Di sisi lain, pada waktu itu, pencarian tempat untuk karantina pun menjadi sebuah problematika tersendiri. Beberapa nama daerah santer terdengar di media massa. Warga yang nama daerahnya disebut-sebut, mulai resah, gelisah dan ketakutan.Â
Mereka memprotes dan tidak menerima daerahnya dijadikan tempat karantina. Demonstrasi dan audiensi dengan anggota DPRD pun dilakukan, intinya mereka tidak mau tertular, mereka tidak mau daerahnya terjangkit, mengapa daerah kami yang dipilih, mengapa bukan daerah lain? Tidak adakah solusi lain?
Dengan segala problematikanya, evakuasi pun dilakukan. Dari yang rencananya 245 warga negara Indonesia yang akan dievakuasi, hanya 238 warga yang terevakuasi. Sisanya tinggal di kota Wuhan dengan berbagai sebab dan alasan dan juga resiko yang akan ditanggungnya.
Bagi saya, banyak nilai kemanusiaan yang bisa diambil hikmahnya dari sekelumit cerita ini. Ya, ini semua tentang manusia. Yang dievakuasi, yang mengevakuasi dan yang memprotes karena karantina dilakukan di daerah mereka adalah semuanya insan manusia.
Mereka juga punya pemikiran, mereka juga punya hak yang perlu kita perhatikan. Pemerintah dituntut untuk mempertimbangkan masalah ini dengan penuh kehati-hatian. Diperlukan pandangan dari berbagai sisi kemanusiaan sebelum benar-benar diambil keputusan.
Humanisme amatlah sangat penting dipahami. Humanisme bisa diartikan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan menganggap manusia adalah objek terpenting dari segala sesuatu. Humanisme adalah doktrin cinta dan kemanusiaan.
Rasa cinta terhadap sesama akan membawa sebuah nilai-nilai kemanusiaan. Rasa cinta yang benar-benar keluar dari lubuk hati yang terdalam. Ulama asal Turki, Muhammad Fethullah Gulen dalam bukunya Cinta dan Toleransi mengatakan bahwa, "Hubungan terkuat antar individu-individu yang membentuk keluarga, masyarakat dan bangsa adalah cinta. Cinta yang universal terbentang di seluruh alam semesta dalam wujud setiap partikel membantu dan mendukung partikel lainnya".
Dunia kini membutuhkan sebuah tangan kemanusiaan. Sebuah tangan yang akan menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan. Tangan yang disenjatai dengan cinta, kasih sayang dan rasa persaudaraan. Sebuah tangan yang terbuka lebar siap untuk memeluk dan merangkul siapapun yang masih memiliki identitas kemanusiaan.
Mungkin pandemi ini mengingatkan kembali masyarakat akan cahaya cinta kemanusiaan yang sudah agak sedikit meredup saat ini. Seperti kata temanku, donor darah tidak mengenal covid-19, karena ada nilai kemanusiaan di sana. Apapun yang terjadi, nilai-nilai kemanusiaan harus tetap diutamakan, harus tetap dijunjung tinggi dan harus tetap bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan sesuatu.
Referensi:
Gulen, Muhammad Fethullah, "Cinta dan Toleransi", BE Publishing, November 2011, hlm. 7
herkul.org