Mohon tunggu...
Maimai Bee
Maimai Bee Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Hai. Saya Maimai Bee, senang bisa bergabung di Kompasiana. Saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tiga orang putra. Di sela waktu luang, saya senang membaca dan menulis. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mati Suri (Bagian 1)

3 November 2022   09:01 Diperbarui: 3 November 2022   09:02 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image pexels-t-nguyn

Aku berjalan dalam kegelapan, bahkan tak mampu melihat tanganku sendiri. Sunyi dan dingin sekali di sini. Kakiku seakan berjalan di atas pasir, beberapa kali terbenam di dalamnya. Angin beku menerpa wajahku membuat dadaku berdesir. Di manakah ini? Batinku ketakutan. 

"Apakah ada orang di sini? Mama ...? Mama ...?" panggilku lirih. Lidahku kelu. Mataku terasa panas. Aku harus tetap bergerak, pikirku sambil terus melangkah terseok-seok. Sesuatu yang licin dan berlendir menyapu kaki kananku yang telanjang. "Tolong! Tolong! Ada yang menarik kakiku!" teriakku ketakutan.

Samar-samar terdengar derap kaki kuda mendekat dari belakangku. Aku menoleh, tak terlihat apa-apa. Hatiku merapal doa-doa, berharap ada seseorang yang datang untuk menolong. Benda yang licin itu mulai melilit kakiku, membuatku hampir terjerembab. "Tolong, aku!" jeritku terbata-bata. Dalam kegelapan sepekat ini takkan ada yang bisa membantu, aku mulai putus asa. Badanku terasa limbung dan terjatuh. Wajahku terhempas ke permukaan berpasir kasar, rasanya sedikit perih di pipiku.

Suara kaki kuda itu semakin mendekat, seolah berada tepat di belakangku. Aku kembali menoleh. Tampak siluet seseorang memakai jubah bertudung hitam besar dan mengendarai seekor kuda yang juga hitam. Terdapat sebuah lentera kecil tergantung di leher kuda besar itu.

"Tolong...! " teriakku lemah. Aku sudah mulai lelah.

Orang yang duduk di atas kuda itu sepertinya laki-laki. Ia menghentikan kudanya tepat di depanku seolah sedang menatapku. Pria itu tiba-tiba menebaskan alat serupa sabit yang berpendar ke arah kakiku, membuat benda yang melilitnya terlepas. Ia turun dari kuda dan membantuku berdiri.

"Kenapa kau berada di sini?" tanyanya dengan suara serak dan dalam, seolah berasal dari perut bumi. Bulu kudukku meremang.

"Aku tidak tahu," jawabku jujur, melawan rasa takut. Aku menyipitkan mata berusaha melihat wajahnya. Namun, tudung itu begitu lebar hingga tak tampak apa-apa. Aku memandang ke sekeliling, semua hitam dan gelap.


"Aku harus terus berjalan," ujar pria itu menyelipkan gagang sabitnya ke pengait di pelana dan bersiap naik ke atas kuda.

Aku refleks menarik jubahnya. "Jangan tinggalkan aku," pintaku nyaris menangis.

"Kau tidak bisa ikut. Waktumu belum tiba," dengkus pria itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun