Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pembinaan Lisanul Hal pada Siswa dan Masyarakat di Masa Pandemi

20 Juli 2020   15:03 Diperbarui: 20 Juli 2020   14:54 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Rabu (10/6/2020). (SETPRES/AGUS SUPARTO) via nasional.kompas.com

Lisanul Hal di Masa Pandemi

Dalam konteks pandemi, lisanul hal menjadi sebuah keniscayaan. Apa maksudnya? Setiap hari juru bicara gugus tugas percepatan penanganan  covid-19 memberikan konferensi pers terkait laporan perkembangan kasus covid-19 di Indonesia. Jaga jarak, cuci tangan dan pakai masker menjadi jargon yang diulang-ulang setiap hari.

Seharusnya jargon-jargon tersebut jangan hanya dijadikan ucapan lisan belaka, tetapi harus ditransformasikan menjadi lisanul hal. 

Ini yang sulit. Lihat saja di sekitar kita. Masih banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya protokol kesehatan. Bisa dibilang jargon-jargon tersebut belum mengena di hati sebagian masyarakat.

Masih banyak yang mematuhi protokol kesehatan karena adanya aturan bukan kesadaran. 

Yang terjadi akhirnya, jika bisa sembunyi-sembunyi, sah-sah saja protokol kesehatan ditabrak. Inilah yang membuat beberapa kepala daerah merencanakan adanya sanksi hukum bagi yang tidak mentaati protokol kesehatan. Hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan.

Lisan bisa berkata, tetapi hal belum tentu melakukannya. Begitulah kira-kira. Perlu proses memang untuk menginternalisasi perkataan lisan sehingga menjadi lisanul hal. Diatas disebutkan, perlu ada pikir setelah zikir.

Masyarakat harus diajak untuk berpikir, bahkan bukan hanya berpikir biasa, harus berpikir kritis. Di era post-truth seperti sekarang ini, informasi begitu deras mengalir. Berita hoax dan fakta pun sulit dibedakan. Jika tidak berpikir kritis, masyarakat akan mudah untuk memiliki persepsi yang salah.

Sebagai contoh, ada berita yang mengatakan bahwa virus covid-19 tidak berbahaya dan virus akan sembuh dengan sendirinya tanpa harus diobati. Berita ini bisa jadi sangat berbahaya jika dipahami tanpa pemikiran kritis. Masyarakat akan terjebak pada persepsinya sendiri.

Akibatnya masyarakat berpikir bahwa protokol kesehatan adalah sesuatu hal yang dibesar-besarkan dan terlalu berlebihan. Dan ini realitas yang terjadi di masyarakat. Jika sudah seperti ini, menjadikan jargon-jargon pencegahan covid-19 menjadi lisanul hal akan menjadi sebuah angan-angan belaka.

Alhasil, merubah perkataan atau lisan menjadi lisanul hal adalah sesuatu yang penting dilakukan. Sulit memang tapi perlu diusahakan. Dunia pendidikan harus bisa menjadi garda terdepan untuk merealisasikannya. Dengan bimbingan, arahan dan binaan yang benar, prosesnya akan berjalan lancar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun