Mohon tunggu...
Mahbub Risad
Mahbub Risad Mohon Tunggu... profesional -

suka dengan cara berpikir filosofis dan hal-hal yang intuitif.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tasawuf

9 Juni 2012   05:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:12 11696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

A.PENGERTIAN TASAWUF

Membuat suatu rumusan tentang definisi dan batasan yang tepat berkaitan dengan pengertian tasawuf adalah hal yang tidak mudah, hal ini telah diakui oleh para ahli tasawuf. Keadaan demikian disebabkan oleh kecenderungan spiritual pada setiap pemahaman agama, aliran filsafat, dan peradaban dalam berbagai kurun waktu.[1]Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang menyatakan pengalaman pribadinya dalam konteks pemikiran dan kepercayaan yang berkembang pada masyarakatnya.[2] Di samping itu, karena tasawuf adalah aspek esoteris yang menekankan unsur batin yang sangat tergantung pada pengalaman spiritual masing-masing pelaku individu, sehingga memang wajar bila pengertian tasawuf yang muncul di kalangan para sufi seringkali ditemukan perbedaan-perbedaan.[3] Begitu  juga pemahaman terhadap pengertian tasawuf yang dipersepsikan oleh Gus Dur.

Tasawuf secara harfiah berasal dari kata shuff yang berarti bulu atau wool kasar. Saat itu, para sufi memakai bulu untuk pakaiannya sebagai simbol untuk merendahkan diri dan kesederhanaan pada masa itu.[4] Menghubungkan sufi “tasawuf” dengan shuff, agaknya memiliki korelasi yang mempertemukan antara jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi.[5] Sehingga sebutan sufi memang cocok bila dikaitkan dengan kehidupan selanjutnya, dengan alasan bagi siapa yang mampu menjaga keseimbangan dalam berkehidupan, dengan artian yang tidak jauh dari pengertian sufi sebagai pelaku ajaran tasawuf.

Tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek oleh karena itu para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, mempercayai keutamaan spirit ketimbang jasad, mempercayai dunia spiritual ketimbang dunia material. Bertolak dari keyakinan ini, maka muncullah cara hidup spiritual. Istilah tasawuf yang berasal dari kata shafa yang artinya kesucian, dengan artian mensucikan diri dari kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci.[6]

Menurut tokoh sufi Junaid al-Baghdadi tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan budi, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruhanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu haqiqat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada sesama umat, memegang teguh janji dengan Allah dalam segala haqiqat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam segala syari’at.[7]

Pengertian tasawuf pada umumnya cenderung dimaknai dengan usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan sedekat mungkin melalui metode pensucian rohani maupun dengan memperbanyak amalan ibadah, metode pensucian diri dengan dzikir dan amalan itulah yang di istilahkan dengan thoriqoh atau tarikat yang di laksanakan oleh para murid tasawuf dengan mengikuti bimbingan dari sang mursyid atau syeikh sufi[8].

Tasawuf menurut al-Ghazali adalah akhlak. Barang  siapa yang memberikan bekal  akhlak atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam Tasawuf, maka jiwa seorang hamba adalah menerima (perintah) untuk beramal karena mereka sesungguhnya melakukan suluk kepada sebagian akhlak karena keadaan mereka yang bersuluk dengan Nur (cahaya) iman[9].

Memang bila ditinjau dari berbagai pengertiannya tasawuf tidak memiliki definisi yang sama maupun sepaham di antara para ahli tasawuf “sufi”, semua pengertian yang ada itu diambil dari pola pengalaman spiritual para pelaku tasawuf atau yang disebut Sufi.

Kemudian, jika tasawuf melewati berbagai fase dan kondisi, pada tiap fase dan kondisi yang dilewatinya terkandung berbagai pengertian yang setiap fasenya hanya mencakup sebagian aspek-aspek saja, meskipun begitu ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan, yaitu, bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam.[10]

Memang tasawuf memerlukan telaah dan penilikan yang khusus dan seksama, apalagi bila spiritualitas dikaitkan dengan tasawuf, kedua-duanya menggerakkan potensi diri kepada sesuatu yang lebih baik dan bermoral. Potensi-potensi inilah yang akan memberikan makna tertentu dalam suatu tindakan.[11]

Tasawuf yang dipraktikkan dengan benar dan tepat akan menjadi metode yang efektif dan impresif untuk menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi, apapun zamannya atau bagaimanapun gejolak di dunia ini, semuanya akan dihadapi dengan pikiran yang jernih, suasana hati yang dingin, objektif, dan penuh ketenangan. Kita tahu dalam sejarah, pergumulan nyata kalangan sufi yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan nyata dan kebutuhan spiritual.[12]

Sangat menarik bila mengkaji banyak pengertian tentang tasawuf dengan beragam perbedaannya. Namun begitu, dari serangkaian pengertian yang ditawarkan para ahli,[13] sekiranya ada pengertian yang telah disepakati yaitu tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berasaskan Islam. Dengan artian bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, yang dikarenakan dalam ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.[14]

B.UNSUR-UNSUR TASAWUF

Dalam perjalanannya ilmu tasawuf memasuki rentan masa yang sangat panjang, dengan begitu ilmu ini mampu menghasilkan berbagai sistem dan subsistem “unsur-unsur”, yang menjadikan ilmu ini mampu dijangkau oleh siapa pun dan pastinya harus melewati unsur-unsur yang telah dibuat oleh para sufi tersebut.

Adapun perkenalan dasar dengan pendekatan unsur yang dikenal dengan sebutan Mahabbah (ajaran cinta), mempunyai pengertian yang konotasi spesifik, yakni, rindu kepada Tuhan yang membangkitkan rasa gandrung dan rindu menyatu kepada Tuhan. Ajaran cinta (mahabbah) merupakan pangkal tolak pembatinan kehidupan sufi yang dalam tasawuf dilambangkan sebagai akar di mana para pencinta belum dianggap sungguh-sungguh sebelum sampai pada tingkat mabuk cinta dan melupakan segala-galanya, selain cinta pada Tuhan. Unsur cinta pada Tuhan, akan membuat manusia mempunyai loyalitas dan sikap ikhlas dalam merealisasi ubudiah “ibadah” kepada Tuhan.[15]

Adapun salah satu dari unsur tersebut adalah takhalli, tahalli, tajalli yaitu suatu unsur untuk melakukan proses dalam mengupayakan dalam menyingkap tabir “hijab” yang membatasi diri dengan Tuhan.[16]

Takhalli adalah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela “kekotoran hati” dari maksiat lahir dan maksiat bathin,[17] Tahalli adalah mengisi atau menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji “membersihkan hati” dengan taat lahir dan taat bathin,[18] Tajalli adalah merasakan akan rasa ke-Tuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan.[19]

Sedangkan unsur yang lain seperti syari’at, thariqat, haqiqat, dan ma’rifat juga sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, hal ini juga sebagai cara tingkatan sebagaimana yang dikerjaan oleh para sufi untuk dapat memasuki fase menyempurnakan proses dalam beragama.[20]

Syari’at adalah peraturan-peraturan yang telah ditentukan, termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang disuruh dan dilarang, yang sunnah, yang makruh, dan yang mubah. Mengerjakan syari’at itu berarti sebagaimana mengerjakan amalan yang lahir dari segala hukum-hukum, seperti sembahyang, puasa, zakat dan haji, berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu pengetahuan dan lain lain, tegasnya syari’at itu ialah peraturan yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan Hadits.[21] Thariqat adalah cara menempuh jalan untuk dapat terbukanya dan tersingkapnya dinding kasyaf “proses mendekatkan diri kepada Tuhan”,[22] Haqiqat adalah kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua perjalanan, tujuan segala jalan “thariqat”, karena thariqat dan haqiqat tidak dapat dipisahkan, bahkan sambung menyambung antara satu sama lain.[23] Ma’rifat adalah mengenal Allah, jadi hal ini merupakan tujuan pokoknya.[24]

Adapun unsur yang lebih memiliki keunikannya, yaitu, al-Fana, al-Ittihad, al-hulul, al-Wahdat as Syuhud, al-Isyraqiyah, Insan Kamil, dan Wahdat al-Wujud. Yang menjadi serangkaian cara untuk mengenal Allah.[25]

Secara singkat dapat dijelaskan terhadap beberapa pengertian diatas, yaitu, al-Fana menurut penjelasan al-Junaidi adalah hilangnya daya kesadaran qolbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silir berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.[26] Bahwa yang lebur atau fana itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur.[27] Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia.[28]

Selanjutnya pengertian al-Ittihad sebagai kelanjutan dari al-Fana yaitu bahwa pada saat telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga Wujudiyahnya kekal. Didalam perpaduan itulah ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan.[29]

Kemudian dari paham al-Ittihad berkembang kepada pengertian al-hulul adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihakan dirinya dari sifat kemanusiaannya. Sebab manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyahnya, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan.[30]

Dari pengertian paham al-Wahdat as Syuhud berbeda dari pengertian di atas, yaitu, menemukan keadaan mistis Cinta Illahi, melalui latihan dan konsentrasi batin yang teratur, maka cintanya kepada Allah semakin mendalam dan semakin menguasai segenap relung qolbunya sehingga dapat merasakan getaran cahaya Tuhan dan akhirnya yang dirasakan dan dilihat hanya satu yakni Tuhan yang Esa. Kesatuan dalam hal ini bukan penyatuan dua wujud, tetapi penyatuan dalam arti yang disaksikan hanya satu, yaitu Wujud Tuhan Yang Maha Esa.[31]

Paham al-Isyraqiyah lebih tepat diartikan penyinaran atau iluminasi dalam artian kemampuan mengidentifikasi eksistensi manusia dengan Nur al-Anwar (Cahaya Suci).[32] Menggabungkan antara rasio dan rasa dalam mengidentifikasi eksistensi.[33]

Insan kamil adalah aspek (shurah) ketiga dari haqiqat al-Muhammadiyah,[34] sebagai manusia sempurna karena ia memiliki wujud positif. Sesuatu itu sempurna atau tidak, tergantung pada proporsi wujud positif yang dimilikinya, atau dalam proporsi terhadap jumlah atribut Tuhan yang dimiliki melalui tajalliyat. Wujud yang paling lengkap menerima atribut Tuhan adalah Insan Kamil atau manusia sempurna. Dia adalah wujud satu-satunya yang termuat di dalamnya prinsip-prinsip Realitas Mutlak, sehingga manusia disebutkan sebagai cermin yang memantulkan semua kesempurnaan Asma dan Sifat Tuhan.[35]

Sedangkan pengertian Wahdat al-Wujud yaitu sebagai perluasan dari konsepsi al-Hulul adalah karena nasut yang ada dalam hulul diganti dengan khalq (makhluk), sedang lahut mendaji Haqq (Tuhan). Khalq dan al-Haqq adalah dua sisi bagi segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut Khalq dan aspek yang sebelah bathinnya disebut al-Haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek bathin. Aspek Khalq memiliki aspek kemakhlukan atau nasut sedangkan aspek batin atau al-haqq memiliki sifatkeTuhanan atau lahut. Tiap-tiap yang bergerak tidak terlepas dari kedua aspek itu, yaitu sifat ke-Tuhanan dan sifat kemanusiaan. Tetapi aspek yang terpenting adalah aspek batinnya atau aspek al-Haqq dan aspek ini yang merupakan hakikat/esensi dari tiap-tiap yang wujud.[36] Jadi, walaupun pada lahirnya ala mini kelihatan berbeda-beda tetapi pada tiap=tiap yang ada itu terdapat sifat ke-Tuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi sesuatu itu. Disinilah paham kesatuan wujud diartikaan dengan bahwasannya yang Nampak dengan indera yang penuh variasi ini, sebenarnya adalah satu. Hal ini dapat diibaratkan seperti orang yang melihat bayangannya dalam beberapa cermin. Betapapun banyaknya bayangan itu, tetapi orangnya adalah satu. Sebab bayangan itu tidak mempunyai substansi.[37]

C.TASAWUF DAN ISLAM DI INDONESIA

Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga keadaannya sekarang.[38] Pada proses kemunculannya Tasawuf, para sufi membawa angin segar dalam kancah keIslaman lantaran ajaran maupun amalan yang mereka lakukan, di tengah carut marutnya politik dan semakin merambahnya kecintaan terhadap ke duniawian. Seiring dengan perjalanan sejarah, tasawuf yang di pelopori oleh para sufi terus mengalami beragam perkembangan yang di tandai dengan adanya elaborasi antara ajaran yang ada dalam falsafah dengan tasawuf.[39]

Pada selanjutnya munculah beberapa golongan sufi yang mengamalkan amalan dengan tujuan pensucian jiwa dan mendekatan diri kepada Allah SWT, para sufi yang hadir pada periode ini mulai membedakan antara pengertian-pengertian syariah, thariqat, hakikat maupun ma’rifat. Syariat di artikan untuk memperbaiki amalan lahir, sedang tarikat untuk memperbaiki amalan batin, hakikat untuk mengamalkan segala rahasia yang ghaib, adapun ma’rifat merupakan tujuan akhir dari perjalanan spiritual seorang sufi[40].

Pada tahap awal tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang masih sederhana. yaitu sekelompok kaum muslim yang memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar keuntungan akhirat. Pelopornya adalah Al-Hasan Al-bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah Al-Adawiyyah (w. 185). Kehidupan atau cara “model” zuhud kemudian berkembang, ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspekteoritis psikologis dalam rangka pembentukan perilaku hingga tasawuf menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan serta pengaruhnya bagi perilaku. Pemikiran-pemikiran yang lahir selanjutnya terlibat dalam masalah-masalah epistimologis, masalah-masalah ini berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Allah Swt. Sehingga lahir konsepsi-konsepsi seperti fana’ yang dipelopori oleh Abu Yazid Al-Busthami (w. 261). Tasawuf kemudian menjadi sebuah ilmu  yang sebelumnya hanya berupa ibadah-ibadah praktis. Dengan munculnya tokoh sufi seperti Al-Junaid, sari al-Saqhati dan Al-kharraz yang memberikan pengajaran dan pendidikan kepada para murid dalam bentuk jamaah. Untuk pertama kali dalam Islam terbentuk tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran teori dan praktik kehidupan sufistik, kepada para murid dan orang-orang yang berhasrat memasuki dunia tasawuf.[41]

Kemudian muncul Al-Ghazali sebagai penentang ajaran tasawuf yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam sebuah upaya mengembalikan tasawuf pada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa dan pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumnya. Dia merupakan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, dalam orientasi-orientasi umum dan rincian-rincian yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi-konsepsi Al-Hallaj dan Al-Busthami. Tasawuf semacam ini disebut tasawuf Sunni.[42]

Sejak tampilnya Al-Ghazali, pengaruh tasawuf Sunni mulai menyebar di dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh sufi terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Ahmad Al-Rifa’I (w. 570 H) dan Syaikh ‘Abd Al-Qodir Al-Jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali.[43]

Sementara itu, muncul sejumlah sufi yang berorientasi pada ajaran filsafat, antara lain, Suhrawardi Al-Maqtul, tokoh ilmu huduri dan presensial (w. 587 H), Al-Syaikh Al-Akbar, Ibn ‘Arabi (w. 638 H), dalam aliran tasawuf yang bekembang adalah pantheisme (wahdah al-wujud) yang mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah Swt. Perhatian para sufi ini tidak tertuju pada selain taraf spiritual ini, sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan. Perkembangan tasawuf akhirnya berlangsung di bawah pengarus para sufi ini,  ia menjadi terkait amat luas dengan filsafat, terutama aspek-aspek ontology dan epistemology. Aliran seperti mencapai puncaknya pada pemikiran Ibn “Arabi yang berhasil membangun pilar tasawuf di atas prinsi-prinsip filsafat yang kukuh dalam sebuah visi kesatuan yang paripurna.[44]

Dengan munculnya aliran tersebut, tasawuf terbagi menjadi dua. Pertama, tasawuf sunni yaitu tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah dan kedua, Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang menggabungkan berbagai aliran mistik dari lingkungan di luar Islam. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan filosofis itu terjadi karena adanya dan terciptanya peluang yang menginteraksikan aliran-aliran mistik, baik sebagai akibat dari penerjemah maupun berkat ekspansi Islam di Negeri-negeri yang memiliki kecenderungan mistik, seperti India dan Persia. Bahkan, mereka para sufi yang terbilang tokoh terkemuka dalam tasawuf falsafi adalah orang-orang yang berasal dari kedua wilayah ini. Akibatnya, berkembang konsepsi-konsepsi dalam tasawuf, seperti fana’, al-ittihad, al-hulul, dan wahdah al-wujud yang menurut sementara kalangan agak sulit menemukan dasar-dasarnya dalam ajaran Islam.[45]

Mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf tidak lantas berarti mengingkari pengaruh sumber-sumber asing. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah meletakkan pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan. Sebab, tasawuf pada dasarnya adalah “rasa”  pengalaman, dan jiwa yang bersifat universal. Oleh karena itu, bisa saja suatu pengalaman ditemukan sama meski tidak ada kontak satu sama lain. Kenyataan dalam hal ini membuktikan kesatuan pengalaman spiritual walaupun dengan penafsiran dan ekspresi yang berbeda sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan, lalu perlu diidentifikasi nilai dan kadar pengaruh tersebut dan memperlihatkan keterbukaan Islam terhadap budaya lain.[46]dengan begitu tasawuf mampu memasuki dimensi yang memisahkan Islam dan kebudayaan di suatu Negara yang belum dimasuki oleh Agama Islam.

Dari sinilah kemudian tasawuf menjelmakan dirinya dalam proses perkembangan agama Islam yang ada di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa terdapat kesepakatan di kalangan sejarawan, peneliti, orientalis dan cendekiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di asia tenggara.[47] adapun perbedaan perihal tasawuf yang diajarkan antara tasawuf sunni atau tasawuf falsafi, tidak menjadi hal yang mendasar bagi perselisihan itu. Toh, pada dasarnya ajaran tasawuf lah yang mulai dari awal menjadi bagian penetrasi dakwah bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia.

Proses Islamisasi itulah yang menjadi adigium besar bagi tumbuh dan berkembangnya tasawuf di Indonesia, tidak terlalu berlebihan bila mengatakan bahwa tersebarnya luasnya Islam di Indonesia, sebagian besar adalah karena jasa para sufi.[48]

Dengan begitu Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakatnya, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih tampak menjadi bagian  tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya.[49]

Para pelopor dakwah di Indonesia, pertama-tama memperkenalkan tauhid kepada orang-orang kala itu yang masih menganut Hindu-Buddha. Setelah mereka memeluk islam para da’I menunjukkan cara terbaik mengaktualisasikan diri dalam proses transformasi spiritualitas dan moralitas keagamaan. Melalui keteladanan yang baik, pendidikan dilancarkan agar terbentuknya sifat-sifat terpuji dan kemampuan melepaskan diri dari sifat-sifat tercala. Meskipun para da’I tidak memproklamasikan aliran tasawufnya, dalam melaksanakan dakwah mereka namun sebenarnya mereka mempraktikan tradisi dalam tasawuf, sebab tasawuf mengarahkan pada moralitas agama.[50]hal demikian yang telah dilakukan penyebar Islam awal di Indonesia yaitu wali songo dan Syekh Siti Jenar.[51]

Layak diketahui bahwa Wali songo tidak dikenal sebagai sufi karena istilah itu belum popular di kalangan orang-orang Indonesia kecuali pada tahun-tahun belakangan. Itu pun terbatas pada kalangan intelektual. Di kalangan masyarakat umum istilah yang lebih dikenal adalah istilah wali yang dalam pengertian orang Indonesia tidak berbeda dengan konotasinya dalam bahasa arab. Ini membuktikan bawasannya mereka adalah sufi.[52]

Perkembangan Islam yang pada umumnya diketahui adalah digerakkan oleh ulama yang telah disebutkan di atas, dikenal dengan sebutannya wali songo atau wali Sembilan. Dari sebutan itu saj sudah cukup beralasan untuk mengatakan, bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat wali “sufi”. Bukti ini diperkuat lagi oleh hikayat jawa (babad jawa) yang mengisahkan drama pertentangan antara sunan giri dan sunan kalijaga di satu pihak melawan Syekh Siti Jenar di pihak lain, adalah petunjuk yang kuat bagaimana kehidupan tasawuf yang berkembang pada masa itu. Para wali itu bukan saja berperan sebagai penyiar islam, tetapi mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kerajaan dan karena posisi itu mereka mendapat gelar susuhanan yang bisa disebut Sunan. Dari peran itu mereka “meminjam” menggunakan sedikit kekuasaan kerajaan dalam menyebarkan dan memantapkan ajaran islam sesuai keyakinan sufisme yang dianut.[53]

Pada generasi Islamisasi. Mungkin, bisa dibilang banyak penyebar Islam di Indonesia yang bernafaskan tasawuf tapi sedikit yang tercatat, di sumatera melahirkan cukup banyak ulama tasawuf,[54] diwakili oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, ‘Abd Rauf Singkel, ‘Abd al-Shamad al-Palembangi, Ismail al-Minangkabawi, dan ‘Abd al-Wahhab Rokan. Dari Kalimantan diwakili oleh Muhammad Nafis al-Banjari, dan Ahmad Khatib Sambas. Dari pulau jawa, yaitu oleh Syekh ‘Abdal-Karim dari Banten, KH. A. Shohibulwafa Tajul ‘arifin dari Tasikmalaya, Syekh Muslih ibn ‘Abd al-Rahman dari mrengen, Jawa tengah, KH. Romly Tamim dari Jombang, dari Indonesia Timur diwakili oleh sekh Yusuf al-Makassari.

Orientasi tasawuf di Indonesia Nampak kental bila ditelisik dari sekian banyak naskah-naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa melayu. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsure yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk dari bagaimana peran ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa Wali Songo di Jawa. Kepemimpinan Raja atau sultan selalu didampingi dan didukung oleh kharisma ulama tasawuf.[55]

Para pelaku tasawuf atau sufi dari awal hingga di Indonesia memperkenalkan ajaran tasawufnya juga dengan beragam polemik yang terjadi dan berkepanjangan, akan tetapi hal itu tidak menjadi pokok yang dipertentangkan oleh masyarakat. Hanya saja menjadi tugas dan kewajiban dalam penyelesaiannya pada tahap level intelektual sufi pada waktu itu.

Proses bergulirnya waktu yang menggiring semuanya sampai pada ruang gerak selanjutnya, hal ini diteruskan oleh kalangan pesantren. Warna sufisme jelmaan dari ajaran tasawuf pun kental terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi ajaran tasawuf al-Ghazali yang bernafaskan aliran tasawuf Sunni.[56]tidak tertutup juga ditemukan literatur tasawuf-falsafi, seperti Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jili serta Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al_Hikam karya Ibn `Arabi.[57]

Dari kalangan pesantren,  kemudian tasawuf menjelma menjadi sebuah bentuk kegiatan jamaah yang mempunyai sruktur serta hirarki sebagaimana layaknya sebuah kumpulan masyarakat yang terorganisir, inilah saat yang disebut muculnya tarikat di Indonesia. Tidak cukup sampai disini perkembangannya diambil alih oleh jamaah juga yang dipelopori oleh para ulama yang lebih memperluas gerak dakwah Islam dan terorganisir lebih structural berakar. Gerakan dakwah ini bukan saja pada satu ajaran yang bersifat tasawuf akan tetapi memiliki wadah yang didalamnya terdapat ajaran tasawufnya, masyarakat yang ternaungi dalam ajaran ini dibebaskan dalam memilih ajaran tasawuf yang sudah ada dan telah ditentukan oleh organisasinya, bila disebut secara simplisit dengan sebutan organisasi keagamaan.

Dalam kaitan dengan di atas, hal ini disebutkan sebagai reformasi tasawuf di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang mendukung dan penghayat ajaran tasawuf. NU cukup berhati-hati dalam meletakkan ajaran tasawufnya demi menghindari penyimpangan dari ajaran tasawuf sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawufnya sesuai dengan khittah aswaja (Ahlussunnah wal Jama`ah) dalam hal ini Nu membina keselarasan antara tasawuf al-Ghazali dengan tauhid Asy`ariyah dan maturidiyah serta hokum fiqh sesuai dengan salah satu mazhab sunni yang empat. Sedangkan dalam aspek tarekat sebagai aspek lembaga, NU juga memiliki lembaga yang diberi nama Jam`iyyah Thariqoh Mu`tabaroh, yang bersumber dari tasawuf junaid al-Baghdadi.[58] Dengan demikian NU menganut tasawuf, bertasawuf dan pada fase perkembangannya ingin membumikan tasawuf di Indonesia.[59]

Dengan demikian, Nampak jelas kaitan antara tasawuf dan Islam di Indonesia, dalam prosesnya memiliki nuansa yang kental dan sangat kuat. Meskipun terdapat sekelumit polemik perihal yang diajarkan, antara tasawuf sunni dan tasawuf-falsafi. Dengan kehadiran dua aliran tasawuf yang berbeda haluan ini, bahwa bernar telah terjadi tarik-menarik sehingga menjadi sebuah polemik, akan tetapi keduanya saling menguatkan argumen ajarannya masing-masing.[60] sehingga hal itu tidak menjadi bagian yang merusak proses Islamisasi tapi lebih ke proses menerima perbedaan sehingga menjadi warna yang unik dan fleksibel, dimana Islam bisa diterima oleh masyarakat Islam, dari awal hingga sampai saat ini.

Memang di Indonesia memiliki corak dalam tasawuf yang disebutkan di atas, yakni antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Akan tetapi apabila dibandingkan antara kedua konsep tasawuf tersebut, ada sejumlah kesamaan yang prinsipil disamping perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran ini sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari al-Qur’an dan sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuaen. Benar adanya semua sufi dari aliran manapun adalah orang-orang yang zahid dan`abid serta mementingkan kesucian rohani dan moralitas. Sedangkan perbedaan yang jelas di antara kedua aliran ini, nampaknya terletak pada tujuan yakni maqom tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Akan tetapi pada tujuan akhirnya , kedua aliran sama-sama ingin memperoleh kebahagiaan yang haqiqi, kebahagiaan yang bersifat spiritual. Dimaksudkan terciptanya komunikasi langsung antara sufi dengan Tuhan dalam posisi seakan tiada jarak lagi antara keduanya.[61]

Dalam memberi makna terhadap posisi “dekat tanpa jarak” ini terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf sunni berpendapat, bahwa antara makhluk dengan Khalik tetap ada jarak yang tak terjembatani sehingga tidak mungkin jumbuh karena keduanya tidak seesensi. Lain halnya dengan tasawuf falsafi dengan tegas mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasala dan tercipta dari esensi-Nya. Oleh karena itu, keduanya dapat berpadu apabila kondisi untuk itu telah tercipta.[62]

Dengan begitu, tasawuf tidak pernah terlepas dari pergerakan fase zaman yang terus bergerak maju dan dinamis. Ia menjelmakan dirinya sebagai sesuatu yang layak, diterima dan bisa dipelajari semua kalangan.

[1]At-Taftazani, Madkhal, h. 3., dalam Syamsun Ni’am,  The Wisdom Of KH Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf (Surabaya: Erlangga, 2006), h. 99.

[2]Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001), h. 27.

[3]Syamsun Ni’am,  The Wisdom Of KH Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf (Surabaya: Erlangga, 2006), h. 99-100.

[4] Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 8.

[5]R.A. Nicholson, The Mystic of Islam, kegan Paul Ltd, London, 1966., dalam A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), h. 31.

[6] Mulyadi Kartanegara, Menyelami lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), h.2-4.

[7] Hamka, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, cet. Keempat 1906, h. 78., dalam M Zain Abdullah, Dzikir dan Tasawuf (Solo: Qaula, 2007), h. 11-12.

[8] Pengantar Ilmu Tasawuf (Sumatra Utara: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Institut Agama Islam Negri, 1981/1982), h. 273-274.

[9] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: pustaka setia, 1999), h. 203-204.

[10] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, pen.,  Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h. 10.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun