Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akreditasi Menguak Jati Diri Sekolah

27 November 2020   07:06 Diperbarui: 27 November 2020   07:29 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen akreditasi (Bernas.id)

Mana yang lebih baik? Sulit untuk menjawabnya. Bagi warga sekolah, menghadapi asesor tipe kedua mungkin akan lebih mudah. Makanya, jika mendapat tipe asesor yang kalem, warga sekolah lebih senang. Meskipun pada realitasnya, asesor yang kalem belum tentu bisa memiliki penilaian yang baik terhadap kinerja sekolah. Justru sebaliknya, terkadang asesor yang tipe pertama lah yang memiliki penilaian baik terhadap kinerja sekolah. Intinya tipe asesor tidak menentukan.

Yang menentukan adalah bagaimana jalannya wawancara. Proses wawancara dalam visitasi akreditasi memang sangat sakral. Proses wawancara dari asesor inilah yang terkadang membuat akreditasi terasa menakutkan bagi warga sekolah. Takut tidak bisa menjawab, menjelaskan, atau mempertanggungjawabkan semua dokumen yang telah disiapkan. 

Para asesor ini nantinya yang akan menentukan nilai akreditasi sekolah, meskipun hasil visitasi sekolah melalui telaah dan wawancara yang mereka lakukan tidak menjadi nilai akhir yang akan diberikan. Setelah visitasi, para asesor masih harus menghadapi sidang pleno untuk memberikan dan menentukan nilai akhir akreditasi suatu sekolah.

Menguak Settingan Akreditasi

Sejatinya, akreditasi adalah penentuan jati diri bagi sekolah. Sekolah akan diuji apakah benar-benar melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan baik, efektif, dan bisa menelurkan hasil yang maksimal.

Namun sayangnya, ada juga sekolah-sekolah yang terpaksa melakukan "settingan program" untuk mengejar nilai yang baik pada akreditasi. 

Program yang seharusnya tidak ada, bisa diadakan. Program yang belum berjalan, dilaporkan sudah berjalan dengan baik. 

Jika hal ini yang terjadi, mutu dan kualitas sekolah tidak benar-benar teruji. Maka akan muncul sekolah-sekolah terakreditasi A, tetapi memiliki kinerja B, atau malah C. 

Siapa yang rugi? Semua warga sekolah pastinya. Sebabnya adalah warga sekolah akan terlena dengan nilai akreditasi semu yang sekolah dapatkan.

Ada juga sekolah yang melakukan "settingan dokumen". Biasanya, ini terjadi pada sekolah-sekolah yang tidak memiliki tata kelola administrasi yang baik. 

Sebenarnya, sekolah melakukan program-program yang ada di butir-butir akreditasi. Namun, sekolah terkendala dengan pembuktian dengan dokumentasinya. Jadilah dokumen-dokumen yang diperlukan dibuat dadakan dan dalam waktu yang singkat.

Setidaknya, hal ini masih lebih baik dibandingkan dengan mengada-adakan program yang sebenarnya tidak ada.

Sebuah Refleksi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun