Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masalah Laut Tiongkok Selatan & “Kebebasan Navigasi” Bagi AS (1)

20 Februari 2016   20:52 Diperbarui: 20 Februari 2016   20:59 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pasang surut dan panas dingin bak seperti perubahan iklim, demikian juga dengan masalah Laut Tiongkok Selatan. Tiongkok telah didukung dengan klaim yang luas termasuk pulau dan bangunan serta patroli angkatan laut. Sedang AS mengatakan menentang pembatasan kebebasan navigasi dan klaim kedaulatan sah oleh semua pihak, tetapi dipandang oleh banyak pihak sebagai khusus ditujukan pada Tiongkok.

Friksi ini telah memicu kekhawatiran daerah ini akan menjadi titik kericuan dan nyala api dengan konsekuensi global.

Masalah ini adalah sengketa wilayah dan kedaulatan atas wilayah laut, Paracel dan Spratly dua rantai pulau yang diklaim secara keseluruhan atau sebagian oleh sejumlah negara. Yang berupa pulau, karang atol, gumuk pasir, dan terumbu karang.

Meskipun sebagian besar tidak berpenghuni, Kepulauan Paracel dan Spratly belakang di duga memiliki sumber daya alam disekitar kepulauan ini. Laut ini juga merupakan jalur pelayaran utama dan tempat nelayan menangkap ikan dan mengeksplorasi hasil laut untuk memasok pencaharian bagi masyarakat di seluruh wilayah ini.

Sejauh ini Tiongkok mengklaim porsi terbesar dari wilayah-wilayah didefinisikan oleh “garis titik-titik sembilan” yang membentang ratusan mil ke selatan dan timur dari provinsi selatan Hainan. (Baca:http://www.kompasiana.com/makenyok/intervensi-as-di-kepulauan-nansha-atau-spratly-dan-laut-tiongkok-selatan-menjadi-perhatian-dunia-1_55e106832b7a61dd0fb66b0f )

Beijing megatakan haknya untuk daerah ini berdasarkan fakta sejarah yang sudah berabad-abad yang menganggap Kepulauan Paracel dan Spratly dianggap bagian integral dari bangsa Tiongkok, dan pada tahun 1947 mengeluarkan peta yang merinci klaim tersebut. Hal ini menunjukkan dua kelompok pulau jatuh sepenuhnya dalam wilayahnya. Klaim tersebut juga dicerminkan oleh Taiwan.

Vietnam dengan sengit mengseketakan catatan sejarah Tiongkok, dengan mengatakan Tiongkok tidak pernah mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau sebelum tahun 1940. Dengan mengatakan Vietnam telah aktif memerintah baik Paracel dan Spratly sejak abad ke-17, dan memiliki dokumen untuk membuktikannya.

Penggugat yang paling gencar adalah Filipina yang mengklaim atas kedekatan geografis degan sebagian besar Kepulauan spratly. Kedua Filipina dan Tiongkok mengklaim Scarborough Shoal atau dikenal dengan Pulau Huangyan oleh Tiongkok, terletak 100 mil (160 km) dari Filipina dan 500 mil dari Tiongkok.

Malaysia dan Brunei juga mengklaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan yang jatuh pada zona ekslusif ekonomi mereka seperti yang didefinsisikan oleh UNCLOS – Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Brunei tidak mengklaim salah satu pulau yang disengketakan, tapi Malaysia mengklaim sejumlah kecil pulau di Spratly.

Masalah yang paling serius dalam beberapa dekade  terakhir telah terjadi antara Vietnam dan Tiongkok, ada juga yang masih mengalami kebuntuhan antara Tiongkok dan Filipina.

Pada tahun 1974 Tiongkok merebut Pulau Parcels yang diduduki Vietnam, dan menewaskan 70 tentara Vietnam. Pada tahun 1998 kedua belah pihak bentrok di Spratly, dengan Vietnam kehilangan sekitar 60 pelaut.

Pada awal 2012, Tiongkok dan Filipina terlibat kebuntuhan maritim yang berkepanjangan, yang menyangkut Scragorough Soal (Pulau Huangyan).

 

Pada bulan Juli 2012, Vietnam dan Filipina marah kepada Tiongkok karena secara resmi membuat kota Sansha, sebuah badan adminstrasi dengan kontor pusat di Paracel untuk mengawasi Laut Tiongkok Selatan.

Pada Mei 2014, Tiongkok melalukan pengeboran rig di dekat peairan Kepulauan Paracel yang mengikibatkan bentrok tabrakan antara kapal Vietnam dan Tiongkok

Pada bulan April 2015, AS merilis citra satelit yang menunjukkan Tiongkok membangun sebuah landasan udara di tanah reklamasi di Spratly.

Pada bulan Oktober 2015, kapal perusak kawal rudal AS yang dilengkapi rudal berlayar 12 nautical mil dari pulau-pulau buatan, ini akan menjadi yang pertama kali dalam serangkaian tindakan yang direncanakan kebebasan bernavigasi di wilayah tersebut. Tiongkok memperingatkan AS harus “tidak bertindak membabi buta atau membuat masalah-masalah yang tidak perlu” 

Tapi Tiongkok cendrung memilih perundingan bilateral di balik pintu tertutup, negara-negara lain menginginkan adanya mediasi internasional. Tapi meskipun Filipina berhasil mengajukan masalahnya ke pengadilan PBB, namun Tiongkok tidak diwajibkan untuk mematuhi putusan.

Kelompok regional ASEAN dengan upaya baru, melakukan pembahasan ide-ide baru untuk menyelesaikan sengketa,

AS memperingatkan Tiongkok untuk tidak “menyikut kesamping” negara-negara itu dalam konflik dengan pulau-pulau. Tiongkok memperingatkan AS untuk tidak ikur campur dengan masalah kawasan ini yang jauh dari negaranya, biarlah negara-negara yang bermasalah untuk melakukan perundingan bilateral tanpa intervensi pihak lain. 

Eric Baculinao dari NBC News yang mempunyai hubungan dekat Beijing menuliskan, Tiongkok tidak akan memulai perang atas pulau-pulau sengketa di Laut Tionkok Selatan yang kini menjadi tegang.

“Kami tidak akan memulai konflik militer untuk memulihkan pulau-pulau yang secara ilegal diduduki oleh negara-negara lain.” Kata Wu Shiun mantan kepala urusan luar negeri dari Provinsi Hainan. Lebih lanjut dikatakan “Posisi kami adalah mengutamakan negosiasi dengan negara-negara yang terlibat langsung, untuk menyelesaikan sengketa teritorial dan maritim.”

Terakhir Presiden Jokowi dalam KTT ASEAN-AS dalam acara Working Dinner bersama Presiden Barack Obama dan pemimpin negara ASEAN di Sunnylands Historic Home, Amerika Serikat, Selasa, 16 Februari 2016. Jokowi mengusulkan, untuk menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan, rivalitas kekuasaan harus dicegah. Dan menegaskan bahwa Declaration of Conduct harus dilaksanakan secara efektif. Untuk mencegah konflik, Jokowi mengimbau semua pihak yang terlibat konflik menghentikan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan ketegangan. "Sebagai non-claimant state, Presiden menyampaikan bahwa Indonesia ingin memberikan kontribusi bagi perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan."

Provokasi AS Di Laut Tiongkok Selatan

Pada akhir Oktober 2015, kapal perusak kawal rudal USS Lassen telah berlayar melalui perairan dekat Kepulau nansha tanpa otorisasi Tiongkok, sehingga diprotes Tiongkok dengan keras. Sebelum kejadian ini meredah, selang tidak lama Komando Pasifik AS Laksamana Harry Haris mengatakan akan lebih sering lagi kapal perang AS di kirim “berpatroli di Laut Tiongkok Selatan.”

Aksi ini tampaknya merupakan niat AS menggunakan metode yang sama beberapa kali untuk menunjukkan “Kebebasan Navigasi.”

Pada 21 Nopember 2015, selama Halifax Forum Keamanan, di Kanada Komando Pasifik AS Laksamana Harry Harris, mengatakan akan lebih sering kapal perang AS berpatroli di Laut Tiongkok Selatan dalam beberapa minggu lagi. Dengan mengatakan: “AS akan terus terbang, berlayar dan mengoperasikan dimana saja yang memungkinkan berdasarkan hukum internasional, tidak terkecuali di Laut Tiongkok Selatan. Tidak perlu heran tentang hal ini. Kami telah melakukan ini di Laut Tiongkok Selatan sebelumnya, dan kami akan terus melakukan ini.”

Tampaknya AS terus bikin tegang syaraf di Laut Tiongkok Selatan dengan mengatas namakan “Kebebasan Navigasi.” Petagon mengverifikasi dari 8 & 9 Nopember 2015, pesawat pembom strategis AS, B-52 terbang melalui wilayah udara internasional di atas Laut Tiongkok Selatan, dan mendekati pulau dan terumbu karang Nansha, tapi tidak terbang kurang dari 12 mil laut dari pulau dan beting (shoals).

Pada 27 Okotber, kapal perusak AS USS Lassen yang dilengkapi dengan rudal memasuki perairan di sekitar kepulauan Nansha yang diklaim wilayah Tiongkok. Sebuah laporan Reuters mengungkapkan bahwa militer AS juga mengirim sebuah pesawat pengintai P-8A untuk melakukan patroli di perairan ini.

 

USS Lassen adalah kapal perusak kawal rudal ke-32 Arleigh Burke-class berpeluru kendali, dan masuk dalam gugus tugas AL-AS tahun 2001, berbobot 9,200 ton, kecepatan 30 knot dan dapat membawa helikopter SH-60B atau F LAMPS MK III anti-kapal selam. Dilengkapi dengan sistem tempur Aegis, disebar/ditempatkan di pangkalan AL di Yokosuka, Jepang, dimana dalam gugus operasi Armada Ketujuh AL-AS.

Sejak Agustus 2013, USS Lassen telah berlayar melalui perairan sekitar Laut Tiongkok Selatan, dan mulai pada akhir Mei 2015 melakukan patroli di intermiten Laut Tiongkok Selatan.

Menhan Tiongkok menyatakan bersikeras menentang hal ini, dan mulai bernegosiasi serius dengan AS, kapal-kapal AL dan pasukan AU Tiongkok mengantisipasi seperlunya secara legal dan pelaccakan profesional serta monitoring, dan memberi peringatan kepada kapal AS sesuai dengan hukum laut internasional.

Liu Kang juru-bicara Kemenlu Tiongkok mengatakan, Tiongkok telah menegaskan untuk mempertahankan sendiri kedaulatan, keamanan, dan legalitas kepentingan maritim teritorial dengan tepat. Resolusi Tiongkok akan menanggapi provokasi berbahaya setiap negara, kami akn terus secara ketat memantau siutasi laut dan ruang udara terkait, serta mengamabil langkah-langkah yang diperlukan sesuai kebutuhan.

“Di masa lalu Kepulauan Nansha seperti tanah yang terlantar tidak dibagun pagar, kini Tiongkok membangun pagar, sehingga mereka tidak bisa keluar masuk seenaknya. Dan itu termasuk AS harus lapor kepada Tiongkok ketika kapal mereka datang. Jika mereka melampaui 12 mil laut, mereka harus melintas dengan damai. Itu berarti mereka tidak boleh mengaktifkan elektronik terkait apapun, seperti radar atau peralatan pengintaian. Dan senjata harus menunjuk ke depan, dan tidak boleh ditujukan pada pulau-pulau atau karang kami.” Demikian menurut direktur penelitian masalah Amerika dan internasional Tiongkok Lu Jianqun.

Lebih lanjut dikatakan, jika pesawat terbang,  mereka tidak boleh terbang dan mendarat seenaknya. Lintas Damai ada aturan menurut hukum internasional. Jika bernavigasi seperti itu, pada saat yang sama, yang bersangkutan harus memberitahu negara yang terlibat: dalam hal ini kepada Tiongkok.

Tapi masalahnya, jika AS memberitahu Tiongkok maka itu akan setara dengan mengakui hak hukum dan kepentingan Tiongkok di wilayah tersebut, maka tidak heran jika AS tidak menginformasikan kepada Tiongkok.

Pada 18 Juli 2015, Komandan Armada Pasifik AS, Scot Swift berada dalam penerbangan pesawat anti-kapal selam AS paling canggih P-8A Poseidon dari Filipina, dan melakukan operasi pengintaian maritim di wilayah udara Laut Tiongkok Selatan yang di klaim Tiongkok selama 7 jam.

Pada 20 Mei 2015, pesawat anti-kapal selam P-8A Poseidon dengan wartawan CNN terbang di atas pulau-pulau dan karang di Laut Tiongkok Selatan untuk melaksanakan misi pengintaian. Pada titik terendah selama penerbangan ini, pesawat terbang hingga ketinggian terendah 4,500 meter.

Saat pesawat AS ini mendekati teritorial kepulauan Sparatly AL Tiongkok mengirim peringatan agar pesawat ini menjauh dari teritorial yang diklaim Tiongkok sebagai wilayahnya.

Selama misi pengintaian ini, P-8A AS menerima total delapan kali peringatan dari pihak Tiongkok untuk meninggalkan daerah itu.

AS telah menetapkan untuk melakukan patroli secara rutin, sistematis dengan kapal-kapal dan pesawat keluar masuk di depan depan pintu Tiongkok sebelum AL-Tiongkok berkemampuan untuk digjaya di lautan biru.

Dengan kata lain, dengan patroli rutin untuk menciptakan kenyataan, apakah pihak lain suka atau tidak, sehingga kapal perang dan pesawat AS akan dapat sering datang dan pergi dari situ. AS tampaknya akan menciptakan aturan ini untuk Tiongkok, agar kapal perang dan pesawatnya bisa bebas memasuki dan keluar dari terirtori yang diklaim Tiongkok ini.

AS selalu menekankan  motivasi untuk patroli di Laut Tiongkok Selatan sebagai mempertahankan “kebebasan navigasi,” tapi sebagian analis terutama dari pihak Tiongkok melihat operasi lain AS di Laut Tiongkok Selatan, sangat dipertanyakan motivasinya.

Militer AS dicurigai sedang terus mengembangkan “melenturkan ototnya” di Laut Tiongkok Selatan. Pada 9 Oktober 2015, AS dan Filipina telah melakukan latihan pendaratan bersama. Lokasi latihan di Provinsi Cavite, di pulau Luzon, Filipina. Laithan ini dihipotesis sebuah pulau yang telah diduduki pihak lain. AS dan Filipina melakukan operasi pendaratan untuk mengambil kembali pulau tersebut.

Menurut laporan,  Angkatan Bela Diri Jepang (JSDF) mengirim tim observasi, untuk melakukan latihan “unit mekanis amphibi” untuk bertanggung jawab dalam pertempuran dan perebutan pulau-pulau.

AS mengerahkan sekitar 800 personil, terutama marinir yang dimarkaskan di Okinawa, sementara militer Filipina mengerahkan sekitar 700 personil untuk bergabung dalam latihan ini.    

Romeo Tanaldo, Komandan Korps Marinir Filipina mengatakan; “Kami adalah satu tim. Kami adalah teman, kita adalah sekutu. Latihan ini menunjukkan kepada kita kemampuan dan kekuatan-kekuatan kedua belah pihak yang sebenarnya. Jadi ini yang kami peroleh hari ini. Dengan bermitra dengan sekutu kami. Itu akan selalu relevan untuk mengenal satu sama lain, dan pelatihan satu sama lain. Saya harap kita tidak berperang dengan mereka.”

Akira Miyazaki, perwira JSDF mengatakan, Lingkungan ini sangat mirip dengan Jepang, ini sangat menarik bagi kami. Hal ini sangat baik bagi kita untuk bertemu mereka semua dalam latihan.

Analis melihat AS berupaya memperkuat aliansi regional antara militer AS dan militer Jepang, AS dan Korsel, Jepang-Australia, AS-Jepang-Korsel, dan aliansi Jepang-Australia-India, serta bahkan mendirikan sejenis kerjasama militer dengan Vietnam.

Satu hal lagi yang sangat penting adalah kembali ke Asia-Pasifik di Laut Tiongkok Selatan. Tidak memiliki pangkalan militer di Laut Tiongkok Selatan, dan tidak mempunyai kondisi untuk membangun pangkalan. Jadi apa yang bisa AS lakukan? Tidak lain dengan secara teratur menampilkan kehadiran militernya disini. Untuk ini kita bisa melihat kekuatan militernya dengan patroli dari kapal perang dan pesawatnya.

Regularisasi patroli menandai penguatan peningkatan kehadiran militer di kawasan tersebut. Tidak hanya akan memberanikan sekutu AS, juga akan memperkuat kapasitas manajemen militernya di kawasan tersebut.

Mensetting aturan untuk Tiongkok sambil terus mendorong strategi Asia-Pasifik adalah rencana paling ideal bagi AS untuk patroli di Laut Tiongkok Selatan. Ini menjadi sorotan sebagian analis yang menginignkan kedamian di kawasan ini.

Tapi masalahnya akan efektifkah strategi ini? Yang dikhawatirkan adalah AS bermain permainan yang berbahaya ini, dan yang lebih ditakutkan lagi bagi negara yang tidak menurut dan tidak mau bersekutu dikhawatirkan akan ditimbulkan perang proxy di negara yang bersangkutan.

Sebagai contoh, pembom B-52 dan USS Lassen oleh masyarakat sipil ini disebut persenjataan masif dan besar, jika senjata masif dan besar ini sering keluar masuk ke daerah sekitar pulau-pulau dan karang yang diklaim Tiongkok. Ini tidak hanya menimbulkan ancaman bagi personil di pulau-pulau dan karang ini, juga merupakan ancaman serius bagi keamanan kawasan dan tentu Tiongkok juga akan merasakan hal yang sama.

Maka tidak salah seruan Presiden Jokowi seperti yang telah dikemuka dia dalam KTT ASEAN-AS dalam acara Working Dinner bersama Presiden Barack Obama dan pemimpin negara ASEAN di Sunnylands Historic Home, Amerika Serikat, Selasa, 16 Pebruari 2016, yang sudah disebutkan diatas. Dan menegaskan bahwa Declaration of Conduct harus dilaksanakan secara efektif. Untuk mencegah konflik, Jokowi mengimbau semua pihak yang terlibat konflik menghentikan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan ketegangan.

Tiongkok menyerukan kepada AS seperti ajaran Konghucu yang mengatakan, jangan lakukan yang dirimu tidak suka kepada orang lain (己所不欲   勿施于人ji suo bu yu, wu suo yu ren). Kalimat ini telah menjadi ‘Pengertian Emas’ bagi umat manusia dunia kini, dan telah diukir di Gedung Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

PBB lewat Resolusi GA 36/55 telah menetapkan sebuah Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama dan Kepercayaan. Lewat resolusi ini, tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan, agar tidak mengurangi kebebasannya untuk mempunyai satu agama atau kepercayaan yang telah dipilih. Intinya, resolusi itu menyebutkan tidak seorang pun boleh dijadikan sasaran diskriminasi oleh negara, lembaga, kelompok, atau individu karena agama atau kepercayaannya. Demkian juga bagi negara dengan negara lainnya.

Bagaimana jika pihak Tiongkok mengikuti logika AS, dengan mengirim beberapa pesawat terbang dan kapal perang dan pergi menuju AS dan melaksanakan kebebasan navigasi dan patroli sepanjang waktu, jika hal ini terjadi bagaimana AS akan mempertimbangkan ini dari sudut pandang keamanan? Jika AS berprilaku yang sangat provokatif di kawasan ini dan terhadap Tiongkok, itu benar-benar mengabaikan kekhawatiran negara-nergara kawasan ini dan Tiongkok tentang keamanan dan kepentingan sendiri, itu sungguh sangat berbahaya.

Menanggapi masalah ini, pada 22 Nopemeber 2015, Wakil Menlu Tiongkok Liu Zhemin saat konferensi pers di ibukota Malaysia, Kuala Lumpur, mengatakan : “AS dengan berani dan terang-terrangan mengumumkan mengirim kapal perangnya dekat Kepulauan dan Terumbu milik Tiongkok, dianggap sudah melebihi kebebasan navigasi, melainkan “provokasi politik” yang ditujukan untuk pengujian bagaimana Tiongkok akan menanggapinya.” 

Kegiatan pengurukan pulau-pulau yang terkait terumbu Tiongkok telah berakhir Juni 2015, selanjutnya melengkapi fasilitas yang dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi orang-orang yang diasramakan disana, serta penduduk, kapal yang lalu lalang dan negara di sekitarnya. Demikian menurut apa yang diumumkan pihak Tiongkok.

AS dengan jelas telah menyisipkan banyak hal lain dalam “kebebasan navigasi” yang didemontrasikan di wilayah yang diklaim Tiongkok di  Laut Tiongkok Selatan yang berulang kali mengundang sensasional.

Jika kita renungkan AL-AS telah beberapa dekade merajalela di lautan dunia atas nama “kebebasan navigasi.” Hanya “kebebasan” yang bagaimana yang diartikan AS? Seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari kepentingan ini?

Setelah P.D. II, untuk membentuk suatu tantanan baru maritim global, PBB mengadakan tiga pertemuan untuk hukum maritim, dan akhirnya pada tahun 1982, telah diloloskan hukum maritim yang paling komprehensif di dunia---“Konvensi PBB Tentang Hukum Laut/ UN Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS).”

Lebih dari 150 negara telah mengakui aturan dalam konvensi tentang “Kebebasan Navigasi.”

Namun jika melihat sejarah negara-negara yang memanfaat laut cukup berprikemanusiaan, tapi hanya negara-negara maju yang telah meanfaatkan laut. Dan hanya beberapa negara maju pada saat itu, yang memanfaatkan sumber daya kelautan.

Jadi dalam latar belakang demikian, pada tahun 1970, negara-negara berkembang mulai bangkit, dan negara-negara berkembang memiliki kemampuan ekonomi untuk menumbuhkan kekuatan maritim mereka. Dengan sendirinya mereka berkepentingan dengan hukum untuk mempertahankan kepentingan maritim yang luas dari negara-negara berkembang. Kini negara maju tidak bisa lagi memanfaatkan laut sendiri, mereka diharuskan memanfaatkan laut bersama dengan seluruh umat manusia.

Maka ketika itu terjadi, negosiasi maritim sangat sulit terjadi, tetapi bagaimanapun negosiasi ini akan berhasil nanti.

Namun, AS sebagai negara maritim yang paling kuat dunia, AS percaya hukum internasional ini tidak cukup untuk melindungi kepentingan maritim AS, terutama untuk kepentingan militer AS dalam menggunakan ruang maritim.

Pada saat itu, “Konvensi Hukum Laut” PBB telah diajukan dengan banyak konsep baru, seperti batas landas kontinen, zona bersebelahan, dan zona ekonomi ekslusif (ZEE/ exclusive economic zones), itu semua membuat AS sangat marah. Bahkan hingga kini AS belum meratifikasi “Konvensi Hukum Laut 1982” (the 1982 “Convention on the Law of the Sea”), karena membatasi dogma AS. Lalu apa dogma AS?

(bersambung ....... )

Sumber : Media TV & Tulisan Dalam & Luar Negeri

satu

dua

tiga

empat 

lima 

enam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun