Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger

Suka maka, suka jalan, suka nulis, suka bercengkerama, suka keluarga. __::Twitter: @nuzululpunya __::IG: @nuzulularifin __::FB: nuzulul.arifin __::email: zulfahkomunika@gmail.com __::www.nuzulul.com::

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ketan Lorong Batu, Tak Lekang oleh Waktu

13 Maret 2018   01:12 Diperbarui: 13 Maret 2018   01:38 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lima ribu rupiah untuk seporsi ketan bumbu (Dokumentasi Pribadi)

Kota Batu semakin elok menawan hati. Di sana-sini sudut kota terus berbenah. Meski sang walikota kini 'berlibur' di tahanan KPK. Hidup terus bergulir. Sebab semua tak mau tergilas kerisauan.

Seperti Ahad pagi kemarin (11/3). Sejuk menyapa hati. Setelah tunaikan perjalanan ruhani Subuh di Masjid At-Takwa. Bergegas kaki melangkah menuju alun-alun Kota Batu yang jaraknya tak seberapa. Ditemani beberapa pasang kaki kecil yang riang melangkah. Serombongan anak-anak menguntit di belakangku.

Salah satu ikon wisata Kota Batu (Dokumentasi Pribadi)
Salah satu ikon wisata Kota Batu (Dokumentasi Pribadi)
Tempatnya memang di lorong (sempit).
Tempatnya memang di lorong (sempit).
Ketan Lorong. Satu tempat menjadi tujuanku saat itu. Nampak beberapa orang sudah memenuhi bangku. Ah, rupanya mereka adalah para jamaah yang tadi bersamaku. Lalu aku pun menghampiri mereka. Mengucap salam, sambil aku ulurkan tangan kepada mereka bergantian. Ah, betapa ringan hidup ini. Saat menyambut peluk cium tanda persaudaraan.

Siap antre atau duduk 'nglempoh' (lesehan).
Siap antre atau duduk 'nglempoh' (lesehan).
Aku pun menghampiri Mas Pandi di dalam (lorong). Bersama sang isteri, tengah sibuk menyiapkan pesanan. 

"Biasane yo, Cak," ucapku.

"Beres. Nganggo gula opo gak? (Pakai gula atau tidak?)," sambil berlalu melatiku.

"Gak usah. Susune ae sing diakehi. (Sususnya saja diperbanyak)," sahutku. Segelas susu jahe panas dan seporsi ketan bumbu, itu adalah menu favoritku.

Menjadi generasi ke-3 menjual panganan khas, tentu tidaklah mudah. Sebab para pelanggan tentu akan terus berburu rasa. Maka tak heran, bila pelanggan Ketan Lorong ini tak pernah surut. Tiap generasi bercerita kepada anak atau cucunya.

Sebagaimana ingatanku melayang ke awal tahun 90-an. Cukup dengan 350 rupiah. Seporsi ketan bumbu dan teh manis hangat sudah terhidang. 30 kali lipat harganya dibandingkan saat ini.

Tapi harga menjadi urusan nomor sekian. Sebab rindu akan kenangan tak akan pernah ternilai. Ditambah dengan keakraban di antara para pelanggan. Meski belum saling mengenal. Sehingga waktu pun berlalu tak terasa. Terbunuh oleh keramahan yang sulit dijumpai di tempat lain.

Bersama sang owner, Mas Pandi (Dokumentasi Pribadi)\
Bersama sang owner, Mas Pandi (Dokumentasi Pribadi)\
Usaha keluarga yang dirintis sejak tahun 60-an ini cukup melegenda. Meskipun ada warung sejenis yang memberi label 'legenda'. Sejak tahun 1996, warung ketan ini menempati lorong sempit di pinggir Alun-alun Kota Malang. Sehingga namanyapun berganti menjadi Kedai Ketan Lorong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun