Mohon tunggu...
Nisa Istiqomah
Nisa Istiqomah Mohon Tunggu... Guru -

teach, write, read, city trip

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Reuni Riana

19 Oktober 2017   09:29 Diperbarui: 19 Oktober 2017   09:33 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku hanya tersenyum tipis. Ceritanya barusan membuatku berpikir ulang dengan profesiku. Profesi yang telah bermetamorfosa menjadi kesibukan hampa. Berhadapan dengan deretan buku-buku pencatatan uang yang membuatku bosan. Ketika duniaku terbatas ruangan 5x5 meter dan kosakata-ku yang berkutat pada debit, kredit, saldo. Rangkaian peringkat ataupun penghargaan itu, yang kuraih dengan keringat dan air mata,  akhirnya membawaku pada kehidupan ini.

Rasanya semakin lama aku bersamanya, aku akan semakin muak dengan hidup dan apa yang kumiliki saat ini. Rangkaian kalimat yang terucap dari bibirnya bagaikan golok tajam yang terhunus tepat di ulu hatiku. Aku tak bisa mengelak. Sebelum dinding ketegaranku runtuh, aku putuskan untuk menyudahi pembicaraan kami. Dengan dalih mencari sahabat-sahabatku, terbebaslah aku dari kepungan neraka ini.

Kalau saja mereka tidak memaksaku datang, tentu aku tidak akan datang. Lagipula siapa yang mau datang ke acara pembantaian diri sendiri ini? Buang-buang waktu saja. Aku sedang mengedarkan pandangan kesana kemari mencari sahabat-sahabatku ketika suara itu muncul.

"Riana"

Perempuan bergaun merah satin itu memanggilku kembali. Terpaksa ku tolehkan mukaku. Kali ini dia tidak sendiri. Seorang pria dengan gaya pakaian casual berdiri disampingnya. Sepertinya dia dua atau tiga tahun lebih tua dari ku.

"Riana, kenalin, ini tunanganku," katanya.

Pria yang ada didepanku ini, tunangannya si perempuan bergaun merah satin ini, adalah seorang wartawan senior National Geographic. Seorang project manager UNDP dan wartawan senior. Pasangan yang menarik. Kadang dunia memang tidak adil. Selepas perkenalan singkat itu, mereka memberikan padaku sebuah undangan pernikahan.

"Jangan lupa datang ya, Riana."

Aku membuka kertas undangan yang tampak mewah itu. Tidak heran jika undangannya saja mewah. Mereka akan menikah di sebuah gedung bersejarah kota ini yang harga sewanya setara sebuah mobil keluaran baru. Membayangkan tempatnya saja aku sudah memikirkan pestanya yang meriah nan gemerlap. Beserta properti-properti mengkilat dari logam-logam mulia. Otak akuntan-ku seketika saja teraktivasi tapi tetap tidak sanggup kalau harus memperkirakan biaya pernikahannya.

Sebaliknya aku malah membayangkan hal lain. Membayangkan di suatu malam kekasihku datang ke rumah, membawa sebuket bunga dan cincin, dan memintaku menjadi istrinya. Ah, andai saja bisa begitu. Sudah lima tahun sejak dia memintaku jadi kekasihnya dan sampai kini belum pernah dia terlihat berniat untuk melamarku. Tidak pernah kami membicarakan tentang pernikahan ataupun keluarga. Dulu kupikir hal ini masih lumrah. Memang kami berdua sama-sama ingin mengejar karir. Tetapi semakin ke sini, ketika perlahan undangan-undangan pernikahan menghampiri, dan satu persatu kawan-kawanku menikah, aku mulai mempertanyakan kelanjutan hubungan kami. Apakah sampai ke KUA atau kandas di ujung telepon.

Aku hanya terdiam melihat mereka berlalu pergi. Dengan tangan yang saling menggenggam seperti berkata bahwa mereka sepasang kekasih. Aku yakin mulut sang perempuan bergaun merah satin itu tak henti-hentinya mengabarkan hari pernikahannya kepada siapapun yang ia temui. Sekilas kupikir dia murahan dan norak. Tapi kupikir rasanya aku yang lebih murahan karena sampai saat ini belum ada yang meminang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun