Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dejavu, Inikah Puisi Peringatan Wiji Thukul untuk Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf?

27 Oktober 2020   10:31 Diperbarui: 27 Oktober 2020   10:45 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan!.

(Penggalan Puisi Berjudul Peringatan, Wiji Thukul, 1986)


Jika berkendara dari arah Ciledug Raya menuju jalan Kebayoran Lama maka kita akan melewati jalan layang khusus bus transjakarta koridor 13. Tiang-tiang penyangganya yang berdiri kokoh sesekali menyajikan lukisan mural dari para seniman yang berisi kritik sosial.

Pada salah satu tiang menjelang perempatan Seskoal terlihat satu mural yang cukup mencolok mata. Kurang jelas siapa nama seniman pelukisnya. Sebenarnya sudah sangat lama mural tersebut ada disana namun baru kali ini sempat memperhatikannya. Tergambar seorang pria dengan latar belakang warna kuning dan jingga dengan bait-bait tulisan di atasnya. Dan di bawahnya tertulis nama "Wiji".

Ya. Betul. Itu adalah bait-bait puisi dari penyair dan aktivis hak asasi manusia Wiji Thukul. Sastrawan yang memiliki nama asli Widji Widodo ini adalah salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan pada rezim Orde Baru. Namun sejak tahun 1998 sampai saat ini tidak ada yang tahu keberadaannya. Dia dinyatakan hilang  dan berdasarkan kabar yang beredar diduga diculik oleh pihak militer.

Membaca bait puisi tersebut seperti merasakan dejavu bak sebuah ramalan dari masa lalu yang terulang kembali di masa ini. Coba kita simak salah satu syair puisi yang ditulis sejak tahun 1986 berjudul 'Peringatan' yang dijadikan inspirasi pembuatan mural di sebuah tiang jalanan. Inikah Puisi peringatan Wiji Thukul untuk setahun Jokowi-Ma'ruf?

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam


Menghangatnya isu politik dengan adanya pengesahan RUU Cipta Kerja yang banyak ditentang oleh berbagai kalangan, seolah membawa kita kembali kepada masa-masa kelam demokrasi di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Adanya keluhan rakyat banyak yang disuarakan oleh buruh dan mahasiswa hingga reaksi pemerintah yang cenderung defensif dan pasang badan seolah memperkuat anggapan tersebut.

Dalam bahasa puisi Thukul, situasi ini bisa dibilang sudah 'gawat' karena menandakan 'kebenaran pasti terancam'. Kata-kata tersebut seharusnya menjadi 'warning' untuk pihak pemerintah dan wakil rakyat untuk sedikit peka dan tidak menganggap remeh gejolak yang terjadi di masyarakat.

Beberapa waktu lalu dalam tayangan televisi Mata Najwa episode Cipta Kerja: Mana Fakta Mana Dusta, hadir narasumber pihak pemerintah yang diwakili Menkominfo Jhonny G.Plate. Alih-alih mengklarifikasi dan berdiskusi agar dapat menenangkan masyarakat. Di sini justru jadi terlihat jelas kecenderungan pihak pemerintah yang tak ingin dibantah dengan menganggap penilaiannya adalah paling benar. Bisa jadi ini hanyalah merupakan kesalahan bahasa komunikasi yang seharusnya tidak boleh terjadi pada level setaraf Menkominfo.

Saat diskusi seputar fakta dan hoaks yang beredar terkait Cipta Kerja Menkominfo berujar seperti ini.

"Karena memang itu hoaks. Kalau pemerintah sudah bilang versi pemerintah itu hoaks, ya dia hoaks. Kenapa membantah lagi?"


Jika ingin digali kembali, awal permasalahan ini berkembang dikarenakan muatan isi draf RUU yang tidak transparan dari awalnya sehingga memicu adanya disinformasi dan hoaks. Jika kita mau menghitung ulang dari awal pengesahan RUU nya saja sampai akhirnya final di tangan pemerintah ada beberapa versi jumlah halaman mulai dari 905 halaman, 1028 halaman, 1035 halaman dan 812 halaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun