Mohon tunggu...
Mukhtar Alshodiq
Mukhtar Alshodiq Mohon Tunggu... -

Pikirkan Yang Ada dalam Kenyataan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ancaman Pidana Pelaku Nikah Siri di Indonesia

9 Oktober 2010   02:43 Diperbarui: 4 April 2017   18:03 7005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH

(Peneliti dan Penulis)

Indonesia sebagai negara yang menganut asas hukum sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum Amandemen IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Sehingga dalam menjalankan sistem pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) yang tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Maka segala hal yang berkenaan dengan kepentingan negara dan warganya harus diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang senafas dan sejiwa dengan semangat hukum yang hidup serta sesuai dengan suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) dalam masyarakat Indonesia itu sendiri (living law).
Eugen Ehrlich melihat pengaruh hukum terhadap masyarakat dengan pendekatan dari hukum masyarakat. Intinya, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.15 Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masya-rakat. Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan "living law and just law" yang merupakan "inner order" daripada masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan perubahan hukum atau membuat suatu undang-undang agar hukum atau undang-undang yang dibuat itu dapat diterima dan berlaku secara efektif di dalam kehidupan masyarakat, maka suatu hal yang patut diperhatikan adalah hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat.16
Hal senada diungkapan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum dan penegakannya tidak hanya mengutamakan keadilan hukum (legal justice), melainkan penegakan hukum yang mampu menangkap rasa keadilan masya-rakat (social justice), sehingga pada gilirannya hukum betul-betul memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people).17
Lawrence M. Friedman melihat hukum itu sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen, pertama, legal substance (aturan-aturan dan norma-norma); kedua, legal structure (institusi atau penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara), dan ketiga, legal culture (budaya hukum yang meliputi agama atau kepercayaan, ide-ide, sikap, dan pandangan tentang hukum).18
Mochtar Kusumaatmadja mengajak para ahli hukum untuk mempertimbangkan digunakannya pendekatan sosiologi dalam ilmu hukum untuk merelevansikan hukum dengan permasalahan pembangunan sosial-ekonomi (law as a tool of social engineering).19 Artinya, hukum kolonial yang selama ini menjadi warisan Belanda harus diubah sesuai dengan perilaku masyarakat Indonesia yang setiap saat tumbuh dan berkembang itu, karena hanya dengan hukum yang lahir dari social reality dalam masyarakat Indonesia yang mampu membawa pada arah pembangunan yang berkelanjutan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur atau menciptakan social welfare (kesejahteraan masyarakat) dan welfare state (negara kesejahteraan) yang bersumber dari humanitarian and social behaviour science. Meminjam istilah Bambang Poernomo bahwa hukum tidak harus dipahami berdasarkan case berdasarkan pasal per pasal yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi hukum harus familiar melihat dan merespon fenomena sosial yang terjadi melalui multidisipliner approach.20
Menurut Otto von Bismarck bahwa prinsip dasar teori welfare state adalah negara atau pemerintah bertanggung jawab penuh untuk menyediakan semua kebutuhan rakyatnya dan tidak dapat dilimpahkan kepada siapa pun.21 Otto mewacanakan konsep kesejahteraan masya-rakat (social welfare) tersebut secara kongkrit ke dalam bentuk model program kesejahteraan masyarakat bagi pemerintahan modern (the model of modern government social security program).22 Ditinjau dari sudut ilmu negara, welfare state diklasifikasikan sebagai salah satu tipe negara, yaitu tipe negara kemakmuran (wohlfaart staats). Pada tipe negara welfare state tersebut, negara mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat. Negara sebagai satu-satunya institusi yang berkewajiban menyelenggarakan kemakmuran rakyat. Negara harus aktif menyelenggara-kan kemakmuran warganya, untuk kepentingan seluruh rakyat.23 Oleh karena itu, konsep awal welfare state, negara adalah sebagai penjaga malam (nacht-wachterstaat), kemudian berkembang terlibat sebagai penyelenggara ekonomi nasional, pembagi jasa-jasa, penengah bagi berbagai kelompok yang bersengketa, dan ikut aktif dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Unsur negara hukum sebagai penjaga malam tersebut tidak lagi dapat dipertahankan secara mutlak, karena pembentuk undang-undang harus rela menyerahkan sebagian wewenangnya kepada pemerintah. Tujuan pelimpahan wewenang adalah karena tugas penyeleng-garaan negara tidak sekadar menjaga ketertiban, tetapi lebih dari itu, ketertiban harus diupayakan agar memenuhi rasa keadilan.24
Pemenuhan rasa keadilan itulah yang merupakan tujuan akhir bekerjanya suatu hukum dalam suatu masyarakat. Karena itu, mewujudkan cita hukum tersebut merupakan kewajiban negara menciptakan hukum terhadap warganya yang digali dari karakter budaya bangsanya sendiri untuk melindungi dan memenuhi segala bentuk kebutuhan warganegaranya, demi tercapainya tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan sosial, kepastian hukum, ketertiban hukum, dan keadilan hukum.25
Salah satu hal yang harus diatur oleh negara adalah masalah "pencatatan perkawinan" sekalipun secara eksplisit dalam Al-Qur'an, hadis, dan fiqih munakahat tidak diatur, karena itu dituntut keterlibatan para ulama dan cendikiawan muslim saat ini untuk melakukan pengkajian secara mendalam dan komprehensif melalui kaidah-kaidah fiqhiyah (ushuliyah). Agar nantinya penerapan peraturan perundang-undangan tentang pencatatan perkawinan tidak ambivalen, tersesat, dan tirani yang mudah disalahgunakan oleh kekuatan "penguasa" dengan alasan kedaulatan negara lebih tinggi daripada kedaulatan hukum itu sendiri.26
Masalah nikah siri ini menjadi kontroversi di Indonesia, seiring dengan disusunnya draft Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materi Pengadilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPA). Salah satunya adalah mempidanakan bagi orang yang melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan pada lembaga negara yang berwenang, yaitu Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-muslim. Sekalipun pidana yang dimaksudkan dalam draf RUU HMPA tersebut hanya sebatas "pelanggaran" administrasi negara bukan "kejahatan". Namun menurut Adami Chazawi bahwa tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan tidak ada yang masuk pada jenis pelanggaran, semuanya masuk pada jenis kejahatan.27
Akan tetapi kalau dilihat pada ketentuan KUH Pidana,28 kaitannya dengan pencatatan perkawinan itu semata-mata adalah pelanggaran pidana bukun kejahatan pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 530 ayat (1) bahwa seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya pelangsungan di hadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) menyatakan bahwa jika pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama dua tahun. Oleh karena itu, dengan pemisahan istilah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP tersebut, maka masalah pencatatan perkawinan adalah termasuk pelanggaran pidana bukan kejahatan pidana.
Menurut Moeljatno bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: (1) menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut; (2) menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; dan (3) menentu-kan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.29 Sedangkan menurut C.S.T. Kansil bahwa hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum.30
Masalah pencatatan perkawinan di Indonesia tidak terdapat adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum), karena sejak awal kemerdekaan Negara Kesatuan RI telah diatur masalah tatacara pernikahan melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Jawa dan Madura (lihat lampiran I hal. 223). Dengan diundangkan UU tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan pertimbangan:
1)    bahwa peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti yang diatur di dalam Huwelijksordonnantie Staatblaad 1929 No. 348 jo. Staatblaad 1931 No. 467. Vorstenlandsche Huwelijkorddonnantie Staatblaad 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatblaad 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan baru yang sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial;
2)    bahwa pembuatan peraturan baru yang dimaksud-kan di atas tidak mungkin dilaksanakan di dalam waktu yang singkat;
3)    bahwa sambil menunggu peraturan baru itu perlu segera diadakan peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk memenuhi keperluan yang sangat mendesak;
Dengan sendirinya Huwelijksordonnantie Staatblad 1929 No. 348 jo. Staatblad 1931 No. 467 dan Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie Staatblad 1933 No. 98 dicabut keberlakuannya yang selama kolonial Belanda digunakan sebagai peraturan perkawinan khususnya bagi umat Islam.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 ini juga memuat masalah pencatatan nikah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1946, sebagaimana dinyatakan bahwa, "nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah." Dalam penjelasan dinyatakan bahwa adanya pencatatan nikah dimaksudkan agar [kedua belah pihak serta anak keturunan mereka] mendapatkan kepastian hukum. Karena dalam negara yang teratur, segala hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya. Selain itu, karena terkait dengan hal waris-mewaris, sehingga perkawinan perlu dicatat untuk menjaga jangan sampai terjadi kekacauan. Karena itu, yang berhak melakukan pencatatan dan pengawasan setiap perkawinan adalah Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama serta menerima pemberi-tahuan tentang talak dan rujuk. Tetapi kalau Pegawai Pencatat Nikah berhalangan, maka dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh Kepala Jawatan Agama Daerah (sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3). Artinya, apabila terdapat suatu perka-winan yang tidak tercatat melalui Pegawai Pencatat Nikah, maka dianggap belum memenuhi syarat administrasi perkawinan.
Masalah kewajiban membayar biaya administrasi bagi seseorang yang melakukan perkawinan, menjatuh-kan talak atau merujuk pun diatur, sedangkan bagi mereka yang tidak mampu dapat menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya (kelurahan) setempat (Pasal 1 ayat [4]).
Biaya perkara tersebut bukan dimaksudkan sebagai tambahan pendapatan para Pegawai Pencatat Nikah. Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 1946 ini bahwa pegawai pencatat nikah menjalankan kewajibannya dengan tidak semestinya, hanya semata-mata ditujukan untuk memperbesar penghasilannya, kurang memperhatikan hukum-hukum Islam yang sebenarnya. Perbuatan sedemikian itu, merupakan suatu korupsi serta merendahkan derajat pegawai nikah, tidak saja dapat celaan dari pihak perkumpulan-perkumpulan Perempuan Indonesia, akan tetapi juga dari pihak pergerakan Islam yang mengetahui betul-betul syarat-syaratnya talak dan sebagainya, tidak setuju dengan cara menjamin penghidupan pegawai nikah sedemikian itu. Pun para pegawai nikah sendiri merasa keberatan dengan adanya peraturan sedemikian itu. Selain daripada penghasilannya tidak tentu, juga aturan pembagian ongkos nikah, talak dan rujuk kurang adil, yakni pegawai yang berpangkat tinggi dalam golongan pegawai nikah mendapat banyak, kadang-kadang sampai lebih dari Rp. 100,- (Bandung, Sukabumi d.l.l.) akan tetapi yang berpangkat rendah sangat kurangnya, antara Rp. 35 - Rp. 10,-.
Selain daripada itu, ongkos nikah (ipekah) oleh beberapa golongan umat Islam dipandangnya sebagai "haram", sehingga tidak tentramlah mereka itu men-dapat penghasilan tersebut. Korupsi serta keberatan-keberatan lainnya hanya dapat dilenyapkan, jika pimpinan yang bersangkut paut dengan perkawinan, talak dan rujuk diserahkan pada satu instansi, serta para pegawai pencatat nikah diberi gaji yang tetap, sesuai dengan kedudukan mereka dalam masyarakat.
Adapun tugas utama Pegawai Pencatat Nikah adalah (Pasal 2 ayat [1]) membuat catatan tentang segala nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya dan tentang talak dan rujuk yang diberitahukan kepadanya. Catatan tersebut kemudian dimasukkan dalam buku pendaf-taran masing-masing kasus yang contohnya ditetapkan oleh Menteri Agama.
UU No. 22 tahun 1946 ini juga dimuat sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, yaitu bagi pihak yang melakukan perkawinan atau menjatuhkan talak atau rujuk tanpa dicatat atau tanpa di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka dijatuhi hukuman denda. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa:
"Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah)".

Pasal 3 ayat (3) menyatakan bahwa:
"Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah)."

Sementara bagi pihak yang menikahkan padahal bukan tugasnya untuk menikahkan (nikah di bawah tangan), maka pihak tersebut dijatuhi hukuman pidana selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,-. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa:
"Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah)."

Lebih maju lagi, undang-undang ini berupaya mencegah adanya pungutan liar (pungli) bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan menjatuhkan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah). Pasal 3 ayat (4) menyatakan bahwa:
"Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukan-nya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah)."

Dalam penjelasan dinyatakan bahwa ancaman dengan denda sebagaimana tersebut pada Pasal ayat (1) dan (3) undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi diperhatikan, dan sekali-kali tidak dimak-sudkan bahwa nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu.
Ketentuan pada Pasal 3 tersebut merupakan pelang-garan terhadap peraturan perundang-undangan, karena hanya bersifat administratif, bukan sebagai hukuman atau pidana kejahatan.
Hanya saja UU No. 22 Tahun 1946 ini terbatas wilayah pemberlakuannya, yaitu berlaku di wilayah Jawa dan Madura sehingga tidak bisa diterapkan pada kasus yang sama pada wilayah di luar Jawa dan Madura. Namun merespon tuntutan terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang begitu cepat berubah, maka kemudian dikeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura31 (lihat Lampiran II hal. 237), maka sejak itulah undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk tersebut berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hingga saat ini Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tersebut belum pernah dicabut keberlakuannya atau diamandemen baik undang-undangnya sendiri maupun pasal-pasal yang termaktub di dalamnya. Artinya, peraturan perundang-undangan tersebut masih tetap berlaku sepanjang belum diadakan yang baru.32
Hal menarik yang dinyatakan dalam Pasal 3 tersebut adalah mengandung unsur pidana pelanggaran bukan kejahatan, yakni: Pertama, apabila seseorang menikah atau melakukan talak atau rujuk tanpa memberitahukan atau mencatatkan kepada pihak PPN di Kantor Urusan Agama, maka didenda sebesar Rp. 50,- dan Rp. 100,- atau kurungan bagi yang menikahkannya (wali hakim), yakni menikah di bawah tangan. Kedua, bagi pihak PPN pun dikenai denda Rp. 100,- atau kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan apabila menerima biaya melebihi dari biaya administrasi yang telah ditetapkan oleh pera-turan pemerintah atau tidak mencatatkan permohonan nikah, talak, dan rujuk ke dalam buku pendaftaran.
Penjatuhan denda Rp. 50,- dan Rp. 100,- dalam kondisi perekonomian saat ini sudah tidak memiliki arti ekonomi lagi, sehingga perlu penyesuaian dengan tingkat perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 74K/Sip/1969, tanggal 14 Juni 1969 bahwa penilaian uang harus dilakukan dengan menggunakan harga emas.33 Saat itu harga emas diasumsikan Rp. 2,- per gram dibagi dengan denda Rp. 50,- = 25 gram emas atau denda Rp. 100 = 50 gram emas.34 Perhitungannya adalah:
a.    Penjatuhan denda    : Rp. 50,- bagi penganten
Asumsi harga emas saat itu
: Rp. 2,- per gram
Total    : 25 gram emas
Asumsi harga emas saat ini
: Rp. 300.000 per gram
Total denda saat ini    : Rp. 7.500.000,-
(Tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
b.    Penjatuhan denda    : Rp. 100,- bagi penghulu
Asumsi harga emas saat itu
: Rp. 2,- per gram
Total    : 50 gram emas
Asumsi harga emas saat ini
: Rp. 300.000 per gram
Total denda saat ini    : Rp. 15.000.000,-
(Lima belas juta rupiah)

Demi mencegah kontroversi serta efektifitas berjalannya peraturan tentang pencatatan nikah tersebut, sebaiknya pemerintah memberlakukan peraturan perundang-undangan tersebut secara tegas tanpa terpengaruh unsur tekanan sebelum diberadakannya RUU yang baru, karena cukup dengan memberlakukan secara tegas atau kalau diperlukan melakukan aman-demen penyesuaian atau penyempurnaan yang diperlukan terhadap UU No. 22 Tahun 1946 junto UU No. 32 Tahun 1956 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura tersebut. Hal ini sebagai langkah kongkrit (political will) pemerintah memberikan kepastian hukum tentang pencatatan perkawinan bagi masyarakat.
Kehadiran Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perka-winan mengandung polemik di kalangan masyarakat, karena sebagian kalangan ulama menganggap masalah pencatatan perkawinan bukan rukun dan syarat sah perkawinan, sehingga nikah siri tetap sah sekalipun tidak terdaftar di lembaga pemerintah. Hal ini tidak bisa dipersalahkan, karena sejak awal terbentuknya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1956 tersebut tidak pernah diberlakukan atau diterapkan oleh pemerintah dan penegak hukum secara nyata, tegas, dan transparan, terutama Pengadilan Agama dan bagi lembaga pemerintah yang khusus menangani masalah perkawinan, yaitu Kantor Urusan Agama di lingkungan Kementerian Agama bagi umat Islam. Padahal semangat yang ingin dibangun oleh RUU HMPA tersebut tidak berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1956.
Bandingkan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1956 sebagaimana disebutkan sebelumnya dengan pasal-pasal yang termaktub dalam RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan berikut ini:
1.    Pasal 143 menyatakan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Maksudnya, Pejabat Pencatat Nikah atau disebut Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Menteri Agama dengan kewe-nangan untuk mencatat dan mengadministrasi perkawinan menurut Undang-Undang.
2.    Pasal 148 menyatakan bahwa: Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Adapun yang dilarang pada Pasal ini adalah bagi Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya untuk menca-tat menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
3.    Pasal 149 menyatakan bahwa: Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Maksudnya, orang yang melakukan kegiatan seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah/Penghulu dan bertindak sebagai wali hakim yang sebenarnya ia tidak berhak.
4.    Pasal 150 menyatakan bahwa setiap orang yang berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Artinya, seseorang dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah yang sebenarnya ia tidak berhak.35

Hal yang berbeda pada peraturan dan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut hanya berat ringannya hukuman yang dijatuhkan, karena momen atau kondisi zamannya yang berbeda. Hanya saja, yang perlu diantisipasi oleh masyarakat saat ini adalah bagaimana peraturan dan/atau RUU tersebut dapat berjalan secara efektif dan optimal, karena sejak awal pemerintah sudah membentuknya tetapi tidak menerap-kannya bahkan melakukan pembiaran berlangsungnya pelanggaran administrasi perkawinan di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Nasaruddin Umar36 bahwa keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami. Lebih lanjut, berkenaan dengan pernikahan siri dianggap perbuatan illegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 6 bulan dan/atau denda 6 juta rupiah. Tidak hanya itu, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 12 juta dan 1 tahun penjara.37
Nasaruddin Umar menambahkan bahwa pernikahan itu perlu tercatat secara sah. Jika tidak, maka bisa terben-tur persoalan administrasi. Meski dalam hukum Islam, nikah siri telah memenuhi unsur persyaratan nikah; kedua mempelai, saksi, wali, dan mahar, tetapi akan lebih baik apabila pernikahan itu tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama. Hal itu bertujuan agar pelaku nikah atau kedua mempelai dapat memperoleh surat resmi sebagai bukti sah pernikahan mereka. Seseorang yang tidak terdaftar perkawinannya, maka akan mendapatkan kesulitan administrasi, misalnya si anak nantinya tidak akan mendapat akta kelahiran. Pemerin-tah tidak bermaksud melarang apa yang telah dihalalkan oleh agama, namun pelarangan terhadap nikah siri ini haruslah dilihat dari sisi positifnya, terutama bagi kaum hawa [perempuan] yang kerap menjadi korban perilaku asusila.38
Keberadaan rancangan undang-undang (RUU) Hukum Materil Peradilan Agama tentang perkawinan yang mengatur masalah pernikahan siri, poligami dan kawin kontrak tersebut memancing perdebatan pro dan konta di kalangan praktisi hukum dan aktivis berikut ini.
Jimly Asshiddiqie39 berpendapat bahwa kawin kontrak dan kawin siri hanya justifikasi praktek perzinaan terselubung. Jangan kita larut dalam nafsu masing-masing yang cukup 5 menit itu. Saya mendu-kung kawin siri supaya diatur. Saya usulkan supaya diberi pidana. Ide kawin siri diatur dalam UU sangat bagus. Pernikahan yang tidak dicatatkan sering menimbulkan penyalahgunaan. Kawin siri itu, kawin diam-diam, tidak tercatat, menimbulkan penyalahgunaan. Karena itu, negara bertanggungjawab untuk mengadministrasikan tindakan-tindakan transaksional warganya. Jadi [bentuk perkawinan] ini harus dicatat. Jika tidak dicatat sesuai UU, itu dianggap tidak sah.[ Sekalipun] sah secara agama, tetapi melanggar hukum [negara], maka pelakunya diancam pidana. Itu boleh, sebab pidana berfungsi juga untuk mendidik.40
Penyataaan tersebut dipertegas oleh Mahfud MD,41 yang menilai bahwa banyak orang yang melakukan nikah siri hanya sebagai pelampiasan nafsu seksual.42 Kemu-dian lebih lanjut Badriyah Fayumi43 mengatakan bahwa menentang nikah siri bukan berarti mendukung kumpul kebo. Praktek nikah siri tidak bisa dilindungi dengan dalih mencegah perzinaan atau kumpul kebo. Daripada nikah siri, kalau ada niat menikah sebaiknya dilegalkan saja. Kalau selama ini kumpul kebo tidak ditindak, maka ke depan harus dimasukkan sebagai tindak pidana dalam revisi KUHP yang sedang dilakukan.44
Pemidanaan pelaku nikah siri dan pihak-pihak yang terkait bukan berarti mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh agama, tetapi justru keberadaan pencata-tan nikah adalah memperkuat legitimasi perkawinan tersebut, terutama menegakkan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Hal senada diiungkap oleh Ninik Rahayu [Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan] bahwa Komnas Perempuan setuju dengan adanya sanksi yang dikenakan pada pelaku pernikahan siri. Mereka layak dikenakan sanksi, tapi bukan karena melakukan pernikahannya, melainkan karena tidak memenuhi syarat administratif atau legalitas hukum. Karena tidak memenuhi persyaratan administratif, kerap kali pihak perempuan menjadi "korban" dalam perni-kahan siri. Dengan melihat dari perspektif perempuan sebagai korban dan terlepas dari perdebatan soal sah tidaknya nikah siri dalam agama.45 Oleh karena itu, menurut KH. Ma'ruf Amin46 bahwa nikah siri menimbul-kan pihak-pihak yang dirugikan, terutama perempuan dan anak-anak.47 Karena itu, nikah siri dalam agama Islam menjadi haram jika hak istri dan anak tidak terpenuhi. Pada 2005, Majelis Ulama Indonesia sudah memutuskan bahwa nikah di bawah tangan itu sah jika rukunnya dipenuhi. Namun menjadi haram jika hak-hak anak dan istri tidak terpenuhi. Namun, MUI belum bisa mengambil sikap mengenai rencana pemerintah yang akan memidanakan pelaku pernikahan siri. Tapi, kalau pidana seperti ini ada kesan mengharamkan nikah sirinya, padahal yang jadi persoalan kita adalah melin-dungi anak dan istri. Hal ini harus dibicarakan dengan matang. Selama ini, praktek nikah siri terbentur kesulitan teknis. Kalau usul ulama, (nikah siri) itu langsung dicatatkan agar bisa diterima. Namun, pemerintah menginginkan ada persetujuan dari istri tua [pertama/sebelumnya]. Ini yang sulit, sehingga harus dicari formula bagaimana nikah siri tidak dilarang tapi hak-hak istri dan anak pun terlindungi.48
Nur Ahmad Fadhil Lubis49 mengatakan, nikah siri yang banyak terjadi di kalangan masyarakat lebih banyak menimbulkan mudharat (efek buruk) daripada manfaat-nya [mafsadat]. Idealnya, perkawinan adalah suatu peristiwa yang membahagiakan dan layak diberitahukan karena berkaitan dengan status sosial di tengah masyarakat. Melalui pernikahan itu akan tercipta sebuah tatanan sosial yang bersangkutan, termasuk pengaruh-nya dalam bersosialisasi di kalangan masyarakat. Jika disembunyikan, maka dikhawatirkan muncul permasa-lahan di belakangan hari seperti tanggung jawab terhadap istri dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Karena terkait dengan tatanan sosial, maka pernikahan itu harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengakibatkan kebingungan dan ketidakjelasan. Salah satu aturan itu adalah perlunya pernikahan yang dilangsungkan tersebut dicatatkan dan memiliki akta yang resmi sehingga sesuai dengan norma yang berlaku. Sedangkan mengenai adanya sanksi jika pernikahan itu dicatatkan, itu sangat tergantung kebutuhan dan manfaat dari ketentuan yang akan diberlakukan. Namun sebelum sanksi itu diberlakukan, pemerintah harus dapat membuat ketentuan yang bisa memudahkan masyarakat dalam mendapatkan akta pernikahan seperti menetapkan biaya murah. Kalau perlu jangan dikenakan biaya sama sekali, anggap saja sebagai bagian layanan pemerintah.50
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan kajian mendalam dalam pemberian sanksi bagi pelaku nikah siri tersebut. Hal itu diperlukan agar pemberlakuan sanksi itu tidak salah target sehingga menjadikan korban dalam nikah siri sebagai pihak yang bersalah. Misalnya, perempuan desa yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai. Namun dengan berbagai pertimbangan terpaksa harus menjalani nikah siri. Jadi, pemerintah harus dapat membedakan dan memilah antara pelaku dan korban.51
Umar Salim52 meminta umat tidak berburuk sangka dulu. Draf tersebut justru akan melindungi kaum perempuan yang seringkali menjadi korban nikah siri yang tidak bertanggung jawab. Bukankah Islam juga melindungi yang lemah? Dalam hal ini negara ingin melindungi umat Islam, khususnya kaum muslimah dan kaum lemah yang sering menjadi korban. Oleh karena itu, kalau tidak mau dipidana, daftarkan saja pernikahan-nya kepada petugas agar mendapat akta nikah dan tercatat.53
Keputusan Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah (Muktamar Muhammadiyah ke-35) sebagai berikut:
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara kongkrit mengaturnya. Pada masa Rasulullah Saw. maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu, perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi Saw. bersabda "Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana" [HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah]. "Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing" [HR. Bukhari dari Abdurrahman bin Auf]. Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktian-nya cukup dengan alat bukti persaksian.
Dalam perkembangan selanjutnya, karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatan-nya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah istri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami istri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami istri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya, merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: "tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman". Ibnu al-Qayyim menyatakan "perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat istiadat" [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III]. Selain itu, pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai istri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP. Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam QS al-Baqarah [2]:282 "hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ..." Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam QS al-Nisa' [4]: 21 "bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat."54

Lain halnya dengan KH. Hasyim Muzadi55 menilai bahwa dalam hal pemidanaan nikah siri yang diatur dalam Draf RUU Nikah Siri adalah sebagai langkah tidak benar. Nikah siri cukup diadministrasikan saja. Harusnya yang lebih dulu dipidanakan itu yang tidak nikah (berhubungan seks di luar nikah). Saya yakin ini ada agenda tersembunyi untuk melegalkan yang melakukan seks bebas (free sex) dan menyalahkan yang nikah.56 Bahkan, KH. Idris Marzuki (Pemimpin Pondok Pesantren Lirboyo Kediri) menolak rancangan undang-undang yang memuat pemidanaan nikah siri, karena setiap istri maupun anak hasil pernikahan siri berhak atas harta gono-gini [harta bersama dalam perkawinan] dan warisan sang suami. Nikah siri dalam hukum Islam dinyatakan sebagai pernikahan yang sah dan diakui. Hanya saja pernikahan tersebut tidak didaftarkan secara adminis-tratif kepada kantor catatan sipil sebagai syarat keleng-kapan negara. Pernikahan semacam ini juga telah dilakukan oleh banyak pasangan di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah mengkaji ulang rancangan tersebut dengan melibatkan para ulama sebagai bahan pertimbangan, karena menimbulkan keresahan bagi masyarakat.57
Penelitian Moh. Zahid pada tahun 2001 menyatakan bahwa di wilayah Madura ditemui banyak perkawinan yang tidak dicatat di KUA. Perkawinan-perkawinan ini pada umumnya dilakukan di depan kyai, ulama, tokoh agama setempat. Masyarakat Madura merasa lebih afdal melakukan akad nikah di depan kyai daripada melakukannya di depan PPN.58 Selain itu, ditemukan pula kendala bagi masyarakat sehingga tidak mencatatkan perkawinan mereka di depan PPN, seperti di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, hambatan pencatatan perka-winan berupa kurangnya insentif untuk Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N) untuk pro aktif mendata dan mencatat perkawinan, serta sulitnya lapangan.59
Moh. Zahid menarik kesimpulan bahwa kedua faktor tersebut diperkirakan merupakan penyebab umum yang mengakibatkan perkawinan tidak dicatat di banyak wilayah. Hal ini terjadi, karena masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Indikasinya adalah masyarakat kurang mengerti keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari tercatatnya dan pemilikan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah bagi suami dan istri. Ada pula enggan mendaftar ke KUA, karena sadar bahwa persyaratan perkawinan mereka tidak lengkap sehingga apabila dibawa ke KUA pasti ditolak.60
Dalam rangka melindungi masyarakat, maka Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji (saat itu) menganjurkan agar pasangan yang perkawinannya tidak dicatat di Jawa Timur untuk mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama dan mencatatkannya di KUA setempat. Anjuran ini ternyata memperoleh respon yang positif dari masyarakat, karena selama tahun 1999 di Jawa Timur terdaftar kurang dari 18.000 perkawinan tidak tercatat. Jumlah ini termasuk mereka yang perkawinannya dilangsungkan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, ada pula perkawinan yang tercatat tetapi belum mendapatkan Kutipan Akta Nikah.61
Fakta lain menunjukkan bahwa di Temanggung, Jawa Tengah pada tahun 2010 ini masih terdapat 6.000 lebih pasangan belum menikah secara resmi. Data ini disampaikan oleh Eddy Winarso (Kepala Kapendukcapil Kab. Temanggung) sewaktu mengadakan acara penca-tatan pernikahan secara massal yang diikuti oleh 21 pasangan dari berbagai agama, yaitu 14 pasangan dari agama Budha, 2 pasangan beragama Katolik dan 5 pasangan beragama Kristen. Eddy menduga bahwa masih banyak pasangan belum menikah resmi karena kendala ekonomi. Selain itu, karena ketidaktahuan mereka tentang aturan perkawinan dalam hukum positif di negara ini. Salah satu pasangan menuturkan (Sucipto Ridwan, 70 tahun dan Umiyati, 63 tahun) alasan tidak mencatatkan perkawinan mereka karena, faktor ketidakmampuan ekonomi. "Kami dengar biaya pencatatan nikah untuk pasangan nonmuslim sangat mahal hingga Rp. 500.000, sementara penghasilan kami hanya sebagai pedagang sembako yang hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, kami tidak memiliki akta kelahiran yang merupakan syarat pengajuan pencatatan pernikahan secara resmi." Meskipun demikian, mereka menikah di sebuah gereja di kawasan Kemantren, Temanggung pada tahun 2003. Dari pengakuan mereka, sebenarnya ada niat ingin mencatatkan perkawinan secara resmi. Tujuannya untuk menghindari pandangan miring masyarakat terhadap pasangan yang hidup se rumah tanpa pernikahan resmi. Juga agar kami bisa merasa tenang, kalau pergi ke mana-mana atau pindah ke manapun, kami telah memiliki akta perkawinan, karena sudah disahkan secara hukum sebagai suami istri.62
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, selain jarak waktunya yang sudah cukup lama, juga dilihat dari segi posisi wilayah dan letak geografis tempat penelitian, yaitu Jawa Timur dan Jawa Tengah yang dianggap sebagai daerah yang cukup sarana transportasi serta kelengkapan prasarana pemerintahan, ternyata kondisi pencatatan perkawinan masih jauh dari harapan yang ditetapkan oleh undang-undang, maka dapat diasumsikan bahwa kondisi tersebut akan lebih parah, paling tidak sama dengan kondisi di daerah yang masih jauh dari keleng-kapan sarana dan prasarana tersebut, seperti di daerah pelosok atau terpencil di tanah air.
Selain itu, berikut diuraikan secara sepintas sebagai bahan perbandingan praktek pencatatan nikah di beberapa negara Muslim atau negara yang berpenduduk mayoritas Islam, seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Mesir, Libanon, Iran, Pakistan dan Bangladesh, serta Yordania.
1.    Malaysia
Hukum perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran/pencatatan perkawinan yang dilaksanakan setelah selesai akad nikah. Misalnya, Pasal 25 UU Pinang Tahun 1985 menyatakan bahwa perkahwinan selepas tarikh yang ditetapkan tiap-tiap orang yang bermustautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkahwinan tiap-tiap orang yang tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam negeri Pulau Pinang hendaklah didaftarkan mengikuti Enakmen ini. Bagi orang yang tidak mencatatkan perkawinannya merupakan perbuatan pelanggaran dan dapat dihukum dengan hukuman denda atau penjara.63
Malaysia memasukkan unsur tata cara perkawinan sebagai salah satu persyaratan perkawinan, selain batas umur calon mempelai, persetujuan kedua calon mempelai, dan larangan perkawinan. Yakni, ketentuan yang mengatur upacara perkawinan yang diatur dalam Enakmen di setiap kerajaan, yaitu:
1.    Mengajukan permohonan dengan mengisi formulir yang telah disediakan di Pejabat Pendaftaran Perkawinan.
2.    Pegawai tersebut akan meneliti permohonan tersebut.
3.    Perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai yang ditugaskan oleh Sultan atau di hadapan wali dengan izin dari Imam (Selangor) atau dari pendaftaran di negeri-negeri lainnya.
4.    Suatu perkawinan yang tidak dilangsungkan menurut ketentuan tersebut, walaupun sah menurut agama, tetapi pihak-pihak yang mela-kukannya akan dijatuhi hukuman berdasarkan ketentuan yang berlaku.64

Misalnya, salah satu anggota parlemen Malaysia diadili di Pengadilan Syariah Gombak Timur akibat ketahuan menikah kedua kalinya di bawah tangan (nikah siri) tanpa persetujuan istri pertama dan pengadilan. Ketika perkawinan itu terendus aparat, maka kedua mempelai ditangkap dan mengaku bersalah telah menikah tanpa persetujuan dari pihak terkait. Kemudian Pengadilan akan menganjarnya dengan denda masing-masing sebesar 500 ringgit Malaysia atau penjara 6 bulan, termasuk pihak-pihak yang telah bersekongkol dengan pasangan ini.65
2.    Brunai Darussalam
Demikian pula di Brunai Darussalam setiap perkawinan harus dicatatkan dan apabila terdapat perkawinan yang tidak dicatatkan, dianggap suatu pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman denda atau penjara.66
3.    Mesir
Mesir memberlakukan aturan pencatatan perka-winan melalui undang-undang ordonansi dan prosedur berperkara di Pengadilan sejak tahun 1897, yang menyatakan bahwa pemberitahuan suatu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). Kemudian menurut peraturan tahun 1911 bahwa pembuktian harus dengan catatan resmi pemerin-tah atau tulisan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal. Bahkan dalam peraturan tahun 1931 lebih dipertegas lagi dengan kata-kata "harus ada bukti resmi (akta) dari pemerintah.67
Pencatatan perkawinan di Mesir merupakan perbu-atan hukum yang penting, karena akan menjadi bukti apabila terjadi pengingkaran tentang adanya perkawinan tersebut. Apabila transaksi jual-beli saja harus dicatat dalam hukum Islam, apalagi perkawinan yang akan banyak menimbulkan hak dan kewajiban, tentu memerlukan pencatatan pula. Semua perkawinan di Mesir dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan perkawinan beda agama/sekte di luar Islam dicatatkan di Kantor Notaris.68
4.    Libanon
Undang-undang Libanon mengenai Hukum Keluarga Tahun 1962 disebutkan bahwa seharusnya pegawai yang berwenang hadir dan mencatatkan perkawinan, tetapi tidak ada penjelasan tentang status dan akibat hukum perkawinan yang tidak sesuai prosedur.69
5.    Iran
Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan perceraian harus dicatatkan dan apabila tidak dicatatkan, itu merupakan suatu pelanggaran.70
6.    Pakistan dan Bangladesh
Muslim Family Law Ordonance 1961, Pakistan dan Bangladesh mengharuskan pendaftaran perkawinan. Ulama tradisional Pakistan juga setuju dengan keharusan pencatatan perkawinan, dengan syarat tidak dijadikan syarat sah perkawinan. Bagi yang melanggar dapat dijatuhi hukuman denda atau penjara.71
7.    Yordania
UU Yordania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan adanya pencatatan perkawinan dan yang melanggar dapat dihukum baik mempelai maupun pegawai dengan hukuman pidana. Selain dari negara-negara tersebut, seperti Syiria, Maroko, Tunisia, Libya, dan Yaman juga diberlakukan pencatatan perkawinan.72
Terlepas dari pro dan kontra tentang legal dan illegalnya nikah siri tersebut, bagi penulis bahwa pencatatan pernikahan mutlak dilakukan oleh sebuah negara hukum seperti Indonesia yang memiliki pendu-duk terbanyak di dunia setelah Cina dan India, sebagai salah satu wujud pengaturan administrasi negara untuk menjamin dan melindungi kepentingan warganegara-nya. Karena di zaman modern ini, seseorang yang membeli barang berharga saja, seperti emas, hewan, tanah, gedung, dan sebagainya, pada umumnya memerlukan bukti (sertifikat atau bukti lainnya) secara tertulis. Apalagi mengukuhkan sebuah hubungan sah antara suami istri sebagai pelanjut peradaban manusia, yang memiliki akibat hukum untuk saling memikul tanggung jawab bagi mereka dan keturunan mereka kelak.
Sebagai wujud komitmen negara untuk menjamin dan melindungi warganya, maka penataan administrasi mutlak adanya melalui peraturan perundang-undangan yang bersifat pressure (tekanan) bagi setiap warganegara. Karena pada prinsipnya, pencatatan pernikahan tidak bertentangan dengan hukum agama-agama yang ada di Indonesia bahkan justru semakin mengokohkan aktualisasi ajaran agama, khususnya syariat Islam di tanah air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun