Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Money

Bagaimana Kiranya Peran RRT dalam Dua Dekade yang Akan Datang di Dunia Siapa dan Apa Peran Intelektual dalam Negerinya (7)

29 Juni 2014   04:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:21 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu “Model Chongqing

Dalam diskusi itu para peserta diskusi menempatkan “Model Chongqing” dalam tanda petik, karena masih belum mempresentasikan suatu sistim baru kala itu. Si Wenjiang mengatakan bahwa itu suatu manifestasi dari “avatisme”( 现象, fanzu xianxiang-kembali pada jaman kuno/baheula) dari Tiongkok. Ini seperti model lain yang muncul disaat terjadinya krisis, ‘Model Chongqing” seolah kembalinya doktrin fondamentalis(原教旨主义/, yuanjiaozhi zhuyi) yang melihat masa lalu bukannya ke masa yang akan datang,(往回模式, Wanghui gai de moshi). Dimana pada saat yang sama terlihat cukup seperti reformasi sejati untuk memungkinkan pemerintah untuk menunda menangani reformasi karena tidak stabil dan keadaan sulit, misalnya menunda untuk mengadakan pemilu.

Zhang Qianfan menyimpulkan Model Chongqing tidak bisa diberlakukan untuk konteks yang lebih luas atau dapat dipertahankan dalam jangka menengah. Rakyat Chognqing tidak diragukan lagi puas dengan hasil yang sekarang, tapi dalam beberapa tahun lagi mereka mungkin akan merubah pikirannya. “Model” ini telah menimbulkan rasa bahwa ini adalah demokrasi palsu dan menghambat profesionalisasi sistim hukum.

Masalah Politik dan Legal

He Bing (何兵 seorang professor dari Universitas Ilmu Politik Tiongkok中国政法大学教授) mengusulkan dua reformasi dalam bidang legal : profesionalisasi jaksa & hakim dan demokratisasi sistim hukum. Dia mengatakan profesionalisasi sistim hukum tidak mungkin pada saat itu, karena adanya keterlibatan yang mendalam dari komite politik & hukum serta peradilan partai (PKT) . Tapi profesionalitas dalam penuntutan dan peradilan harus dipercepatan agar bisa mencapai demokratisasi (人民化, renminhua). Dia menyarankan adanya tim juri dari rakyat (陪审团,peishentuan).

He Bing juga bicara tentang ambiguitas dalam film yang menayangkan acara ulang tahun ke19 PKT tentang “Penyebab Besar Berdirinya PKT” (建党大业, jiandang daye). Film ini menunjukkan bagaimana pada zaman Republik Tiongkok (Kuomintang), para mahasiswa menentang kekuasaan diktator dan menyerukan dibentuknya sebuah partai revolusioner. Jika ini terjadi sekarang mereka akan dituduh “makar dan subversib” kepada kekuasaan negara. Dia menambahkan kita tidak memiliki hak untuk revolusi, hanya untuk menyanyikan lagu-lagu revolusioner. Dia meragukan bahwa reformasi politik secara damai adalah mungkin terjadi. Dia khawatir “krisis sumber daya” dan “krisis ekologis” akan segera meletus. Satu fakta yang berpotensi terjadi krisis adalah Tiongkok mempunyai masalah serius untuk sumber daya air yang cukup. Negara ini hidup dari meminjam waktu (透支,touzhi), mempertaruhkan pada generasi masa depan dan strategi untuk hal tersebut tidak berkelanjutan. Kekuatan reformasi relatif lemah dan masyarakat bawah sudah hilang kesabaran, dengan banyak rakyat miskin yang meratap sangat rentan bagi intelektual untuk menghasut mereka untuk berontak. Hal demikian yang menyebabkan Revolusi Prancis meletus.

Tapi Si Weijiang (斯伟江 seorang pengacara terkenal) tidak setuju dengan ide pembentukan juri rakyat, dia menguatirkan akan kembali ke ekses Revolusi Kebudayaan, karena juri rakyat bisa sangat konservatif dan sangat tidak sadar hukum. Dia mengemukakan hal yang penting adalah menghormati prosedur hukum, setiap trend populis (民粹主义, mincui Zhuyi) harus dihindari. Lebih lanjut dia mengatakan tidak akan ada reformasi yang berarti jika sistim hukum di “daulat” (皇上, huangshang/kaisar), dalam hal yang dimaksud disini adalah PKT. Jadi Reformasi Konstitusi diperlukan(宪政改革, xianzheng gaige). Reformasi konstitusi seperti membuka kotak Pandora: sekali dibuka akan sulit untuk menutupnya lagi dan kembali kepada status quo, maka dengan itu mengapa pemerintah harus waspada terhadap perubahan. Tapi dia merasa ada beberapa alasan untuk berharap. Apakah partai akan mengalami reformasi atau tidak, tapi jika tekanan dari luar sistim cukup kuat, sistim mau tidak mau harus bereaksi.

Menurut Si pemilu adalah suatu hal yang komplek. Prinsip “satu orang, satu suara” akan memberikan lebih banyak kekuatan bagi orang desa buta huruf dibanding dengan kaum elit. Dalam pemilihan kepala desa di daerah pedesaan, sistim semacam ini telah banyak terjadi suara yang dibeli ( money politik) oleh kandidat yang sanggup membayar. Ini akan menjadi suatu resep untuk suatu masalah, orang-orang diatas akan merasa menyesal dengan sistim yang demikian. Jadi dianggap progresif dan dibutuhkan dalam fase reformasi, dan reformasi bertahap dibutuhkan bervariasi yang disesuaikan dengan wilayah dan bidang reformasi. Yang jelas aturan main yang jelas harus ditetapkan dan rakyat harus siap secara psikologis. Dalam hal ini seharusnya tidak ada ilusi bahwa transisi ke sistim demokrasi, konstitusi (民主宪政, minzhu xianzheng) akan sulit dan akan menyebabkan kerusuhan.

Tong Zhiwei mengatakan dan Si Wejiang setuju, bahwa dalam pemilihan majelis lokal, sangat dikontrol secara ketat oleh Partai, rakyat harus bisa bertahan dengan tekanan ini dan mencoba untuk mendapat penerimaan secara bertahap untuk dapat menerima calon independen. Ini terjadi seperti strategi di Taiwan gema perjuangan mereka dari “luar partai” di tahun 1970an. Si Weijiang mengacu pada pengalaman dirinya dengan majelis rakyat di distrik Jing’an Shanghai, dimana majelis sedikit demi sedikit membiasakan dengan suara yang berbeda, selanjutnya merekam suara yang negatif. Tapi masalah akan tetap ada, termasuk fakta dimana ada penduduk  mengambang yang tidak bisa mendaftar untuk memilih dalam pemilihan lokal. Dalam hal ini Si menyimpulkan dengan mengutip perkataan Wen Jiabao (PM) : perubahan hanya akan datang melalui “soft power” masyarakat dan “takdir negara terletak dalam hati rakyat” (国之命在人心guo zhi ming, zai ren xin).

Perdebatan yang melebar kemana-mana sepertinya tidak akan berakhir dengan suatu konsensus, dan memang ternyata diskusi membelok kearah yang tidak dapat diserasikan dan komentar yang tidak cocok. Namun tujuan dari pertemuan ini untuk mengkritik “Model Chongqing” dan mengecam arogansi promotornya dalam hal ini Bo Xilai & Zhang Qianfan. Dan peringatkan otoritas hukum Tiongkok agar seminimum mungkin untuk menginterfensi sistim hukum.

Sejak 2009 kerjasama ekonomi antara Guangdong dan Chongqing terus berkembang, tapi hubungan politik mereka mendadak berhenti. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perang anti mafia Bo dengan mengguna “lagu merah” ternyata juga ditujukan kepada pengacara. Terlihat bahwa Wang Yang tidak ingin pendirian politiknya terpengaruh oleh perilaku Bo Xilai, maka hubungan politik kedua pemimpin ini berakhir.

Pada Kongres ke18 Partai Komunis Tiongkok diadakan di Beijing bulan Nopember 2002, menetapkan Xi Jinping dan Li Kejiang sebagai pimpinan Tiongkok. . Bo Xilai dan Wang Yang dari koloraborator menjadi saingan bahkan Bo menjadi pesakitan.

Menurut pendapat Cui Zhiyuan percobaan Model Chongqing untuk merevitalisasi hubungan partai dengan massa adalah tidak masuk akal, kecuali dalam konteks inovasi dalam ekonomi dan kebijakan sosial yang memang telah terjadi di kota setelah menjadi zona eksprimental nasional untuk mengintegrasikan perkembangan pedesaan dan perkotaan pada tahun 2007. Percobaan kebijakan terbaru Chongqing adalah “ 10 proyek untuk meningkatan kehidupan masyarakat, yang mencakup pendaftaran rumah tangga (Reformasi Pendaftaran Rumah Tangga /户籍改革), “lagu-lagu merah” dari Bo Xilai lebih nampak sebuah bentuk indoktrinasi, tapi mereka menyanyikan sebagai bentuk “ 10 proyek untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat” dapat dilihat sebagai cara untuk merevitalisasi hubungan PKT dengan massa.

Implikasi Chongqing dapat mililki implikasi nasional. Suatu inovasi yang dilakukan di kota dalam dekade sejak Huang menjabat sebagai wali kota pada tahun 2001, reformasi pendaftaran rumah tangga dan sistim sewa menyewa tanah publik telah diawasi dengan ketat dan diperdebatan diseluruh Tiongkok, ini bisa menunjukkan tujuan masa depan negara, dengan kata lain dengan eksprimen mengintegrasikan pedesaan dan pembangunan perkotaan dapat dilihat “isyarat parsial dari keseluruhan untuk yang akan datang”.

Dengan terjadinya skandal pada 6 Pebruari 2012, dimana Wang Lijun kepala kepolisian Chongqing meminta suaka di Konsulat AS di Chengdu dan skandal yang mengakhiri  karir politk Bo Xilai, namun eksprimen Chongqing tetap berlangsung. Skandal Bo mengindikasikan tidak ada mekanisme yang tepat untuk solusi konflik politik tingkat tinggi  di Tiongkok. Maka eksprimen Chongqing layak untuk diawasi dengan ketat secara signifikan untuk masa depan perkembangan politik-ekonomi Tiongkok. Demikian menurut kesimpulan Cui Zhiyuan.

Model Pembangunan Guangdong Sebagai Transisi

Xiao Bing(肖滨)Pendukung dari Model Guangdong dalam diskusi dan perdebatan untuk Model Guangdong dan Model Chongqing. Xio Bing menjadi tour de force dalam perdebatan tersebut.

Dalam artikelnya: Berkembangnya Model Guangdong / Evolving Guangdong Model (演变中的广东模式/yanbian zhong de guangdong moshi) menuliskan :

Dalam wacana modus Tiongkok, Model Guangdong merupakan suatu sampel dari Model Tiongkok secara keseluruhan. Jika ditilik dari segi sejarah, model Guangdong merupakan perpaduan dari unsur kekuatan sosial yaitu Modus Reformasi dan Membuka Diri, Emansipasi Pemikiran, Elit Pengerak Utama, menjadi empat jenis produk penggerak kemajuan sosial. Dipandang dari bentuk dan strukturnya Model Guangdong merupakan salah satu seperangkat yang keras dan elastis yang menjadi salah satu sistim otoriter (politik), sistim ganda dalam memimpin pembangunan ekonomi didalam masyarakat sosial yang tidak merata, suatu sistim disequilibrium dimana menjadi campuran unsur-unsur lama dan baru menjadi sturuktur hibrida yang masih belum dikukuhkan. Model Guangdong dari segi posisi sejarah adalah dari satu negara yang tadinya bersikukuh kaku dengan sistim phagocytic (menelan) berintegrasi pada deferensiasi pasar dan masyarakat sosial, ini merupakan bentuk peralihan, kearah emansipasi, reformasi dan keterbukaan diri, model Guangdong ini menjadi inti spiritual berubah dari sistim lama kearah unsur-unsur baru dari inovasi kelembagaan yang menjadi modus dari model ini. Model Guangdong menghadapi tantangan ganda dari permukaan dan dari dalam, masa depannya tergantung dari reformasi besar untuk restrukturisasi dan keterbukaan yang selanjutnya dapat di promosikan untuk seluruh negara.

Dengan kata lain, skema evolusi Guangdong adalah suatu sistim yang keras dan elastis sebagai satu sistim otoriter ganda dalam memimpin pembangunan ekonomi dalam masyarakat sosial yang tidak seimbang.

Menurut Xiao Bin, jika reformasi keterbukaan selama 30 tahun telah membentuk apa yang dinamakan “Model Guangdong”, maka model ini bukanlah sesuatu yang individual, melainkan hanyalah salah satu model dari Model Tiongkok. Namun jika model Guangdong di tempatkan pada kerangka model Tiongkok untuk didiskusikan, akan menjadi sulit, karena permasalahan model Tiongkok bagi para akademisi masih bercabang dan banyak diperdebatkan. Oleh karena itu, meluruskan bercabangnya pendapat dan perdebatan perbedaan ini perlu menjadi prasyarat untuk mendiskusikan hal tersebut leih lanjut.

Masalah perbedaan pendapat dan perdebatan tentang “Model Tiongkok” pada pokoknya ada empat: Pandangan pertama. Tentang perdebatan apakah memang ada model Tiongkok itu? Menghadapi masalah tersebut pandangan akademisi terutama ada tiga. Pandangan pertama yang dengan tegas menyangkal adanya model Tiongkok, bahwa pembangunan model Tiongkok dibandingkan dengan perkembangan  negara-negara Asia Timur lainnya tidak ada yang unik, Tiongkok hanyalah dalam proses pengembangan jadi masih belum matang dan syarat-syaratnya masih kurang untuk menjadi satu model yang definitif.

Pandangan kedua. “Model Tiongkok” seharusnya digunakan secara hati-hati, karena kata “model” memiliki sifat demontrasi yang berarti templete, tapi Tiongkok tidak mempunyai pengalaman untuk mengekspor sikap tersebut. Sementara itu, Sistim Tiongkok ini belum sepenuhnya sudah final, jika dikatakan “model” menjadi satu-satunya streotipe maka mudah menyebabkan kepuasan diri, optismistik buta, yang dapat menyebabkan bergesernya arah reformasi. Oleh karena itu ada sebagian pakar lebih mendukung menggunakan model dengan “karakteristik Tiongkok” (中国特色) atau “Cara Tiongkok”(中国道路) dan lain-lain.

Pandangan ketiga, bahwa “Model Tiongkok” itu memang ada, yang menganut pandangan ini adalah Pan Wei(潘维) dari Universitas Beijing, Zheng Yongnian( 郑永年) dari National University Singapore dan lain-lain. Mereka mengira jika menolak sama sekali atau menyangkal adanya formulasi “model Tiongkok” ini, maka kehilangan hak untuk membicarakan masalah tersebut.

“Model Tiongkok” adalah suatu realita yang obyektif, yang tidak hanya berarti sangat penting bagi negara-negara berkembang, tetapi juga bagi Tiongkok untuk mengembangkan makna tersendiri yang tidak boleh diabaikan. Kata Zheng Yongnian pada 2010.

Jika dikatakan “ Model Tiongkok” memang eksis, maka bagaimana untuk mendefinisikan konsep ini?  Konsep ini dapat diartikan secara luas dan sempit. Pada diskusi awal para pakar perhatiannya difokuskan pada bidang ekonomi, menjadikan “Model Tiongkok” dengan mendefinisikan dalam artian sempit. Tapi dalam beberapa tahun kemudian, para pakar membahas dengan perspektif yang lebih komprehensif, yang secara lebih luas didefinisikan sebagai konsep ekonomi politik. Seperti apa yang dikemukakan oleh Ding Xueliang (丁学良pada 2011) yang memformulasikan model Tiongkok dengan norma-norma formulasi disiplin ilmu sosial, dimana model Tiongkok didefinisikan sebagai ekonomi politik lapangan, yang masuk dalam lingkup “kekuasaan negara, ekonomi, dan masyarakat sipil” yang saling berkaitan atau sebagai interface.

Perdebatan ketiga, lebih mengfokuskan pada kontens spesifik bagaimana Model Tiongkok itu terbentuk. Sebagian pakar berpendapat terbentuknya dengan melihat ke belakang yang dimulai dari tahun 1949, yang telah mengakumulasi pengalaman 30 tahun sebelum dan 30 tahun sesudah pencanangan Reformasi dan Keterbukaan (改革开放前), Tiongkok telah kaya pengalaman dalam periode itu. Jadi memperbaikan atas “coba-coba dan kesalahan-kesalahan”(trial & error) sejak berdirinya RRT (1949), demikian kata Pan Wei (潘维,2010).

Tapi Banyak pakar yang mempercayai bahwa Model Tiongkok terbentuk pada 1978 setelah Sidang Pleno Ketiga PKT, menurut Qin Xuan (秦宣2010), namun Ding Xueliang (丁学良/dikemukakan pada 2011) menjadikan musim panas 1989 sebagai batas, dan 1979 akhir sampai dengan 1980 akhir sebagai “periode awal”. Perihal isi tentang Model Tiongkok Pan Wei sedikit lebih detail dengan menganggap perekonomian nasional, demokrasi, Sistim “Perahu” *1 merupakan satu “trinity” yang menjadi Model Tiongkok. Sedang Ding Xueliang membedah Model Tiongkok memisahkan soal politik, ekonomi  dan sosial menjadi subsistim, yang menjadikan  “core/inti dari Lininisme” sebagai puncak untuk “kontrol sosial” dan “peraturan pemerintah untuk kontrol pasar” tiga titik ini menjadi tumpuhan pemerintah.

(*1 社稷体制=sistim perahu : isitilah kuno yang mulanya mempunyai arti  “民以食为天”  rakyat dan pangan saling bergantungan dan berkaitan merupakan takdir. Rakyat dan Pemerintahan seperti dalam satu perahu menjadi satu kesatuan yang memiliki kepentingan yang sama. )

Pandangan keempat, bagaimana melihat Model Tiongkok dalam bentuk kerangka yang berbeda. Dalam tiga puluh tahun terakhir sejarah pembangunan Tiongkok menunjukkan reformasi dan politik keterbukaan tidak dilaksanakan secara seragam ke seluruh negeri setiap daerah melakukan pendekatan yang berbeda yang disesuaikan dengan realita mereka sendiri, namun tetap dibawah bimbingan pusat. Mereka membentuk ciri khas pembangunannya, misalnya “Model Zhejiang”, “ Model Guangdong” dan terakhir “Model Chongqing” (seperti apa yang telah dikemukakan dimuka). Bagaimana memperdebatkan dan membuat evaluasi sejarah untuk model-model ini para akademisi pendapatnya masih belum padu, perdebatan jadi seru dan menghangat.

Melihat Tiongkok dalam 30 tahunan terakhir ini dalam proses melaksanakan strategi kebijakan reformasi dan keterbukaan dari ekonomi terencana ke ekonomi pasar, dalam rangka untuk mengkonsolidasi kekuasaan politik, pertumbuhan ekonomi, sasaran mekanisme stabilitas sosial, interaksi timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dan sosial, telah ditrapkan kebijakan campuran keras dan lembut yang saling bersinergi. Yang membentuk satu set struktur kekuasaan institusional untuk pembangunan politik ekonomi. Mereka masih belum mendukung “Model Tiongkok” sebagai suatu model pembangunan yang sudah final yang dapat dijadikan satu contoh model dan dapat disebar luaskan. (Bersambung...)

Sumber :

(http://www.centreasia.eu/sites/default/files/publications_pdf/china_analysis_one_or_two_chinese_models_november2011_0.pdf )

( http://www.eeo.com.cn/2008/0828/115647.shtml ) 何兵:司法民主化是个伪命题吗?

( China 3.0 by Mark Leonard – European Council On foreign Relations – ECFR November 2012 )

( http://www.21ccom.net/articles/zgyj/dfzl/2012/0413/57509.html肖滨:演变中的广东模式 )

( http://www.caogen.com/blog/infor_detail/14676.html共和国一甲子探讨中国模式)

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun