Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Durhaka Pada Orang Tua Bukan Hanya Milik Malin Kundang

6 Desember 2017   18:32 Diperbarui: 7 Desember 2017   19:34 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : Penampakan batu berbentuk manusia yang tengah bersujud di pantai Sumatera Barat dalam legenda Malin Kundang (tripadvisor.co.uc)

Beberapa ratus tahun sejarah atau kisah tentang Malin Kundang begitu terkenal di seantero nusantara, sama seperti kisah-kisah lain yang juga melegenda. Kisah seorang anak laki-laki dari keluarga miskin yang menjelma menjadi saudagar yang kaya raya. Kekayaan yang dimiliki, tidak lantas membuat si Malin Kundang menjadi cerita turun temurun, akan tetapi justeru kepribadian atau perangai buruklah yang membuatnya dikenal hingga abad ini.

Kekayaan memang membuat orang silap, alpa dan khilaf atas aneka kewajiban sebagai hamba Tuhan. Termasuk di dalamnya bagaimana menempatkan diri sebagai seorang putra yang harus mencintai orang tuanya. Entah kaya atau miskin, kewajiban mengasihi orang tua tidak lantas berakhir. Karena mencintai orang tua harus dilakukan selama hidup masih di kandung badan. Bahkan sampai orang tua wafat pun kebaktian kepada orang tua tidak boleh pupus. Semisal dengan lantunan doa yang dipanjatkan.

Berbeda dengan kasus Malin Kundang yang batu sujudnya masih teronggok di pantai, di mana kala itu mendapatkan bencana karena kutukan sang bunda. Ternyata perangai buruk sang anak pun bisa terjadi pada kaum hawa. 

Setiap orang bisa saja memiliki kepribadian yang buruk meskipun berjenis kelamin perempuan. Karena sikap dan sifat baik atau buruk bersifat personal dan universal. Jika dalam dirinya sudah menumbuhkan benih-bemih perangai yang buruk, maka perangai yang buruk akan menjadi tumbuhan yang besar dan menyatu dalam dirinya. Bukan hanya Malin Kundang saja yang bisa menjadi jahat, karena wanita di manapun bisa dan berpotesi menjadi orang yang jahat tadi.

Terlepas dari kisah Malin Kundang tersebut, ternyata hiduplah seorang wanita yang ternyata begitu durhaka kepada ibunya, sebut saja Malinah. Malinah bukanlah seorang wanita yang kaya raya. Justru kehidupannya sungguh memprihatinkan.

Meskipun semasa hidupnya sudah mengenyam pendidikan tentang moral, ternyata watak durhaka justru dipelihara. Malinah sebenarnya begitu beruntung lahir dari keluarga berada yang berbeda jauh dengan sosok Malin yang berasal dari keluarga miskin papa.

Semestinya, dengan kasih sayang dan materi yang sudah dinikmati selama dirawat dan diasuh orang tua, membuat Malinah semakin dewasa dan menunjukkan rasa cintanya pada keluarganya. Tapi justru sebaliknya, kasih sayang orang tuanya dibalas dengan kedurhakaan, cacian, dan kata-kata yang menyakitkan. Bahkan suatu ketika Malinah mengusir sang ibu lantaran tidak menerima sikap ibunya. Seakan-akan dia lupa bahwa tubuhnya dialiri oleh air susu sang ibu.

Dan dia lupa bahwa semenjak kecil, sang ibu udah mencurahkan kasih sayangnya. Tak peduli panas terik harus mencuci pakaiannya. Dan betapa jijiknya ketika membersihkan kotoran dari tubuhnya. Meskipun rasa jijik itu dihapus dari dalam pikirnya, tapi selalu saja rasa iklasnya sudah dicurahkan.

Bukannya gayung bersambut, kebaikan dibalas kebaikan, tetapi justru sikap yang sungguh nista. Sang ibu diusir dari rumah namun sang ibu menolak. Namun cacian demi cacian masih saja di ucapkan. Bagaimana mungkin seorang anak yang dicintai mengatakan "Pergi! Rumah ini ayahku yang membuatnya. Ibu gak tahu apa-apa!" Padahal harta yang ditinggalkan sang ayah sebenarnya juga bagian dari usaha ibunya.

Tapi itulah jika mata dan hati sudah digelapkan, maka prilaku sungguh menyedihkan. Jika dipadu padankan kondisi itu selayaknya kisah dalam sinetron. Tapi cacian kepada sang bunda tentu tidak begitu saja menjadikan Malinah menjadi batu, tapi hati dan fikirannya sekeras batu dan kehidupannya menjadi terombang ambing tak tentu arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun