Setahun lebih bapak pulang menuju keabadian, tentu tidak mudah melepaskan jejak juga kisah yang terekam di benak kami. Melepaskannya butuh proses, lagi dan lagi kami bertahan serta memahami bahwasannya semuanya adalaha scenario dari Gusti Allah.
Namun suara kemarin, yang aku dengar dari cerita Emak, beberapa saudara pihak Emak menaruh curiga, kematian bapak itu tidak wajar. Bagaimnana tidak wajar, tidak sakit (secara nyata) tidak apa, tidak mendengar riwayat penyakit apa. Sebelumnya masih bisa salat berjamaah, bercanda dan beraktivitas seperti apa.
Di malam dini nan pekat, sepuluh januari 2024 pukul 02.30 bapak pergi selamanya. Betapa membuat kaget kami, juga kaget yang kenal bapak, pertanyaan yang kerap terulang, "Sakit apa bapak?"
Bapak sakit apa? Demam biasa, itu pun tidak terlalu mengkhawatirkan. Sudah kebiasaan bapak, kalau sakit tidak mau berobat, dikerok dan membuat cemas seisi rumah. Kalau bapak sakit, bapak mandiri mengobati dan sepanjang aku tahu seumur hidupnya bapak pernah berobat dua kali ke dokter. Tak lebih dan kurang.
Ada yang mengatakan ketika wafat pembuluh darahnya pecah, dilihat dari tampak wajahnya. Di detik-detik perginya, tepatnya ketika sakaratul maut, kami rencanakan akan diperiksa ke dokter atau diabawa ke tempat urut. Tapi bapak menolak dengan keras, katanya nanti juga sembuh, urus sama anak dan isterinya saja, dan benar tak lama menghembuskan nafas tanpa aku sadari di depan aku dan adikku. Baca di sini.
Qodarullah, semua sudah terjadi. Kami percaya, takdir Allah adalah yang terbaik. Kami rela bapak pergi, kami rela dengan keputusan Allah meski hati kami butuh waktu untuk terjaga. Biarlah, cepat lambat toh kami juga bakal kembali ke sisi-Nya. Terbaik di sisi Allah pasti baik untuk kami, tetapi baik untuk kami belum tentu baik di sisi Allah.
Ada pun kecurigaan bapak meninggal karena "naguna-naguna" yang diselipkan orang yang kurang kerjaan, yang sekarang digemborkan sebagain keluarga kami adalah sebuah luka yang seolah di buka kembali. Katakan benar bapak pergi karena "naguna", tetap saja secara hukum negara pun syariat kami gak bisa menindak pun menganalisis secara presisi siapa kedok di balik itu.
Yang bisa kamu lakukan adalah menuduh. Namanya menuduh, bisa benar juga bisa salah. Iya saja benar, kalau salah maka kami seperti makan bakso tanpa air dan garam, hambar yang ada. Intinya, dilihat dari sudut mana saja, entah sudut rumah tetangga, rumah orang, atau rumah-rumaha; yang namanya menuduh itu salah karena tidak diklarifikasi sama bersangkutan.
Lagian kami percaya, apa pun yang terjadi semua atas qodar Allah. Baik "naguna" atau penyakit apa saja hakikatnya dari Allah, karena itu kenapa harus sibuk dengan kehendak-Nya yang tak kita pahami.
Semua ini mengingatkan aku pada diskusi rutin kami di komunitas Pandeglang Book Party, betapa logika mistika yang disingung Tan Malaka di tahun 30-an sampai sekarang tetap pula relevan. Apalagi beliau menyinggung dengan keras, 'bangsa yang dikuasai logika mistika maka tidak akan mengalami kemajuan dalam peradabannya' begitu kurang lebihnya.