Mohon tunggu...
Mahesa AlifAlMuntadzor
Mahesa AlifAlMuntadzor Mohon Tunggu... Lainnya - ...

...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rantai Hati

24 Februari 2021   07:40 Diperbarui: 25 Februari 2021   13:44 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

pria itu pun mulai menutup pintu mobil di sebelah kirinya. "Mereka sudah menunggu bapak di dalam..". Ujarnya dengan heran. "Ada apa dengan bapak sekarang?". Lanjutnya dengan jelas. 

"Apa saja yang sudah kau lakukan di sana, Dani? Apa kau ingin mulai bekerja lagi? Dan ingin mendapatkan uang tambahan lagi dengan bekerja di tempat restoran itu?". Tatapan Sandi mulai semakin getir. 

Seketika itu pun Dani mulai menghela nafasnya dan menenangkan dirinya. "Tentu saja tidak. Bukankah saya sudah bilang sebelumnya, bahwa saya hanya ingin untuk kembali bekerja lagi sebagai psikolog pribadi keluarga bapak, itu saja. Dan itu pun jika bapak mengizinkannya". Jawabnya dengan tenang. 

Sandi mulai menyandarkan kembali kepalanya. "Tidak. Kali ini hanya diriku sendiri, sudah tidak ada lagi keluarga bagiku". Sandi mulai mengingat-ingat kembali sesuatu hal yang dapat membuatnya kembali merasa depresi.

Dani mulai menyentuh pundak Sandi di sampingnya. "Walaupun keluarga itu sendiri sudah mempercayai bapak? Apakah bapak benar-benar yakin akan tetap masih mengatakan hal seperti itu? Baru saja saya sudah meyakinkan mereka di dalam sana untuk mempercayai bapak dan apakah bapak sekarang sudah tidak mempercayai saya lagi?". Ucapnya yang terlihat sedang berusaha untuk bersikap seperti psikolog pribadinya. 

"Kau payah Dani, dengan berkata seperti itu kau yakin akan membuatku bisa menjadi tenang? Mempercayai mereka? Apa kau serius aku harus mempercayai mereka setelah dengan lantangnya mereka mengatakan padaku bahwa akulah yang sudah membunuh keluargaku sendiri?". Sandi mulai menatap ke arah Dani di sampingnya dengan tatapan tajam dan juga getir. "Hanya karena akulah yang berada di samping ayah untuk terakhir kalinya? Dan mengatakan bahwa karena aku tidak pantas untuk mendapatkan harta warisan itu? Ah… ya benar….tentu saja seperti itu". Wajah Sandi mulai semakin mengerut sembari menatap ke arah bawah dengan tatapan yang terlihat semakin suram. "Aku hanyalah seorang anak yang menyediakan hasil usaha sendiri untuk membantu di saat kebangkrutan orangtuanya, tentu saja aku tidak pantas di bandingkan Kakak yang sudah sangat berusaha untuk mulai bekerja kembali dari penyesalannya sebagai pengangguran. Ya, tentu saja aku tidak pantas untuk mendapatkannya...". Lanjut Sandi. 

Dengan terus mendengarkannya dengan tenang, Dani pun mulai mengelus pundak Sandi untuk berusaha menenangkannya, karena pada saat itu juga Sandi mulai terlihat seperti sedang merasa kesal.

"Sepertinya aku memang harus terus lebih berusaha lagi agar ayah dapat mengakui--Ah… tidak...". Sandi mulai tersenyum dengan getir. "Tentu saja pada akhirnya ayah akan lebih memilih anak tertuanya itu di bandingkan diriku yang sudah berusaha untuk membantunya. Ya, membantunya dengan merusak tradisi keluarga sendiri karena telah mengubah tempat penginapan yang sudah tidak lagi untuk di minati itu dengan membangun sebuah sekolah yang pada akhirnya mulai sukses juga di buatnya". Sandi pun mulai menatap kembali arah wajah Dani. "Katakan padaku, apakah yang aku lakukan itu memang benar-benar salah? Meskipun pada akhirnya mereka pun setuju untuk membangun sekolah itu? Dan apakah yang ayah lakukan itu sudah benar? Membuatku menjadi kepala sekolah di sana yang sedangkan karena fasilitas sekolah itu masih ada yang terbuat dari sisa bangunan sebelumnya membuat Kakak-lah yang lebih pantas untuk menjadi pemilik sekolah itu, karena dia sudah menjadi ahli waris yang pantas untuk mendapatkannya? Oleh keputusan ayah yang lebih menyetujui pendapat ibu dibandingkan dirinya sendiri? Dan apakah yang ibu lakukan itu sudah benar? Dan juga di saat detik-detik terakhir mereka tiba. Ya, saat mereka sedang sekarat, pada akhirnya ayah lebih memutuskan untuk memberikan harta warisan itu kepadaku. Ya, di saat detik-detik terakhirnya, tepat di saat setelah itu juga mereka di nyatakan telah mengalami keracunan sesuatu di dalam tubuhnya dan di saat aku pun dinyatakan sebagai pelakunya dengan alasan aku telah memaksa mereka untuk memberikan harta warisan itu kepadaku…..  ". Sandi mulai mengeluarkan sedikit air matanya, tatapannya terlihat menjadi sedih, lesu dan yang masih getirnya juga. "Ya…. Itulah yang mereka katakan padaku dan juga dengan bukti kuat yang entahlah darimana tiba-tiba datangnya itu setelah sudah beberapa tahun lamanya, tiga--Tidak, empat tahun setelah itu. Apa-apaan itu?. Apa maksudnya itu?. Katakan padaku, Dani. Apakah itu sebuah takdir bagiku? Atau apakah itu sebuah karma bagiku karena apa yang sudah sebelumnya pernah aku perbuat selama hidupku? Keangkuhan, tidak menghargai seseorang, hubungan dengan istriku sendiri yang tidak selalu akur, perselingkuhan ku, kebencian ku, tidak menghargai tradi--Ah…. Tidak, tidak. Jangan katakan padaku Dani, kalau sebenarnya itu hanyalah merupakan sebuah kutukan bagiku karena telah mengubah dan merusak budaya dan juga tradisi keluarga sendiri selama bertahun-tahun lamanya--A-Aku...… mengapa aku--Dani, cepatlah katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi saat ini denganku….mengapa kau hanya diam saja.….? ". Setelah sudah cukup lama ia mengeluarkan semua perasaannya itu, Sandi pun mulai terdiam dan berharap mendapatkan sesuatu jawaban yang dapat membuatnya menjadi lebih tenang lagi. 

Sedangkan Dani yang sudah cukup lama juga mendengarkan semuanya itu, dia pun mulai menurunkan tangannya dari atas pundak Sandi, menghela nafasnya dan lalu mulai mengatakan sesuatu. "Bapak sudah melakukannya dengan baik, dengan mengatakan semua perasaan itu, bapak sudah berusaha untuk mendapatkan sebuah harapan agar bisa menjadi lebih baik lagi". Dani mulai sedikit memiringkan kepalanya dan menatap ke arah wajah Sandi di sampingnya yang terlihat semakin getir tatapannya. 

"Apa maksudmu itu Dani, tentu saja itu tidak akan--

"Itu sangat membantu, Pak Sandi. Mengeluarkan semua perasaan itu sehingga tidak lagi seperti sebelumnya yang terus di pendam yang akan membuat perasaan itu akan menyebar di dalam hati, yang sehingga akan berdampak kepada mental bapak". Di saat itu Sandi mulai menundukkan kepalanya, dan Dani pun mulai menyentuh kepala Sandi dan mengelusnya. "Apakah bapak masih ingat? Saya dulu pernah mengatakan, bahwa perasaan itu seperti air yang akan terus menerus mengalir dan memasuki ke dalam hati. Hati yang merupakan sebuah tempat penampungan dengan kapasitas yang terbatas. Dan kita, manusia harus menjaga keseimbangan air itu agar tidak terus menerus mengalir dan bertambah banyak di dalamnya. Dan apabila di biarkan, pada akhirnya air itu--Perasaan itu akan merusak hati, sebagai tempat penampungnya karena sudah tidak bisa lagi untuk menahannya, karena kapasitasnya. Dan tentu itu akan berdampak ke dalam tubuh ataupun fisik, lalu mental dan pada akhirnya pikiran". Dani mulai sedikit menatapnya dengan dekat. "Dan beruntungnya, Pak Sandi pun tanpa di sadari juga sudah mulai mengetahui solusi agar itu tidak terjadi, bukan? Dan itu merupakan sesuatu hal yang baik. Dengan mengeluarkan semua air itu keluar dan membuat hati tetap bertahan. Dan setelah itu mulailah menenangkan diri, mencari sebuah kenyamanan di dalam diri bapak". Dani mulai menyentuh dada Sandi sembari mengelus dengan perlahan. "Dan cobalah untuk mulai menarik nafas dengan perlahan dan nanti itu akan membuat bapak menjadi lebih tenang".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun