Belasan wisatawan asal Rusia mengirim petisi kepada camat Kuta Selatan. Isinya perihal gangguan suara kokok ayam. Menurut bule-bule ini, suara ayam yang berkokok pada dini hari mengganggu tidur mereka. Oleh karena itu, mereka kemudian menyampaikan keluhannya ke kecamatan pada hari Jumat (3/3) lalu.
Wahai mas & mbak bule sekalian, seberapa mengganggu sih suara kokok ayam? Bukannya malah bagus kalau kalian jadi bangun pagi karena mendengarnya? Mumpung di Indonesia kan, kapan lagi bangun pagi dengan alarm alami?
Peristiwa ini mendapatkan berbagai tanggapan warganet yang mayoritas menertawakan petisi nyeleneh dari para bule. Pasalnya, suara kokok ayam sudah menemani orang Indonesia setiap pagi. Bagi orang Indonesia, kokok ayam di pagi hari justru bermanfaat menjadi tanda untuk bangun dan memulai aktivitas. Di beberapa daerah, suara kokok ayam dapat dilombakan dan pemenangnya mendapat hadiah besar.
Kelakuan bule Rusia ini memang membuat geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, ketika turis lain pergi ke Bali untuk menikmati budaya dan kehidupan ala masyarakat pulau tropis, mereka malah ngide bikin petisi karena terganggu oleh kehidupan warga lokal.
Daya tarik Bali sebagai kawasan wisata ada pada keindahan alam dan budayanya. Turis pada umumnya akan menikmati pantai tropis di Bali karena di kampung halamannya tidak ada. Lalu melihat lebih dekat kehidupan warga bali yang masih melaksanakan tradisinya hingga berbaur dengan warga lokal untuk mensyukuri kehidupan mereka yang tidak pernah berhadapan dengan tingkah konyol bin ajaib dari para turis mancanegara.
Superiority Complex
Ketika pertama kali membaca berita tentang petisi konyol ini, satu hal yang langsung terbesit dalam pikiran saya adalah superiority complex. Sebuah gejala yang biasanya dialami orang luar negeri ketika berkunjung di Indonesia. Mereka memandang sebelah mata lalu mendikte warga lokal agar menuruti cara hidup mereka.
Ayam-ayam yang dipelihara warga mungkin tampak tidak berguna dan malah mengganggu tidur nyenyak mereka. Kemudian dengan penuh percaya diri protes agar ayam yang sudah tinggal di sana sejak masih dalam cangkang telur itu dipindah ke tempat yang jauh dari penginapannya.
Kejadian semacam ini bukan hal baru. Sebelumnya pernah ada bule yang viral karena memprotes aturan tempat ibadah yang tidak mengizinkan perempuan menstruasi untuk memasukinya. Dalam videonya, si bule menganggap tempat ibadah tersebut mendiskriminasi perempuan.
Para turis mancanegara sering lupa bahwa mereka datang ke sini sebagai tamu. Mereka lupa bahwa tuan rumah yang sedang dikunjungi memiliki aturan dan cara hidup yang berbeda. Kemudian alih-alih menaati aturan, para tamu malah ngide mau mengatur tuan rumah.
Gejala sok-sokan ngatur warga lokal seperti ini umum dijumpai dari turis mancanegara. Salah satu penyebabnya, mereka menganggap orang Indonesia masih terbelakang sehingga membutuhkan pencerahan. Oleh karena itu, turis yang datang berlibur dalam hitungan hari hingga minggu lalu merasa berhak menggurui dan menerapkan aturan baru sesuai keinginan mereka.
Rencana Mediasi
Sebagai buntut dari petisi yang dilayangkan oleh bule Rusia kemarin jumat (3/3), camat Kuta Selatan akan mengadakan mediasi yang mempertemukan mereka dengan pemilik ayam. Mediasi rencananya akan diadakan hari ini (6/3) untuk mencari jalan keluar terhadap “masalah” yang sedang dihadapi para bule.
Harapan saya, mediasi yang dilakukan dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi ayam-ayam warga lokal.