Mohon tunggu...
Siti mahmudah
Siti mahmudah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tugas

NIM 1903016098 FITK PAI C1 2019

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pro Kontra Pendidikan Inklusif pada Sekolah Formal

20 Oktober 2019   12:41 Diperbarui: 20 Oktober 2019   12:55 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era sekarang, sekolah formal tidak hanya terdiri dari siswa normal saja, melainkan juga siswa berkebutuhan khusus yang sering disebut pendidikan inklusif. Menurut jurnal dari Mega Silvia Retnaningtya Pramesti Pratna Paramitha Fakultas Psikologi Universitas Airlangga tahun 2015 yang berjudul Keterlibatan Orang Tua Dalam Pendidikan Anak Di TK Anak Ceria, pendidikan inklusif adalah perkembangan dari model pendidikan integrasi yang bertujuan untuk membersamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal (Purwanta, 2002).

Pemerintah mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2011).

Pendidikan inklusif di latar belakangi oleh ketidakpuasan sistem segresi dan pendidikan khusus yang terlebih dahulu mengiringi perjalanan anak berkelainan dan ketunaan dalam memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan tingkat kemampuan dan kebutuhan mereka. Perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia saat ini semakin diterima dan berkembang cukup pesat. Namun, dalam tataran implementasinya masih dihadapkan kepada berbagai problema, isu dan permasalahan yang harus disikapi secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat upaya dan proses menuju pendidikan inklusif itu sendiri, serta selaras dengan filosofi dan konsep-konsep yang mendasarinya.

Menurut buku karya Mohammad Takdir Ilahi tahun 2013 dengan judul Pendidikan Inklusif kosep dan aplikasi halaman 72, landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika. Filosofi ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusia , baik kebhinnekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi (Abdulrahman, 2003).

Filsafat manusia dapat dipahami sebagai pandangan atau filsafah yang mendasari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fondasi pancasila sebagai falsafah negara yang tertuang dalam bingkai kebhinnekaan kita yang terlahir sebagai bangsa yang majemuk dan heterogen dalam segala aspek kehidupan. Jika ada sentiment terhadap keberadaan kita, baik karena keterbatasan fisik maupun mental, itu sama saja dengan menolak kebhinnekaan Indonesia.

Kebhinnekaan memberikan arti bahwa kita tidak boleh terjebak dalam keberagaman yang terlampau menjulang karena semangat persatuan dan sikap saling menghargai merupakan potensi luar biasa yang tertuang dalam falsafah bangsa. Demi membangkitkan kembali perasaan, wawasan dan semangat kebangsaan kita yang mulai lentur, dibutuhkan persatuan dan kesatuan yang kukuh dengan memegang teguh semboyan negara kita. (Kailan, 1996:47)

Sedangkan cakupan konsep tentang pendidikan inklusif yang dikutip dari buku karya Mohammad Takdir Ilahi tahun 2013 dengan judul Pendidikan Inklusif kosep dan aplikasi halaman 117. Antara lain sebagai berikut :

1.Konsep anak dan orang tua

Konsep tentang anak sesungguhnya identic dengan dunia permainan. Anak lahir dari sebuah keluarga dan hidup bersama masyarakat di lingkungan sekitar. Ketika anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mengerti apa itu kebaikan dan keburukan. Perilaku anak ketika besar tergantung pada didikan dan bimbingan orang tua yang merupakan pendidikan pertama dalam menentukan masa depan anak ketika terjun di masyarakat.

 Anak-anak yang orang tuanya mempunyai hubungan baik, pada gilirannya bisa menunjukkan rasa empati. Mereka adalah anak-anak yang peduli karena mendapatkan pemeliharaan yang baik. Kepedulian, pemeliharaan, dan tanggung jawab menjadi norma setiap keluarga dan kualitas ini menjadi bagian dari anak tersebut. Anak-anak yang memperoleh empati, pastinya ingin menunjukkan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Kecenderungannya, ketika ada teman-teman melukai, anak-anak ini bisa memahami dan segera mungkin membantu (sears, 2004:74).

Jika seorang anak termasuk penyandang cacat, atau memiliki kelainan, sebagai orang tua perlu memikirkan cara terbaik untuk menyekolahkannya di sekolah regular. Jangan sampai lupa bahwa hak semua anak untuk memperoleh pendidikan didalam masyarakatnya sendiri adalah tanggung jawab orang tua. Anak dari berbagai kalangan atau yang disebut berkebutuhan khusus tanpa terkecuali juga memiliki hak yang sama dengan anak normal pada umumnya.
 
2.Konsep sistem pendidikan dan sekolah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun