Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menanti Jejak Kompasiana (er) di Tanah Bencana

16 September 2015   08:49 Diperbarui: 16 September 2015   08:49 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia akhir-akhir ini tengah dirundung duka. Di Provinsi Sumatera Utara tengah bergelut dengan bencana gunung Sinabung dan debu panas yang menyengat. Di Jambi dan di wilayah tetangga provinsi ini tengah diselimuti asap yang menyesakkan dada. Ulah para pembakar hutan sebab ingin memperoleh keuntungan berlebih tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. Tak ketinggalan di wilayah saya sendiri, Lampung, notabene sering mengalami konflik horizontal, tentu juga menjadi catatan pilu negeri ini.

Belum lagi musibah jatuhnya crane di Arab Saudi yang juga menelan korban jiwa dari penduduk Indonesia. Serta benca-bencana lain yang tidak dapat disebutkan di sini satu persatu. Semua menjadi catatan kejadian yang memilukan ditengah aneka kerumitan ekonomi di negeri ini.

Meskipun demikian, alhamdulillah, banyak kompasianer yang mau meluangkan waktu dan tenaga berbagi cerita maupun solusi alternatif menghadapi bencana itu. Sehingga ada peran serta publik dan media ini secara lebih merata, meskipun sebatas tulisan semata. Paling tidak langkah memberitakan setiap kejadian merupakan wujud kepedulian kepada sesama warga bangsa.

Akan tetapi, saat ini yang tengah ditunggu-tunggu belum terlihat gerak nyata turun ke kawasan bencana itu demi turut membantu meringankan beban derita para korban. Paling tidak seperti beberapa anggota pramuka, pasukan TNI, Polri dan relawan yang telah turun tangan membantu meringankan beban korban. Meskipun tak harus ikut membantu memadamkan api kebakaran lantaran sudah menjadi wilayah kerja relawan, TNI dan Polri di wilayah tersebut, akan tetapi minimal membuat posko bantuan bencana yang didirikan oleh kompasianer yang kebetulan berdomisili di wilayah bencana. Kompasiana sebagai media sharing dan connecting, semestinya tak berkutat pada kegiatan-kegiatan formil di perkotaan saja dengan agenda khusus kompasiana team, namun lebih menyentuh gerak yang lebih nyata turut serta membantu masyarakat yang telah dirundung duka.

Saat ini kita masih berkutat menulis dan menginformasikan setiap kejadian dan peristiwa, serta memberikan sedikit solusi meskipun sebatas teoritis, dan belum menyentuh kepada aspek aplikatif. Kompasianer yang menulis dan turut serta dalam kegiatan kemanusiaan. Boleh saja bergabung dengan para relawan dengan membentuk posko kemanusiaan. Meskipun mungkin tak semua daerah didiami oleh seorang kompasianer. Tapi paling tidak kompasiana berupaya mengembangkan sayapnya melalui tangan-tangan kompasianer yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan tak hanya di Indonesia di luar negeri pun sudah banyak yang menyuarakan aspirasi yang cukup inspiratif bagi publik.

Namun demikian, di usia yang ke-7 dan aneka peristiwa yang membawa kompasiana naik turun tangga soliditas penulis, tentu menjadi catatan penting bahwa saat ini bukan sekedar menulis, berbagi berbentuk tulisan dan kopdar-kopdaran, tapi bentuk nyata bergerak di masyarakat bawah. Jujur saja, sampai sejauh ini, belum sekalipun bisa berkumpul kopdaran setiap tahun, lantaran kesibukan yang turut menyita perhatian. Dengan kompasianer bergerak di daerah masing-masing, tentu menjadi solusi sederhana agar langkah kompasiana yang tidak sekedar sebagai media sosial akan lebih kentara.

Jika boleh dicontohkan, dalam kondisi bencana asap seperti ini, misalnya kompasianer Jambi, Bengkulu, Medan dan daerah lain yang terkena bencana membuat posko bantuan kemanusiaan, seperti pak Gunawan yang saat ini tinggal di Medan tentu menjadi aset berharga. Serta kompasianer-kompasianer lain yang tak sedikit jumlahnya. Mereka di wilayah-wilayah itu bersatu membentuk komunitas yang bergerak nyata membantu masyarakat yang terkena bencana. Tak meski berbentuk uang, bentuk lain seperti masker tentu juga akan sangat bermanfaat. Misalnya satu kompasianer menyumbang 1 masker, tentu akan terkumpul ribuan masker yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat korban. Jika tak berbentuk masker, boleh juga masker digantikan uang yang bisa dibelikan masker. Semua tercatat dan difoto serta diserahkan pada pihak-pihak yang membutuhkan.

Mungkin ide ini terlalu berlebih-lebihan, tapi mudah-mudahan bisa menjadi tambahan wacana bagi pengembangan kompasiana kedepannya. Jika ide ini mungkin sudah ketinggalan, mudah-mudahan menambah wawasan saja seiring dengan aneka bencana yang saat ini mendera negeri ini.

Salam

 

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun