Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mewaspadai Bahaya Laten Fanatisme di Pemilu 2019, Bercermin dari Rusuh Suporter Sepak Bola

28 September 2018   06:02 Diperbarui: 28 September 2018   09:15 1861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Insiden rusuhnya suporter pada laga sepak bola nasional antara Persib dan Persija di Gelora Bandung Lautan Api hari Minggu, 23 September lalu telah kembali mencoreng dunia olahraga Indonesia. Di tengah euforia atas prestasi atlet dan suksesnya pelaksanaan event olah raga internasional Asian Games, tentu ini sangat disesalkan.

Kematian Jakmania (suporter Persija) setelah dikeroyok oleh puluhan Bobotoh (suporter Persib Bandung) seakan membawa pertanyaan besar seberapa jauh efek fanatisme buta dalam mempengaruhi jiwa sehingga dapat bertindak sedemikian brutal.

Dan pertanyaan berikutnya bagaimana dengan efek Fanatisme dalam Pemilu 2019 yang sekarang sudah mulai terlihat mengkhawatirkan antara pendukung Jokowi dan Prabowo.

Jika pada suporter sepakbola setiap klub memberikan julukan masing-masing untuk para pendukungnya. Tetapi untuk pendukung calon-calon presiden kita justru kebalikannya. Mereka memberi julukan untuk pendukung rivalnya. 

Pendukung Jokowi memberi julukan untuk rivalnya "Kampret" sedangkan Pendukung Prabowo memberi sebutan untuk rivalnya "Cebong". Masing-masing kubu memiliki alasan dan landasan psikologis untuk julukan tersebut. Yang lebih mengarah pada olok-olok ataupun cacian kepada lawannya.

Fanatisme sendiri jika melihat pengertiannya menurut wikipedia adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Seorang yang fanatik cenderung tidak mau menerima opini, ide maupun kelompok yang dianggapnya bertentangan.

Dan yang lebih berbahaya lagi fanatisme buta ini seperti teori yang diungkapkan oleh Sigmund Freud, berakar dari tabiat agressi (merujuk pada perilaku agresif cenderung merusak dan destruktif) yang memiliki insting Eros ingin tetap hidup dan insting Tanatos atau siap untuk mati.

Fanatisme membuat eksistensi suatu kelompok menjadi sangat dominan dan menganggap orang atau kelompok yang berbeda mengancam keberadaan mereka. Insting Eros inilah yang membuat mereka merasa harus menghabisi lawan-lawannya jika tetap ingin hidup.

Di sisi lain insting Tanatos seperti yang terlihat pada kasus suporter persija membuat mereka berani mati demi kelompoknya dengan datang ke Bandung hanya untuk menonton pertandingan klub favoritnya. Padahal resikonya sangat besar berada di kerumunan massa supporter lawan seperti itu.

Jika kita melihat pertarungan antar pendukung Capres dan Cawapres saat ini rasanya tidak jauh berbeda. Perang di medsos rasanya sudah sangat mengkhawatirkan, dimana segala cara dihalalkan sekalipun dengan cara menyebarkan hoax baik berupa tulisan, gambar maupun berita.

Begitu sensitifnya mereka, setiap kali ada saja komentar yang lebih cenderung menyoroti salah satu calon lawan tentang sisi negatifnya. Dan akan dibalas hal yang sama dari kubu satunya yang membuat situasi semakin panas. Pemilu yang akan berlangsung masih tahun depan rasanya jadi seperti telah berlangsung saat ini.

Sama seperti dunia sepak bola yang sepertinya sengaja membentuk fanatisme dari supporternya demi kepentingan pembentukan citra baik dan kepentingan bisnis dan politis klub. Fanatisme juga dibentuk oleh partai-partai pendukung Capres Cawapres sebagai mesin perang demi mencapai misi-misi politiknya. Tidak perduli ini akan mengakibatkan bentrokan di antara anak bangsa.

Dengan adanya tensi politik yang kian meninggi menjelang pemilu, fanatisme menjadi bahaya laten yang harus diwaspadai oleh semua pihak.

Memasuki masa kampanye nanti dimana massa masing-masing pendukung yang semula hanya bertemu dan bentrok melalui medsos bisa jadi karena akumulasi kebencian yang terbentuk sekian lama menjadi mudah terprovokasi menjadi bentrokan fisik.

Jika ini terjadi maka bukan tidak mungkin fanatisme ini memicu kerusuhan yang meluas yang membahayakan keutuhan kita sebagai bangsa. Korban-korban seperti Haringga bisa jadi berjatuhan lebih banyak lagi demi memenuhi ambisi politik untuk kepentingan jangka pendek semata.

Politisi-politisi kita harus menyadari bahaya ini dan menghentikan segala propaganda yang memanfaatkan fanatisme pendukungnya untuk menyerang atau menganggap musuh setiap pandangan dan sikap politik yang berbeda.

Mereka harus mulai berfikir apa yang terbaik bagi kemajuan bangsa dan bahwa semuanya memiliki tujuan yang sama walaupun mungkin dengan cara yang berbeda.

Mungkin ada baiknya kita kembali menengok dua falsafah Jawa yang terkenal yaitu Nglurug Tanpa Bala dan Menang Tanpa Ngasorake.

Nglurug Tanpa Bala
Dapat diartikan bahwa kemenangan yang diraih janganlah dengan menyerang lawan politik dengan membentuk dan memanfaatkan pasukan pendukung fanatik. Karena massa yang fanatik dalam hal ini akan cenderung destruktif dan berbenturan dengan massa lain yang berlawanan.

Hal itu menjadi kontraproduktif dengan cita-cita pendiri bangsa yang memperjuangkan persatuan dan kesatuan dengan tetesan darah. Dan itu sama saja seperti kita memanfaatkan fanatisme untuk menghancurkan bangsa sendiri dengan menggunakan politik para penjajah devide et impera.

Menang Tanpa Ngasorake
Dapat diartikan kemenangan yang diperoleh janganlah dengan merendahkan atau menjatuhkan orang lain. Kenyataan yang ada saat ini adalah bertolak belakang dengan prinsip ini.

Tayangan yang ada di televisi dan medsos dimana debat antar pendukung yang akan berlaga di pilpres 2019 lebih kepada pencitraan positif para kandidat dan sebaliknya menonjolkan citra negatif lawannya. Bahkan tidak jarang sampai rela membayar pasukan cyber hanya untuk menyerang dengan hoax, mencaci dan ujaran-ujaran kebencian kepada kandidat lawan.

Menarik disimak pendapat Rizal Ramli bahwa memang Pilpres 2019 seharusnya tidaklah fokus hanya pada pencitraan tapi lebih jauh lagi seharusnya menjadi ajang adu ide, gagasan serta visi dan misi ke depan. Sehingga masyarakat bisa lebih fair menilai, lebih obyektif dan tidak mudah terpengaruh oleh provokasi yang lebih mengarah pada pencitraan satu figur dengan merusak citra figur lainnya.

Dahsyatnya pengaruh fanatisme pada masa-masa kampanye nanti juga harus dibarengi dengan kesigapan dari para aparat keamanan dalam bertindak. Fokusnya tetap harus pada keamanan dan ketertiban yang berkeadilan.

Oleh karena itu semuanya harus dapat perlindungan yang sama pada saat kampanye apapun situasi dan kondisi yang mungkin ditimbulkan oleh massa pendukung lawan. Segala intimidasi dan provokasi haruslah dihindari dan ditindak baik dilakukan oleh kelompok yang berkampanye ataupun yang sedang tidak berkampanye.

Alangkah lebih baik lagi jika pengaturan kampanye dilakukan layaknya pengaturan kendaraan ganjil genap. Dimana pada tanggal ganjil hanya boleh dilakukan kampanye oleh capres cawapres bernomer urut ganjil dan demikian juga sebaliknya untuk semua wilayah. Rasanya ini akan sedikit banyak mengurangi benturan yang mungkin terjadi.

Apalagi jika ganjil genap ini bisa diberlakukan untuk semua jenis kampanye, termasuk kampanye via medsos baik yang dilakukan oleh tim sukses maupun masyarakat umum yang menjadi pendukung salah satu calon. Tentunya dengan melakukan pelarangan untuk pendukung yang akan melakukan kampanye negatif kepada lawan politiknya.

Semua mendapatkan kesempatan berbicara di hari yang berbeda fokus hanya pada calonnya saja dan tidak boleh berbicara hal negatif tentang calon yang lain.

Saya sih berandai-andai jika di setiap medsos seperti kompasiana misalnya memberlakukan ganjil genap ini dengan menghilangkan fanatisme dan berprasangka baik bahwa semua calon memiliki misi yang sama untuk memajukan bangsa.

Mungkin kompasianer bisa bertukar peran dimana pendukung nomer urut 1 dapat berkomentar hal positif tentang calon nomer urut 2 dengan segala saran-saran untuk perbaikan kedepan dan begitu pula sebaliknya.  Karena setiap orang pasti memiliki sisi positif untuk ditonjolkan. Sehingga masyarakat umum bisa menilai dengan lebih jernih.

Bagaimanapun juga semoga pemilu 2019 dapat berlangsung aman dan damai dan masyarakat tidak terjebak dengan fanatisme buta yang sangat mungkin dapat mengorbankan keutuhan bangsa ini. Apapun pilihannya fokusnya harus tetap untuk kemajuan dan keutuhan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun