Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengatasi "Politik Ketakutan" Intoleransi Beragama

2 Juni 2018   23:24 Diperbarui: 2 Juni 2018   23:27 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

The Payback Error. Finally, we very often go wrong when we permit deeply ingrained retributive thoughts to take over, making us think that pain wipes out pain, death murder, and so forth. In short, when we think that inflicting pain in the present fixes the past. We go wrong because that thought is a kind of irrational magical thinking, and because it distracts us from the future, which we can change, and often should.

Untuk mengatasi ketiga ketakutan di atas, Nussbaum secara tegas menekankan pentingnya refleksi dan kritik diri. Merujuk pada Kant, Nussbaum mengatakan:

"We need philosophical self-examination not because we are stupid or lacking in basically good ethical ideas but because each of us has a selfish propensity to 'quibbling,' to exempting our- selves from principles we apply to others. Therefore, a good way of testing ourselves is to ask whether the basis of our action could be recommended as law for everyone" (NRI 100-101). Karena itu, Nussbaum mengatakan "all [...] are made inconsistently, in ways that tacitly favor majority practices and burden minority practices" (NRI 105). Nussbaum percaya prinsip etis tentang penghormatan yang sama terhadap semua agama walaupun tidak berarti pengesahan yang sama untuk semua praktek agama.

Ketiga, "A systematic cultivation of the "inner eyes," the imaginative capacity that makes it possible for us to see how the world looks from the point of view of a person different in religion or ethnicity." (NRI 3)

Prinsip ketiga ini sebenarnya memuat keyakinan Yahudi yang dianut oleh Nussbaum. Sebagai seorang Yahudi, ia percaya bahwa setiap orang memiliki hidupnya sendiri dan kita semua dapat saling belajar dari perkataan dan cara hidup orang lain (bdk.NRI 143-144). Yang ditekankan oleh Nussbaum adalah pentingnya empati terhadap orang lain. 

Bersikap empati berarti mampu menempatkan pikiran dan perasaan kita dalam pikiran dan perasaan orang lain, dan dengan demikian diri kita sendiri mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dengan sesama sepeti tampak dalam solidaritas, kesetiakawanan sosial, musyawarah, toleransi, dlsb. Melalui empati kita bisa mengatasi ketakutan dan membangun peradaban yang baru dalam hidup borsama yang lebin toleran, sejahtera dan damai. (bdk. Dennis D. McDaniel, "Overcoming our displaced fears)

Refleksi Penutup

Ketakutan bukanlah penghalang untuk membangun koeksistensi yang damai dengan sesama. Sebagai sebuah dorongan alamiah dalam diri manusia untuk mencapai kehidupan yang baik, ketakutan adalah kekuatan yang menguatkan kita untuk membangun solidaritas dan kemajuan bersama. 

Dasar untuk mengatasi ketakutan itu adalah kesamaan martabat sebagai manusia dan kesetaraan sebagai manusia. Hal ini membutuhkan refleksi dan kritik diri terus menerus agar kita tidak jatuh dalam jurang kesalahan untuk memecah belah persatuan dan kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Manila, 3 Juni 2018

Pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus

Departemen Filsafat Ateneo de Manila University

PCF

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun