Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Misteri di Balik Sebuah Nama

17 Februari 2018   06:23 Diperbarui: 17 Februari 2018   15:36 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (focusonthefamily.com)

Nama merupakan predikat yang melekat pada sesuatu. Nama orang disebut untuk mengidentifikasi seseorang. Mengatakan nama Presiden Jokowi, pikiran dan hati langsung terasosiasi ke sosok seorang lelaki dengan gambaran yang jelas terekam di memori setiap warga Indonesia.

Nama selalu menempel pada objek baik itu yang tampak atau tidak tampak. Menamai objek yang tampak akan mudah untuk membedakan penampakannya dari objek yang lainnya. Penampakan yang bisa dilihat, diraba, disentuh, dirasa dan dihirup oleh pancaindra.

Tetapi menamai objek yang tidak bisa diindra sedikit membutuhkan kemampuan untuk berimajinasi dan berabstraksi. Kemampuan ini akan membedakan objek abstrak satu dari objek abstrak lainnya. Kemampuan yang hanya bisa dimiliki seiring dengan tingkat perkembangan intelektualitas seseorang.

Misalnya saja menyebut "keadilan" dan "ketidakadilan". Anak kelas satu SD tidak mungkin bisa memahami konsep dari kedua kata tersebut. Tetapi anak yang sama bisa memahami jika disebutkan kepadanya "nasi" dan "segelas susu". Hal ini disebabkan, nasi dan segelas susu menjadi benda yang sudah akrab ditelinga dan seluruh pancaindranya.

Antara yang tampak nyata dan tidak tampak nyata sudah membuat satu jurang pemahaman di dalam pikiran seorang anak kelas satu SD. Ini menandakan bahwa semakin tinggi tingkat abstraksi, semakin sulit untuk dipahami. Mengabstraksikan sepiring nasi atau segelas susu lebih mudah dari pada mengabstraksikan keadilan dan ketidakadilan.

***

Ketika kita menyebutkan kursi, minimal dalam benak dan imajinasi kita terbayang sebuah benda yang berkaki empat untuk diduduki. Setidaknya itu gambaran umum mengenai kursi. Tentu saja ada banyak variasi dari gambaran dasar mengenai kursi  tersebut. Tetapi secara hakiki, esensi kursi berfungsi sebagai tempat duduk. Tidak peduli bagaimana pun bentuknya.

Katakanlah tentang keadilan, maka yang terbayang adalah perlakuan orang tua kepada anaknya ketika memberi uang jajan, ketika memperlakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Bisa juga keadilan adalah keputusan dari pengadilan dalam kasus yang dialami oleh seseorang. Bisa juga keadilan adalah distribusi ekonomi dari pemerintah kepada seluruh rakyatnya.

Hal yang sama juga ketika kita menyebut ketidakadilan, itu adalah gambaran sebaliknya dari gambaran ketika kita menyebut keadilan. Kebalikannya dari konsep keadilan yang dipahami seseorang. Entah itu di lingkungan keluarga, di lingkungan hukum dan pengadilan atau di lingkungan sebuah negara. Ketidakadilan adalah lawan dari keadilan.

***

Nama yang paling tinggi tingkatan abstraksinya adalah nama Tuhan. Pikiran setinggi apa pun hebatnya, tidak bisa menemukan abstraksi yang paling tepat dari nama Tuhan tersebut. Bagaimanakah gambaran imajiner ketika kita menyebut nama tersebut? Tidak ada yang mampu untuk menyebutkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun