungkin seorang ayah sekaligus putra seorang santri yang mendadak kaget, lantaran gadis kecilku yang sebentar lagi memasuki sekolah lanjutan pertama ingin melanjutkan pendidikannya di pesantren. Padahal sebagai orang tua seharusnya langsung senang dan bangga karena sang anak ingin menggali ilmu agama lebih mendalam.

Mengapa kaget? Karena biasanya orang akan merasa ngeri ketika harus melanjutkan di pesantren. Secara gitu loh, pesantren adalah lembaga pendidikan yang santrinya harus bersiap-siap meninggalkan rumah dan berpisah jarak dari keluarganya. Mereka harus mampu mandiri jauh dari orang-orang yang dicintainya demi untuk menuntut ilmu. Selain itu umumnya di pesantren kan memang serba terbatas, susah main android, facebookan atau nonton tv. Apalagi jalan-jalan seperti di Sinetron itu.

Meskipun ada juga pesantren yang moderat dengan membebaskan santrinya bermain gadget, yang pasti aturan di pesantren amatlah ketat. Dan yang pasti bukan tempat untuk happy-happy, seperti di sekolah pada umumnya para siswa begitu mudahnya bermain kendaraan dan gadget tanpa dibatasi sedikitpun, tidak bisa bertemu antara laki-laki dan perempuan, kecual ada pengajian akbar. Dan tidak bisa corat-coret baju ketika pegumuman kelulusan. 

Pesantren dengan aneka warna dan bentuknya  baik dari segi sistem pengajarannya yang tradisional maupun yang modern, memiliki aturan yang tidak boleh dilanggar. Salah satunya "nggak boleh bercampur antara laki-laki dan perempuan dan nggak boleh cengeng".

Jika melihat kondisi yang begitu ketat, kog saya jadi khawatir apakah anak saya mampu melewati ujian dalam menuntut ilmu itu nantinya?

Tapi ketika melihat para santri yang mampu menyelesaikan studinya sunggu ini adalah kebanggaan. Nggak kebayang betapa bangganya melihat sang buah hati memiliki pengetahuan agama yang semoga saja cukup sebagai bekal kehidupannya.

Ketika darah santri mengalir dari sang kakek

Berdasarkan sejarahnya, orang tua (kakek) memang jebolan pesantren. Menurut beliau waktu yang ditempuh selama nyantri kira-kira 11 tahun. Itupun belum sepenuhnya cukup jika ingin menggali ilmu keukhrawiyan itu.

Di Jawa Timurlah beliau nyantri. Sayangnya saya lupa nama pesantrennya. Yang saya ingat beliau sering menyebut nama Kyai Kholil yang menurut cerita beliau adalah kyai sepuh yang dikagumi.

Menjadi salah satu santri yang cukup lama ternyata tidak serta merta bisa mendirikan pesantren dan menjadi kyai atau ustadz, karena bagi beliau pesantren adalah tempat penggemblengan manusia untuk menjadi baik. Pasrah sepenuhnya pada Allah Swt yang memiliki hidup dan mati.

Pernah menjadi mubaligh yang kelewatan jujur lantaran nggak pernah mau menerima bayaran. Karena ilmu Allah itu tidak boleh dijual belikan, tidak boleh dikomersilkan. Makanya ketika masih aktif jadi mubaligh ibu sering mendapati ayah membawa bungkusan kue lantaran diberioleh ibu-ibu pengajian. Kalau sekedar makanan beliau mau menerima tapi kalau uang selalu ditolaknya. Untuk urusan rezeki sang ayah lebih baik bekerja sebagai petani atau kuli.

Saya pun pernah mengaji di pesantren meskipun ngaji ngalong dan kitab pun nggak lulus. Maka saya malu jika disebut santri karena ilmu pesantren saya tidak mengerti. Meskipun tidak lulus jadi santri beneran, tapi saya tetap berpendapat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang unggul karena memberikan keseimbangan antara pendidikan duniawi dan ukhrawi.

Giliran sekarang anak sendiri ingin menjadi santri. Seperti mimpi tapi nyata. Ini nyata atau mimpi? Entahlah. Saya hanya bersyukur dan membayangkan kelak anak-anakku benar-benar jadi santri dan tidak harus jadi kiyai. Karena jabatan kiyai atau bu yai itu berat. Bukan hanya ketokohannya dan kedalaman ilmunya yang dinilai, tapi keteladanan dalam bersikap amat dibutuhkan.

Membayangkan sulitnya menjadi santri

Boleh jadi bukan hanya saya yang merasa bangga ketika buah hatinya ingin menjadi santri. Entah apa motivasinya mengapa ia mau belajar di lembaga yang super ketat tersebut. Padahal selama ini kebiasaannya sering susah diatur dan kebanyakan protes kalau disuruh ngaji. Apakah karena sering melihat sinetron yang isinya para santri yang gak pernah ngaji malah bermain-main terus, atau dorongan dan ikut-ikutan bersama teman-temannya. Karena disadari maupun tidak, tontonan pun berpengaruh terhadap pilihan belajar anak, teman bergaul juga turut memberikan peran akan pilihan anak dalam menempuh pendidikannya.

Saya merasakan bagaimana menjadi santri harus bersiap-siap bangun malam untuk shalat malam, berjamah shalat lima waktu, mengaji Al Qur'an, Hadits dan kitab gundul, dan yang pasti harus siap-siap tirakat alias hidup sederhana dan makan seadanya.

Tapi mudah-mudahan dengan penggemblengan yang keras anak-anakku bisa menjadi manusia yang disiplin dan berbudi yang baik.

Saya tidak mau muluk-muluk, yang saya harapkan mereka menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Berguna bagi bangsa dan agama.

Menjadi santri adalah kebanggaan

Selaku mantan santri yang mogok lantaran tidak suka menghapal, saya selalu menganggap santri dalah anak-anak yang penuh kegigihan dalam mencari berkahnya ilmu. 

Bayangkan, setiap harinya mereka bergelut dengan kitab kuning, Al Qur'an, Hadits dan kitab-kitab lain hingga mereka lulus mengikuti ujian (imtihan) seperti kitab Alfiyah Ibnu Malik yang sulit untuk dihafal karena berisi ribuan nadhom. Yang saya sendiri tidak sanggup menghapalnya.

Belum lagi mereka harus belajar kitab-kitab lain yang berisi kajian bahasa Arab, budi pekerti (ahlak) dan lain-lain.

Selain itu mereka juga digembleng menjadi santri yang sederhana (wara) dan ikhlas dan sabar, meskipun makan dengan seadanya dan tidur hanya beralaskan karpet (saya dulu) hingga mandi harus di satu kolam karena santri lain juga harus ngantri. Dan menariknya, seberapa kayanya santri jika berhadapan orang orang yang lebih tua mereka diwajibkan sopan santun. Mengucapkan salam jika bertemu dan mencium tangan sang ustad atau kyai. Dan yang pasti para santri harus menjunjung harga diri pesantren ketika nanti bergaul di tengah masyarakatnya.

Ketika sekolah pada umumnya seringkali menjejali dengan pendidikan intelektual semata, maka pada para santri kedua-duanya pun dipupuk sehingga seimbang. Belum ada sejarah yang menyebutkan para santri terlibat tawuran dengan santri lain. Dan menurut saya belum ada santri yang melawan dan mengutuki guru-gurunya dengan kata-kata yang kotor dan menyakitkan, lantaran mereka senantiasa digembleng dengan keteladanan dan budi pekerti yang mulia. 

Menjadi santri adalah kebanggaan, meskipun dalam menempuh pendidikannya harus dilalui dengan jalan yang berliku dan berat, kehidupan para santri semestinya menjadi contoh siswa-siswi lain yang menggali ilmu di pendidikan formal lainnya. Bagaimana mereka dilatih kesabaran, keuletan dan kegigihan dalam menyelesaikan setiap tahap pendidikannya. Melengkapi dengan ilmu dunia dan akhirat secara seimbang.

Namun demikian, melihat perkembangan masyarakat Indonesia saat ini, sebagai lembaga pendidikan yang saat ini memiliki Hari Santri Nasional tersebut, menjadi lembaga dan lulusan yang menengahi setiap konflik di masyarakat adalah kebutuhan dan tuntutan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun