Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masalah Laut Tiongkok Selatan & “Kebebasan Navigasi” Bagi AS (3)

21 Februari 2016   21:46 Diperbarui: 21 Februari 2016   22:18 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tujuan Sesungguhnya “Traveler Permit” AS

Pada 18 Oktober 2015, dalam Tiga tahunan Fleet Review dari pasukan Bela diri Jepang (JSDF) yang diselengarakan di Sagami Bay dari Perfektur Kanagawa. Apa yang patut dicatat adalah bagian dari AL-AS yang menghadiri Fleet Review ini adalah Armada Ketiga AS yang melakukan perjalanan jarak yang sangat jauh, bukan Armada ketujuh yang selalu ditempatkan di Jepang. 

Meskipun dua Armada ini adalah bagian dari Armada Pasifik, Armada Ketiga  jauh lebih kuat daripada Armada Ketujuh.

Markas Armada Ketiga berada di San Diego, di Pangkalan AL-AS di Point Loma. Wilayah operasi dari Armada ini meliputi 50 juta mil persegi dari timur AS dan Samudra Pasifik utara, termasuk laut bering, Alaska, Kepulauan Aleutian dan beberapa perairan kutub Utara.

Armada ketiga terdiri lebih dari 100 kapal, termasuk tiga kapal induk bertenaga nuklir; USS Nimitz, USS Carl Vinson, dan USS John C. Stennis. USS Theodore Roosevelt kapal induk yang baru-baru ini ditarik keluar dari Teluk Persia juga akan ditempatkan di markas Armada Ketiga di San Diego di masa depan. Dan dikemudian hari Armada ketiga akan mempertahankan skala empat kapal induk. 

Markas Besar Armada Ketujuh AS berada di Yokosuka, Jepang, dan garnisunnya mencakup Pangkalan Sasebo dan Basis Okinawa di Jepang, dan  Pangkalan di Busan, Pohang & Chinhae di Korsel, serta Pangkalan di Singapura dll.

Saat ini kekuatan luar negeri AS terbesar di garis depan dengan lebih dari 80 kapal, 140 pesawat, dan 40.000 pelaut.

 

Sebelumnya pada akhir September tahun lalu, komandan Armada Pasifik AS Scott Swift memberi dua pidato dimana ia masih meragukan perlunya militer AS menggunakan garis date-line internasional untuk menandai lingkup operasi Armada Ketiga dan Ketujuh.

Ide Swift adalah Armada Ketiga terletak di Barat AS dan Samudra Pasifik bagian utara harus memperluas perannya di wilayah Pasifik Barat, dan harus lebih dikembangkan untuk kerjasama lebih erat dengan Armada Ketujuh.

Seperti diketahui, Armada Pasifik dibagi menjadi dua armada, Armada Ketujuh dan Armada Ketiga, dan dibagi berdasarkan wilayah, Armada Ketiga lebih untuk membela negara Amerika, dan katif di pantai barat AS, timur di Hawaii, sedang Armada Ketujuh terutama beroperasi di wilayah Pasifik Barat.

Tapi menurut rencana, AS mengumumkan saat ini, Armada Ketiga dan Armada Ketujuh  akan digabung untuk memperkuat penyebaran di kawasan Pasifik Barat. Armada Ketiga sebenarnya telah mengalami banyak kecelakaan. Sebagai contoh setelah dirikan selama P.D. II, pernah dibatalkan untuk sementara waktu.  

Sampai tahun 1970an, ketika terjadi pertarungan supremasi maritim antara AS dan Uni Soviet menjadi sengit, itu diaktifkan kembali. Jadi Armada Ketiga terutamanya untuk memenuhi peran melindungi negara AS sendiri.  

Ini adalah salah satu dari dua kekuatan maritim di bawah Armada Pasifik. Jika mereka berkeliling di daerah ini terutama untuk menampilkan bagaimana AS menyesuaikan beberapa komponen kekuatan angkatan lautnya yang penting di kawasan Asia-Pasifik, terutama di kawasan Pasifik Barat.

Berdasarkan tata letak strategi global AL-AS untuk 10 sampai 15 tahun ke depan, militer AS berencana untuk menggeser sepertiga dari kapal Angkatan Laut untuk Pasifik Barat. Di masa depan, akan ada hampir 100 kapal perang AS dikerahkan di sisi Tiongkok di bagian barat Samudra Pasifik, yang berarti setara dengan setengah dari AL-AS.

Selain itu AS sedang memperluas kekuatan reaksi cepat di garis depan dari Pasifik Barat, dan memindahkan pasukan Korps Marinir ke Hawaii dan tempat-tempat lain, untuk menata ulang pasukannya. Menurut informasi, ini menunjukkan agar terus bisa mengawasi Semenanjung Korea dan Laut Tiongkok Selatan, 15% dari Korps Marinir AS akan dipindahkan ke kawasan Asia-Pasifik.

Menurut laporan dari media ROK/Korsel, selain untuk menyesuaian penempatan pasukan reaksi cepat, yang paling ikonik empat senjata militer strategis utama AS : kapal induk tenaga nuklir, pembom siluman B-2, F-22 pesawat tempur stealth, kapal selam tenaga nuklir akan semua mengunjungi Korsel, dan bahkan akan dikerahkan ke Guam.

Kapal induk  AS paling canggih bertenaga nuklir USS ronald Reagan sudah dikerahkan di pangkalan militer Yokosuka, Jepang, dan telah ditambahkan ke Armada Ketujuh AL-AS.

Pada saat yang sama, dalam rangka memperkuat Armada Pasifik AL-AS, kapal induk USS Theodore Roosevelt akan dikerahkan dari Pusat Angkatan Laut Norfolk, di pantai timur ke Pangkalan San Diego di pantai Barat Amerika.

Dua kapal induk militer AS berlayar di Laut Arab, dekat Teluk persia, dapat meliputi garis depan Pasifik Barat setiap saat. AL-AS juga akan menempatkan beberapa LCSs di Singpura, yang merupakan leher Asia Tenggara, dan juga akan mempertimbangkan penggelaran kapal-kapal perang AS di Filipina.

 

Pada tahun 2009, setelah strategi AS untuk kembali ke Asia-Pasifik fokus utamanya pada Laut Tiongkok Selatan. Ini dimulai di Filipian, dan pada kenyataanya, Filipian dengan gembira menyambut militer AS. Ada sejumlah besar personil militer AS yang ditempatkan di Subic Bay, juga ada di Ulugan Bay di Palawan, yang sangat dekat dengan Laut Tiongkok Selatan, hanya berjarak tidak lebih dari 100 mil laut, teluk ini awalnya sebuah desa nelayan kecil, tetapi AS dan Flilipina telah menigkatkan jumlah kontruksi dan pembangunannya disana.

Lebih ke selatan, AS memiliki kapal Littoral Combat (LCSs) di Singapura, jika mereka dikirim ke kawasan tersebut, kita tahu ini adalah mulut Selat Malaka. Jika LCSs ini melakukan penghadangan disini, maka Selat Malaka bisa diblokir. Jika pergi lebih jauh ke barat kita tahu disitu ada militer AS di Pangkalan Utapao.

Di Vietnam, AS telah mencapai kesepakatan dengan AS tentang Cam Ranh Bay, termasuk menggunakannya sebagai depot pemasokan, yang memungkinkan memberi persediaan dan istirahat bagi kapal AS disana. Dan juga peningkatan pertukaran militer dengan Kamboja dan Laos, termasuk pelatihan militer bilateral dan multilateral. 

Jadi dalam kenyataanya, AS mulai melakukan gerakan militerisasi di kawasan tersebut. Dan tampaknya ingin memblokir tempat strategis, yang berkaitan dengan konsep pertempuran asli AS udara  & laut (Air Sea Battle Concept). Apabila pecah perang, maka AS bisa dengan cepat menyebarkan pasukan di sana, karena senjata dan persenjataan berat sudah ada disana.

Mungkin secara normal kita tidak bisa melihat karena disimpan di gudang, tetapi jika terjadi pertempuran, militer AS akan dengan cepat berada disana.

Dalam situs Departemen Pertahanan AS menunjukkan bahwa militer AS memiliki lebih dari 300 ribu personil militer dan sipil yang bisa dikerahkan di kawasan Asia-Pasifik, serta lebih dari 1.200 personil operasi khusus. Angkatan Laut. Angkatan Darat, Angkatan Udara- AS dan Marinir AS memiliki total lebih dari 1.849 pesawat, 5 kelompok tempur kapal induk, dan 200 kapal di kawasan tersebut.

Dalam hal penyeimbangan negara di Asia-Pasifik termasuk Tiongkok, dalam hal ini termasuk penyeimbangan 10 negara ASEAN, strategi AS memandang seluruh Pasifik Barat sebagai papan catur, sehingga telah ditetapkan bagian dari pasukan Armada Ketiga disini, untuk memperkuat tentaranya di kawasan tersebut untuk memberi jaminan untuk mengendalikan atau lebih memperkuat penyeimbangan kembali strategis di kawasan tersebut. Ini menurut pandangan analis strategis militer.

Intervensi Luar Kawasan Memperkeruh Masalah

Intervensi kekuatan asing telah menyebabkan situasi lebih bergelombang di Laut Tiongkok Selatan. Dari pihak Tiongkok tampaknya berpandangan menyelesaikan masalah dengan negosiasi.

Pada pagi hari 22 Nopember 2015 di KTT Asia Timur ke-10, PM Tiongkok Li Keqiang menjelaskan sikap Tiongkok mengenai isu-isu Laut Tiongkok Selatan, dan membuat lima poin proposal bagi semua negara untuk menjaga perdamaian dan stabilitas Luat Tiongkok Selatan bersama-sama, termasuk negara-negara di luar kawasan utnuk tidak berperilaku yang bisa menyebabkan ketegangan di kawasan ini, dan minta semua negara untuk “bersumpah untuk melaksanakan dan menjaga kebebasan navigasi dan terbang diatas Laut Tiongkok Selatan berdasarkan hukum internasional.

Pengamat melihat dengan seringnya Tiongkok mengeluarkan pernyataan tentang masalah Laut Tiongkok Selatan mencerminkan nilai tingkat tinggi isu-isu ini bagi mereka. Dan inti dari tingkat tinggi ini menunjukkan Tiongkok benar-benar menghargai bagaimana menggunakan perdamaian untuk menyelesaikan sengketa di Laut Tiongkok Selatan, bagaimana menggunakan cara-cara damai untuk mempertahankan kepentingan Laut Tiongkok Selatan bagi dirinya.

Tapi masalahnya adalah ketika satu pihak menginginkan mengubah masalah laut ini menjadi kerjasama untuk perdamaian, kesejahteraan umum, dan kepentingan bersama, tapi ada negara luar yang jauh dari kawasan ini mengirim kapal perang dan pesawat. Hal ini yang menjadi masalah untuk membangun lautan perdamaian bersama bagi pihak-pihak yang berada di kawasan tersebut.

Pada 17 Nopember 2015, setelah Presiden Barack Obama tiba di Manila, ia mengunjungi dan naik ke kapal AL-Filipina BRP Gregorio Pilar, yang dulunya adalah kapal patroli Penjaga Pantai AS yang diberikan kepada Filipina pada tahun 2011. Kapal ini pernah terjadi berhadap-hadapan dengan kapal Tiongkok di Pulau Huangyan pada tahun 2012.

Obama mengatakan bahwa AS akan terus bersama-sama dengan Filipian menjaga keamanan maritim dan kebebasan navigasi di kawasan tersebut.

Selain itu, AS juga akan mengalokasikan dana 259 juta USD tahun 2015 dan 2016 untuk membantu Filipina, Vietnam, Indonesia, Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam “meningkatkan keamanan maritim.”

Jepang yang bukan negara yang bukan merupakan pihak yang terlibat dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, juga terlihat sering bersikap untuk ikut berpihak.

Pada 19 Nopember 2015, PM Jepang, Shinzo Abe dan Presiden Filipina Benigno Aquino III mengadakan pertemuan dimana telah tercapai kesepakatan dasar dengan menandatangani untuk mentransfer teknologi dan peralatan pertahanan. Pasukan Bela Diri Jepang akan menyediakan pesawat bekas dan peralatan lainnya untuk militer Filipina.

Karena AS telah sering melakukan sensasional kebebasan navigasi di Laut Tiongkok Selatan, juga telah berusaha mendesak negara-negara ASEAN untuk membentuk armada gabungan untuk melakukan patroli di Laut Tiongkok Selatan, tapi “teman-teman sekeliling” AS di Asia-Pasifik tampakanya menolak secara halus.

Pada 13 Oktober 2015, Australia didekati AS sebagai pilar keamanan untuk Asia-Pasifik dengan menandatangani perjanjian pertahanan dengan AS untuk memperkuat kerjasama militer kedua negara. Tapi perjanjian ini tidak secara khusus menyebutkan rencana patroli militer AS untuk Laut Tiongkok Selatan.

“Financial Review” Australia jelas menyatakan dalam sebuah laporan 14 Oktober 2015 bahwa Australia tidak akan bergabung untuk rencana patroli AL-AS di Laut Tiongkok Selatan. Dalam laporan ini dituliskan bahwa Australia tidak berencana untuk terlibat dengan potensi konflik antara AL-AS dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Jika kita melihat negara Australia dari P.D. I, dalam 100 tahun terakhir dari sejarah, mereka telah ikut mengambil bagian dalam hampir semua perang yang dipimpin AS. Tapi sekarang , kita dapat melihat saat ini, hubungan Australia dan Tiongkok terutama di sektor ekonomi dan perdagangan, adalah salah satu yang terbaik dan tidak bisa begitu saja loncat ke kereta AS untuk terlibat dalam perang Amerika.

Itu mungkin ide AS yang mengharapkan untuk mendapatkannya., tetapi ternyata tidak dapat. Jadi jika kita melihat situasi saat ini, baik Australia dan Jepang, mereka mungkin berpartisipasi dalam beberapa kegiatan militer AS di kawasan, termasuk untuk menekan Tiongkok, tapi analis melihat mereka tidak membentuk aliansi militer dengan pemimpin yang jelas dan pengikut yang jeals seperti selama Perang Dingin, ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi internasionaal saat ini.

Pada 22 Nopember 2015, saat konferensi pers di Kuala Lumpur, PM Shinzo Abe jelas menyatakan bahwa JSDF tidak akan mengambil bagian dalam operasi “kebebasan navigasi” kapal-kapal AS di dekat perairan Laut Tiongkok Selatan.

Demikian juga dengan negara-negara afiliasinya akan tetap netral dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan.

Pada 4 Nopember 2015, di pertemuan Menhan yang diperluas, untuk menjaga perbedaan dari yang diperluas, tuan rumah Malaysia membatalkan rencana untuk merilis sebuah pernyataan rapat gabungan. Dan hinga hari ini, ASEAN belum membuat pernyataan yang pasti mengenai konstruksi/pembangunan di pulau di Luat Tiongkok Selatan.

Selama Forum Xiangshan pada bulan Oktober 2015, Menhan Indonesia Ryamizard Ryancudu mengatakan bahwa Indonesia menghormati sebagian besar konstruksi atau pembangunan Tiongkok di pulau dan trumbu karang di Laut Tiongkok Selatan adalah kontruksi sipil  dan memuji Tiongkok karena tetap terbuka dan transparan dalam masalah ini.

Mantan Menlu Singpaura George Yeo secara terbuka menyatakan sebelum ini, selama konferensi yang diadakan di Beijing bahwa AS tidak harus berpartisipasi terlalu banyak dalam masalah Laut Tiongkok Selatan.

Jika gesekan atau konflik terjadi antara Tiongkok dan AS di kawasan ini, analis percaya akan membawa efek riak tidak saja sekedar kepada AS dan Tiongkok, tapi akan seperti gajah bertarung masuk kebun tebu, kerusakannya tidak saja pada kedua gajah yang akan terluka, tetapi tanaman tebunya akan hancur, itu akan menghancurkan segala bidang.

Jadi kita bisa lihat negara-negara ASEAN juga merefleksikan akan hal ini juga, apakah akan mendorong AS untuk lebih dalam terlibat di kawasan ini, apakah perlu Filipian menfasilitasi untuk memberi kesempatan AS untuk menyerang Tiongkok atau bahkan mendorong Tiongkok masuk dalam lingkungan yang bisa konfrontasi langsung dengan AS?

Pada 16 Oktober 2015, Rapat Informal Menhan Tiongkok- ASEAN untuk pertama kali digelar di Beijing. Tiongkok mengatakan kepada seluruh dunia bahwa Tiongkok bersedia untuk mengadakan latihan militer dengan ASEAN di Laut Tiognkok Selatan untuk mendorong perdamaian di masa depan di  kawasan ini menjadi kawasan damai.

Juru-bicara Menlu Tiongkok Hua Cunying menyatakan: “Dalam rangka untuk bersama-sama menanggapi tantangan yang mengancam, Tiongkok bersedia untuk mengadakan joint “Maritime Accidental Encounter Rules” dan latihan Maritim untuk pertolongan bencana dan pencarian (search & rescue) di perairan Laut Tiongkok Selatan pada 2016 dengan negara-negara ASEAN.”

Semakin AS mengganggu stabilitas, ketegangan tinggi akan ada, dan semakin Tiongkok harus berupaya dalam memperkuat kerjasama dengan negara-negara yang berafiliasi dengan ASEAN. Misalnya, Indonesia memberi saran mengajukan ide, untuk membentuk patroli bersama di Laut Tiongkok Selatan bersama dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Penting bagi negara-negara sekitar Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok dan ASEAN keduanya semestinya memiliki ribuan alasan lebih dari AS untuk berpatroli normal di kawasan ini untuk menjaga kebebasan navigasi dan keamanan navigasi.

Juga untuk masalah ini, kita harus menyerukan kepada masyarakat internasional untuk membuat aturan, atau mengklarifikasi hukum internasional, bahwa untuk semua perairan di seluruh dunia, negara-negara yang paling dekat dengan perairan harus memiliki tanggung jawab utama untuk kebebasan navigasi dan keamanan navigasi.

Pada 20 Oktober 2015, di Pertemuan Senior ke-10 “ Dekalrasi Tentang Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan” (Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea/ DOC) yang diadakan di Chengdu, Tiongkok. Wakil Menlu Tiongkok, Liu Zhengmin mengemukakan: “Kami telah menghabiskan 13 tahun terakhir ini untuk melaksanakan “DOC”. Dan pada titik ini kami sangat menghargai bahwa dengan kekuatan kita bersama dengan basis Tiongkok, kami telah mampu mempertahankan perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Tiongkok Selatan, dan menjaga kebebasan navigasi dan penerbangan di Laut Tiongkok Selatan, kami menikmati kemakmuran di Laut Tiongkok Selatan ini.”

Tampaknya dalam rangka “Deklarasi” Tiongkok terus mendorong maju kerjasama maritim praktis dengan ASEAN.

Saat ini yang sudah sedang dilaksanakan, China-ASEAN Cooperation Center, Bantuan Darurat hot-line Tiongkok-ASEAN, China –ASEAN Ocean College dan lebih dari 40 proyek lainnya juga sedang dilaksanakan.

Sebenarnya masalah Laut Tiongkok Selatan tidak rumit, yang membuat rumit karena ada yang ingin membuat rumit, dan membuat air jadi keruh dan berlumpur untuk menarik keuntungan dari kerumitan ini.

Mungkin ini pemikiran AS, Jepang dan Filipina. Tapi siapa yang kiranya paling diuntungkan jika terjadi kekacauan di kawasan ini? Yang jelas bukan dari nagara pengadu dan bersengketa, tapi negara yang jauh dari luar kawasan, yang tidak dapat disebut pengadu, tidak juga bagi negara yang terlibat langsung seperti Tiongkok, Myanmar, Thailand dan bahkan Vietnam, yang tidak ingin negara-negara dari luar kawasan terlalu terlibat di kawasan tersebut dan di Laut Tiongkok Selatan, sehingga Laut Tiongkok Selatan tidak menjadi permainan negara ketiga dari luar kawasan untuk mencari keuntungan.

Semua pihak (negara-negara ASEAN) masih ingin melakukan bisnis dan memakmurkan serta meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Kiranya ini lebih penting dari beberapa pulau dan terumbu karang.

Namun apakah AS memang sungguh-sungguh berupaya dan berusaha untuk mempertahankan kebebasan navigasi atau sebaliknya hanya untuk tujuan hegemoni maritim?  Kiranya kita semua tahu jawabannya.

Kita juga tahu, dan dapat memprediksi latar belakang AS mendorong maju strategi untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik akan meciptakan gelombang di Laut Tiongkok Selatan, yang membuatnya tidak akan mendatangkan kedamaian. Dan gelombang di Laut Tiongkok Selatan tidak akan menguntungkan negara manapun, terutama nagara-negara disekitar kawasan ini.

AS harus menyadari dalam rangka kompetisi dan kerjasama antara Tiongkok dan AS, pilihan untuk tanggung jawab kekuatan utama adalah mengelola tabrakan dan kecelakaan antara Tiongkok dan kapal-kapal dan pesawat AS didekat perairan di sekitar Kepulaauan Nansha (Spratly) dan menghormati perasaan dan kepentingan negara-negara lain.

( Habis )

Sumber : Media TV & Tulisan Dalam & Luar Negeri

https://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/16/078745433/begini-saran-jokowi-mencegah-konflik-laut-cina-selatan

http://news.detik.com/internasional/3131135/kapal-perang-as-berlayar-dekat-pulau-yang-diklaim-china-di-laut-china-selatan

http://www.nytimes.com/2015/10/28/world/asia/south-china-sea-uss-lassen-spratly-islands.html?_r=0

http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/xwfw_665399/s2510_665401/t1273370.shtml

http://www.stripes.com/news/pentagon-five-chinese-vessels-harass-u-s-ship-1.89046

http://www.breakingnews.com/topic/south-china-sea-dispute/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun