Oleh karenanya, pilihan terbaik yang bisa kita lakukan adalah menjaga keseimbangan antara cita-cita dan realita. Artinya, cita-cita harus diwujudkan, tanpa harus kita lari dari realita.
Misalnya, jika cita-cita kita ingin naik haji, tetapi realitanya kita masih jauh dari kemampuan, maka menjaga keseimbangannya adalah dengan terus memupuk harapan sambil terus menabung, sedikit demi sedikit mengumpulkan biaya untuk berhaji.
Cita-cita dalam Kehidupan
Lantas, apa sejatinya cita-cita kita dalam kehidupan dunia?
Kebanyakan dari kita menginginkan kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan dunia. Pangkal kebahagiaan adalah jiwa yang diliputi dengan ketentraman dan kedamaian.
Hal ini mungkin bisa menjadi sebuah cita-cita mulia, yang mungkin bisa kita pandang sebagai sebuah idealisme yang menjadi utopia dalam kehidupan di masyarakat.
Ya, karena dalam realitanya, begitu banyak distorsi yang terjadi di dunia yang membuat kita kesulitan mewujudkan cita-cita kita tersebut.
Oleh karenanya, satu-satunya jalan untuk menyikapinya adalah dengan menjaga keseimbangan antara cita-cita dan realita.
Sebuah Refleksi
Menurut ulama dan intelektual Muhammad Fethullah Gulen Hojaefendi, "Keseimbangan antara cita-cita dan realita bisa terjadi jika ada faktor determinisme bersyarat."
Determinisme bersyarat yang dimaksud Hojaefendi artinya meski terjadi distorsi dalam kehidupan yang tak bisa terelakkan karena adanya hukum sebab dan akibat, tetapi manusia harus bisa menggunakan kehendaknya, melakukan determinasi untuk melawan itu semua.
Lebih jauh Hojaefendi menyampaikan bahwa determinasi itu seharusnya dilandasi dengan rasa cinta kepada keimanan yang bisa menumbuhkan harapan, cinta terhadap ilmu pengetahuan, dan cinta terhadap tanggung jawab untuk mengemban tugas dan kewajiban dalam kehidupan.
Alhasil, untuk mewujudkan cita-cita kita harus terus berusaha meski berada dalam realita masyarakat yang hancur lebur, penuh dengan distorsi dalam kehidupan.