Mohon tunggu...
Mahsus  Effendi
Mahsus Effendi Mohon Tunggu... Penulis - Saya gabut, maka saya membaca.

What a man is a man who does not make the world better

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Merahmu Adalah Ilusi Bagi Kemerdekaan Kaum Tertindas

1 Oktober 2020   01:53 Diperbarui: 21 Februari 2021   02:38 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : https://www.romadecade.org/sejarah-pki/#!

Komunisme Masa Awal Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, gerakan sayap kiri mulai bertumbuh pesat ditandai dengan organisasi-organisasi sosial, buruh, tani, dan organisasi rakyat lainnya. Ditengah kuatnya organisasi-organisasi yang dipenuhi oleh kader-kader PKI seperti PBI (Partai Buruh Indonesia), FDR (Front Demokrasi Rakyat) dan Partai Sosialis, yang kemudian melebur pada satu gerakan atas kendali PKI. Musso kembali ke Indonesia, setelah lama menetap di Rusia, tujuannya kembali adalah untuk melakukan koreksi partai, kedatangan Musso ini jelas memberikan angin segar terhadap golongan kiri (komunis) Indonesia. Pada tanggal 10 september 1948 di Madiun Jawa Timur, PKI melaksanakan kongres besar yang dihadiri langsung oleh Musso dan Amir Sjarifuddin. Tak lama setelah rapat itu, Kota Madiun mulai ramai didatangi oleh orang-orang yang tak dikenal oleh penduduk sekitar, terjadi penculikan dimana-mana, warga sekitar mulai ketakutan, suasana muali kacau dan hingga akhirnya memuncak pada malam 18 september 1948. Terjadi letusan senjata di madiun, Sasaran utama PKI adalah rumah residen, Semadikun. Setelah PKI mengusai Madiun, Soemarsono dan Supardi memproklamirkan berdirinya Soviet Republik Indonesia dan membuat Front Nasional sebagai tandingan bagi Pemerintahan Indonesia. 

Aksi radikal yang dilakukan oleh PKI di Madiun, tidak sepenuhnya mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat sekitar. Namun PKI tidak akan segan-segan menghabisi siapapun yang tidak mau sejalan dengan mereka pada waktu itu. Pemerintahan Soekarno tidak butuh lama untuk meringkus para pemberontak, pada tanggal 19 september ada sekitar 200 anggota PKI yang ditanggkap di Yogyakarta. Dan setelah 10 Hari TNI yang dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto dan perjuangan rakyat berhasil merebut Madiun kembali dari tangan PKI. Dalam peristiwa ini pimpinan PKI seperti Musso dan Amir Sjarifuddin tewas tertembak. Namun penumpasan ini tidak sampai pada pengejaran anggota lain yang berhasil lolos,  karena pada saat yang bersamaan, Belanda melancarkan aksi militer yang kedua. Sehingga, penumpasan PKI pada tragedi Madiun ini terbengkalai, dan pemerintah pun menganggap urusan ini telah selesai dengan ditandai tewasnya pimpinan tertinggi PKI. 

Komunisme 1950 - Tragedi 30 September 1965

Partai Komunis Indonesia mulai bangkit kembali semenjak tahun 1950, dibawah pimpinan D.N Aidit. Pada masa ini, PKI menempuh garis kanan yaitu dengan legal perlementer atau mudahnya pro dengan pemerintah. Tidak hanya itu, PKI juga menggunakan taktik merangkul golongan-golongan non-komunis. Pada masa ini, PKI kembali pada gaya perjuangan awal, yakni defensif. Dikarenakan PKI telah memiliki sejarah hitam pada periode sebelumnya, maka Aidit melakukan serangkaian konsolidasi ke berbagai pihak agar kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat luas. Hal tersebut membuahkan hasil ketika menjelang pemilihan umum 1955, PKI berhasil menduduki peringkat ke-empat dengan suara terbanyak dibawah Nahdlatul Ulama (NU). Pada pemilu tersebut, PKI mendapat suara sebanyak 6.179.914 dan mendapatkan jatah kursi di parlemen sebanyak 39 kursi. 

Setelah PKI memiliki eksistensi yang cukup kuat, mereka mulai melakukan pengembangan ke berbagai sektor dan sendi-sendi pemerintahan untuk menambah kekuatan mereka. Pengembangan dalam segala aspek meliputi ideologi, doktrin, dan ajaran-ajaran PKI diperkuat dengan lahirnya konsep politik yang dicetuskan oleh Soekarno pada tahun 1965, yakni konsep politik Nasakom (Nasionalis, Agamis, Komunis). PKI memiliki peluang besar dengan lahirnya konsep politik tersebut untuk menguasai tubuh pemerintahan Indonesia pada saat itu. PKI juga melakukan pendekatan pada kekuatan struktur elit politik ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang cukup besar pengaruhnya pada kala itu. Dalam melancarkan pengembangan anggota di kalangan ABRI, PKI menggunakan MKTBP (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan) yang ketiga, yang berbunyi “bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama kalangan Angkatan Bersenjata.” Dalam misi ini diketuai oleh Kamaruzaman bin Ahmad Mubaidah alias Sjam. 

Sebelum meletusnya peristiwa 1965, beberapa bulan sebelumnya PKI sempat mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan Kelima. Namun, usulan tersebut ditolak oleh Angkatan Darat, Angkatan Kelima yang diusulkan oleh PKI adalah Angkatan Bersenjata yang diambil dari buruh dan petani yang dipersenjatai dan mendapatkan pelatihan militer. Dari sanalah dimulai konflik baru antara PKI dan AD (Angkatan Darat) setelah periode pemberontakan PKI di Madiun, hubungan antara kedua pihak terus memanas disaat PKI terus melancarkan serangan terhadap kelompok elit AD yang berkaitan dengan gaya hidup mewah mereka. Keadaan semakin memburuk antara keduanya, ketika PKI mulai mendengar desas-desus isu mengenai Dewan Jendral yang beranggotakan pihak AD sendiri, yang bertujuan untuk mengkudeta tahta kepresidenan Soekarno. Isu tersebut jelas memperburuk citra AD didepan pemerintahan maupun masyarakat. 

Tepat pada malam 30 September 1965 (menjelang subuh 1 Oktober 1965), beberapa kesatuan menuju rumah jendral pemimpin puncak Angkatan Darat, yaitu Jendral A.H Nasution, Letnan Jendral Achmad Yani, Mayor Jendral Suprapto, Mayjen S. Parman, Mayjen Harjono M.T., Brigadir Jendral D.I Pandjaitan, dan Brigjen Sutojo Siswomiharjo. Tujuan penjemputan para jendral ini adalah dengan satu perintah: menangkap para jendral, hidup atau mati. Pemimpin kesatuan tentara yang menculik para jendral ini adalah Letnan Satu Dul Arief. Namun sasaran utama mereka yakni Jendral A.H Nasution berhasil meloloskan diri, sebaliknya mereka malah membawa Pierre Tendean (ajudan Nasution) yang mereka sangka adalah sang jendral. Mereka menamakan aksi ini dengan Gerakan 30 September, tetapi kemudian dikenal dengan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). 

Keesokan harinya disusul oleh pengumuman seorang Perwira AD bernama letkol Oentoeng melalui Radio Republik Indonesia. Oentoeng selaku Komandan Batalyon I Resimen Pengawal Presiden Cakrabirawa, mengungumumkan bahwa dirinya dan satuan pasukannya telah menyelamatkan sang Presiden dari dugaan kudeta oleh Dewan Jendral yang beranggotakan sekelompok jendral yang telah mereka culik. Hanya dalam hitungan jam dari pengumuman Oentoeng, Gestapu disusul oleh serangkaian aksi serangan dari kubu AD yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, gerakan yang dikomandoi oleh Soeharto ini kemudian dikenal dengan Gestok (Gerakan 1 Oktober). Soeharto berhasil melakukan manuver militer ala tentara Indonesia yang bersifat tradisonal. Soeharto yang pada saat itu berpangkat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), ia berada pada posisi standing order atau urutan-urutan memberi perintah pada pasukan AD jika Letjen Ahmad Yani tidak ada. Soeharto melancarkan langkah pertamanya untuk balas dendam ketika ia telah bertemu dengan Jendral Nasution yang berhasil lolos dari penculikan, dan diselamatkan oleh pasukan Komando Daerah Militer (Kodam) dan kemudian Nasution dibawa ke markas Kostrad. Nasution menyetujui agar Soeharto mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membalas aksi yang dilancarkan oleh Gestapu, Nasution sendiri tidak dapat berbuat banyak karena masih shock dan trauma disebabkan tertembaknya anaknya yg kelima yakni Ade Irma, yang pada saat masih berumur 5 tahun. 

Setelah Soeharto berhasil menyatukan kekuatan AD, ia lantas mengepung Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Tepat pada tanggal 4 Oktober, jenazah para jendral dikeluarkan dari sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Setelah hari-hari paling tragis dalam sejarah Indonesia ini, kekacauan terjadi dimana-mana, Suasana dipenuhi dengan hiruk-pikuk serba tak menentu. Angkatan Darat kemudian mendesak Soekarno agar membubarkan dan melarang adanya PKI, namun permintaan itu sempat ditolak oleh sang Presiden. Hingga akhirnya, selang 6 bulan setelah kejadian, tepatnya pada 11 maret 1966. Sang Presiden mengeluarkan surat pelimpahan wewenang terhadap Soeharto, yang dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat perintah ini dilimpahkan kepada Soeharto untuk memberinya kekuasaan operasional guna memulihkan ketertiban dan stabilitas negara. Semenjak adanya surat perintah tersebut, Soeharto mulai menumpas PKI dan simpatisannya secara sistematis di seluruh Indonesia. 

Konflik yang terjadi antara PKI dan AD pada masa ini memang menandai akhir dari perjalanan Partai Komunis di Indonesia, semenjak saat itu gerakan apapun yang berkaitan dengan paham komunis dilarang keberadaannya oleh pemerintah maupun masyarakat yang mengalami trauma mendalam dengan gerakan ideologi ini. Disini penulis berusaha untuk tidak menggiring ataupun lebih dari itu untuk menyampaikan maksud-maksud dari esensi tulisan ini, penulis hanya menjadi fasilitator sebagai penyedia bahan bacaan yang mungkin masih sangat multi interpretasi ini. Pembaca memiliki hak penuh untuk menginterpretasikan bahan-bahan bacaan dalam tulisan ini, sebagaimana kebebasan dalam berpikir, siapapun pasti memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam menyimpulkan setiap perkara apapun dengan dasar dan data yang juga memiliki kredibilitas yang mumpuni. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun