aku terburu waktu
cari-cari binar matamu
yang mungkin lesap
terbawa arus banal
aspal perjalanan.
Dalam diam,
kau sering menunduk.
Terbenam tatap
di marmer hitam
yang jadi pijakan.
Kukira harus bangun
jembatan penyambung
antar desah-desah nafas
supaya terhubung kata dan jiwa.
Berhenti menggerayangi hening.
Malam masih amat muda
namun kau, kau tak perduli.
Seraya kibaskan jemari,
berdiri dan beranjak.
Jembatan tak selesai.
Aku, mengangguk.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!